POV AUTHOR
[Mba Mariam? ada yang ingin aku bicarakan ... tolong Mba Mariam?] isi pesan di aplikasi hijau Mariam.
Lama Mariam hanya memandanginya, "Orang seperti apa Medina sebenarnya?" gumam Mariam.
[Mba Mariam? Aku mohon, Mba Mariam seperti menghindariku, di pengajian, atau saat berpapasan dijalan, Mba Mariam kenapa?]
"Benar, aku kenapa?" tanya Mariam pada dirinya sendiri.
[Maaf Medina, aku nggak bermaksud begitu, jadi mau bicara apa?] balas Mariam setelah berpikir sejenak.
[Mari bertemu Mba!]
[Dimana?]
[Terserah Mba Mariam, yang penting Mba Mariam nyaman,]
[Baiklah, nanti sore selepas Ashar di taman, biar aku sekalian ngajak Okta bermain.]
[Iya, terimakasih Mba]
Waktu yang ditentukan tiba, Medina tampak datang lebih awal dari Mariam, dengan gamis berwarna peach yang membuatnya terlihat anggun.
"Assalamualaikum Medina, udah lama?" sapa Mariam.
"Waalaikumsalam Mba Mariam, baru aja kok, hay cantik apa kabar?" pandangan Medina beralih ke Oktavia.
"Baik tante Medina,"
"Nih tante punya susu buat Kaka Okta," ucap Medina sambil menyodorkan sebuah susu kotak kepada Okta.
"Boleh Mah?" tanya Oktavia kepada Mariam dengan polosnya, Mariam pun mengangguk dan Oktavia menerima pemberian Medina dengan gembira.
"Udah Okta boleh main, Mama sama tante Medina ngawasin dari sini ya,"
"Baik Mah," Oktavia berlari ke tengah taman yang ramai dengan anak kecil di sore hari.
Medina dan Mariam kemudian duduk di sebuah bangku kecil dibawah pohon tabebuya yang sedang penuh dengan bunga berwarna kuning.
"Jadi apa yang mau kamu bicarakan?"
"Hemm, aku harap Mba nggak tersinggung, jadi ... Mba Mariam ini adalah cinta pertama Mas Musa, benar?"
"Entahlah, mungkin Mizan yang menggangap begitu, tapi semua sudah berlalu, jadi apa masalahnya?"
"Hemm, Mas Musa suamiku, masih ... masih memiliki perasaan padamu Mba," ucap Medina gugup.
"Hem, sepertinya itu murni masalah rumah tangga kalian, aku sama sekali tidak pernah berkomunikasi apapun dengan suamimu jadi enggak sepantasnya aku disangkut pautkan," jawab Mariam yang mulai gugup.
"Benar, tapi sebagai istri aku tidak tega melihat Mas Musa menderita, Mas Musa berusaha mencintaiku tapi dia sangat menderita karena hatinya sudah penuh olehmu Mba Mariam," Medina mulai menitikan air matanya.
"Terus, apa maumu? Dengan menyampaikan hal ini padaku tidak akan merubah apapun, Din."
"Aku tahu Mba, tapi aku ingin Mba bicara pada Mas Musa, karena Mas Musa merasa kisah kalian itu menggantung dan belum selesai. Aku ingin Mas Musa mengeluarkan apa yang dia pendam selama ini, pertanyaan, penyesalan, permintaan maaf, semuanya padamu, Mba,"
"Aku menganggapnya sudah selesai Din, tidak ada lagi yang perlu disesali dan dimaafkan,"
"Mba tidak akan menutup pintu begitu saja ketika Mba melihat Mas Musa sore itu, sikap Mba tidak sesuai dengan jawaban Mba sekarang. Tolong Mba, lepaskan Mas Musa dari rasa bersalahnya, hanya dengan Mba Mariam memaafkannya Mas Musa bisa dengan mudah belajar mencintaiku Mba, aku mohon."
Mariam menarik nafas panjang melihat kesungguhan Medina memohon padanya.
"Kalau begitu sampaikan pada suamimu, aku sudah memaafkannya sampaikan juga permintaan maafku kalau dulu aku punya salah padanya."
"Mba, sampaikan secara langsung aku mohon Mba,"
"Kamu yang benar saja, Din! Aku punya suami dan kamu ingin aku menemui suamimu untuk membahas masa lalu?!"
"Kita bisa bicara ber-4 Mba, agar semuanya selesai tanpa salah paham."
"Mas Bian tidak sepertimu yang mau mengurusi masa lalu pasangannya."
"Mba, aku mohon!"
"Aku semakin tidak mengerti padamu Din, apa ini keninginan Mizan atau keinginanmu?"
"Ini murni keinginanku Mba, Mas Musa sangat menderita karena merasa berhutang sebuah permintaan maaf padamu, setiap malam Mas Musa terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin karena memimpikanmu Mba, perasaanku sakit setiap melihat hal itu, aku ingin mengakhirinya, aku selalu berdoa agar aku menemukan sosok Mariam dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk memohon padamu Mba, dan lihat ... Alloh mengabulkan doaku dan membuat takdir mempertemukan kita."
Mariam terdiam mendengar cerita Medina, menyadari hal ini bukan hal sepele lagi. Apalagi kenyataan bahwa Mariam menyimpan hal yang sama, hanya saja Mas Bian sang suami sangat menghormati masa lalu Mariam dan tidak pernah mengungkitnya, jika tidak pasti takan mudah bagi Mariam untuk melupakan Mizan.
"Benar mungkin tidak mudah bagi Mizan, tapi sejujurnya ini juga tidak mudah bagiku. Mizan mengabaikanku dan terus mengejar ambisinya untuk sejajar dengan kakaknya Mas Harun, semua dilakukan demi sebuah pengakuan di depan keluarganya. Dia bahkan menolak mentah-mentah permintaanku untuk dinikahi sebelum dia berangkat ke Yaman, aku tersiksa jadi aku memutuskan untuk melepasnya untuk mengejar apapun cita-citanya bukan karena aku tidak mendukungnya tapi aku sadar dengan adanya aku malah menjadi ganjalan baginya meraih apa yang sudah dia impikan. Ini nggak mudah Din, aku berada di titik rendah kehidupanku ketika memutuskan untuk meninggalkannya, semua mimpi, harapan, rencana bahkan angan-angan yang sudah sempat kami bangun runtuh seketika. Jadi, menurutmu apa yang belum Mizan selesaikan, sementara aku sudah menganggapnya selesai?"
"Mba Mariam menutup semua akses komunikasi memblokir sana sini, hal itu membuat Mas Musa dikuasai rasa sakit karenamu Mba,"
"Aku melakukan itu karena itulah pertahanan diriku. Dengar Medina, ada sebuah perumpamaan untukmu, aku harap setelah ini kamu akan berhenti melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan,"
"Aku menyukai sayap ayam, dan benci kalau harus memakan paha ayam. Sementara Mas Bian sangat menyukai paha ayam dan benci bila harus memakan sayapnya. Dan hanya karena ingin memberikan yang terbaik untuk pasangannya aku memberikan sayap ayam yang begitu aku sukai kepada Mas Bian berharap Mas Bian menyadari bentuk pengorbananku padanya tanpa pernah aku tahu bahwa sebenarnya Mas Bian benci sayap ayam. Dan karena Mas Bian menghargaiku dia pun memakan hal yang dia benci. Begitu pula sebaliknya, akhirnya kita sama-sama memakan hal yang paling kita tidak sukai, semua karena apa? karena perasaan paling ingin berkorban tanpa komunikasi, jangan jadi paling ingin berkorban dan merasa paling hebat dan bisa menyelesaikan semuanya Medina, siapa tahu Mizan malah tersiksa karenamu bukannya bahagia seperti dugaanmu."
Medina hanya terdiam mendengar penuturan Mariam, dia seperti tertampar dan menanyakan hal itu kepada dirinya sendiri.
"Satu hal lagi, tidak mudah bagiku mengubur semua perasaanku terhadap Mizan, walaupun aku ingin mengeluarkannya tetapi aku berusaha keras menguburnya, tolong hargai usahaku untuk melupakan suamimu dengan tidak mengungkitnya terus, dan bahkan mungkin Mizan melakukan hal yang sama. Hargai usaha kami untuk mengubur kisah itu. Hargai itu Medina, tolong berhenti!"
Medina hanya terdiam dalam kegundahannya, dia tidak percaya bahwa semua pengorbananya adalah kesalahan, tetapi semua perkataan Mariam memang benar.
"Hargai juga Mas Bian sebagai suamiku, walaupun dia tidak pernah menanyakan masa laluku tapi bukan berarti aku bisa seenaknya padanya. Dan kalau aku harus bicara tentang masa lalu pada Mizan bukankah itu menunjukan aku tidak menghormati Mas Bian?"
"Mba ... !"
"Cukup Din, aku harap ini pertama dan terakhir kali kamu mengungkit masalah ini."
Tiba-tiba datang seorang laki-laki di dekat mereka.
"Mah ... ?"
🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments