Mariam duduk di depan martabak kesukaannya dan secangkir kopi hitam yang mulai mendingin, pikirannya menerawang jauh, kehadiran Mizan memang mengingatkannya pada perasaan masa lalu yang dia timbun, tetapi Mariam merasa sangat terusik oleh sikap Medina yang terus mengungkit masa lalunya.
Keputusannya dulu untuk pergi dan tinggal di kota lain adalah untuk melupakan segala tentang Mizan dan semua yang mengingatkan Mariam pada Mizan, tetapi tanpa sengaja Mizan yang memutuskan memulai kehidupan baru di luar kota dengan alasan yang sama dengan Mariam, justru dipertemukan dengan Mariam di kota yang sama.
Mariam menarik nafas panjang, menunjukan beban pikiran yang cukup mengusik ketenangan hatinya.
Bel pintu berbunyi satu kali, dua kali, tiga kali. Mariam terlalu dalam tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga telinganya tidak lagi sensitif dengan suara.
Braggkk ... braaagkk ... braaagkkk....!
"Mah, tidur ya?!" teriak Bian di depan pagar pintu rumahnya sendiri sambil menggoyangkan gerbang.
Mariam segera sadar dan terhuyung-huyung menuju pintu depan untuk membukakan pintu bagi suaminya.
"Maaf Pah, tadi mama nggak denger," ucap Mariam.
"Kirain malah udah tidur," Bian melengos masuk dan Mariam kembali mengunci gerbangnya.
"Dari mana sih Pah, emang ada sholat isya sampe jam 10 malem begini?"
"Biasa bapak-bapak,"
"Nongkrong?" selidik Mariam
"Enggak, diskusi mah," Bian mencoba membela diri.
"Halah, pake istilah diskusi padahal ngobrol ngalor ngidul," jawab Mariam.
"Diskusi mah diskusi," jawab Bian mencoba meyakinkan istrinya dengan alasan klasik.
"Kamu minum kopi item malem-malem begini Mah?" tanya Bian begitu melihat cangkir kopi Mariam.
"Iya, tadi kebetulan lagi pengin."
"Pengin apa pengin," sindir Bian, " Kamu kalau minum kopi item biasanya lagi banyak pikiran."
"Masa sih?" tanya Mariam.
"Iya, kenapa? Ada masalah apa?" tanya Bian.
"Enggak ada pah, cuma pengen aja kok," Mariam tersenyum pada suaminya.
"Mukamu lho mah, jand!"
"Kenapa? Cantik?"
"Nggak enak diliat kalo lagi galau," goda Bian.
Mariam mendekati suaminya dan memeluknya dari belakang.
"Kenapa? Sini-sini peluk ... !" Bian hendak membalas pelukan Mariam tapi Mariam menolak.
"Biarin Pah, dari belakang aja! Tadi bilangnya mukaku nggak enak diliat," ucap Mariam.
Bian diam dan membiarkan Mariam untuk memeluk dirinya dari belakang sepuas hatinya.
"Makasih Pah," ucap Mariam.
'Terimakasih karena selalu memberiku kenyamanan tanpa pernah terlalu banyak bertanya,' batin Mariam.
"Sama-sama, tapi nggak gratis lho Mah," goda Bian sambil mengusap tangan Mariam yang melingkar di perutnya.
Mariam melirik Oktavia yang tidur dengan pulas di kamar.
"Aman Mah, aman!" kode Bian kepada Mariam sambil tangannya mematikan tombol lampu ruang tengah.
Keesokan paginya, kesibukan di rumah Mariam berjalan seperti biasa. Mariam menyiapkan semua keperluan Bian dan membuat sarapan untuk Bian. Sementara Oktavia sudah duduk di depan televisi dengan kartun kesayangannya.
"Mah, malam ini tolong masak yang enak-enak ya, nanti malam papa mau ngajak temen makan di sini."
"Tumben, siapa?"
"Ada, masak yang enak ya mah, Assalamualaikum ... papa berangkat dulu."
Mariam pun menyiapkan nasi liwet, ayam goreng, ikan asin, sambal, oseng kangkung, lalapan. Tidak lupa jeruk dan semangka sebagai makanan pencuci mulut. Itu adalah menu kesukaan teman-teman suaminya kala bertandang ke rumahnya.
Begitulah Bian, selalu mengerti Mariam bagaikan seorang peramal. Mariam sangat suka memasak, meskipun Bian tidak banyak bicara dia selalu tahu isi hati Mariam dan seolah selalu tahu bagaimana Mariam ingin diperlakukan, sehingga saat Mariam kalut Bian sengaja menyuruh istrinya memasak untuk temannya yang akan datang kerumah. Sederhana memang, tapi Bian mampu membuat bahagia dengan analisis yang luar biasa dan tindakan sederhana yang selalu tepat sasaran di hati Mariam.
Mariam dengan senang hati berbelanja bahan masakannya dan memasaknya dengan penuh suka cita, sehingga Mariam melupakan sejenak kekalutan di hatinya.
"Pah, kok sendirian?" sambut Mariam ketika suaminya pulang kerja.
"Lho emang sama siapa?"
"Kan katanya mau ngajak temen, mama udah masak banyak lho, jangan bilang nggak jadi dateng temen-temennya, kenapa nggak ngabarin dulu kalau emang nggak jadi?" tanya Mariam.
"Jadi Mah, nanti malem datengnya."
"Hmmm, kirain nggak jadi, mau diapain itu makanan."
"Jadi sayaang, sensitif banget emangnya adeknya Oktavia nggak jadi-jadi yah?"
Beberapa jam kemudian, bel pintu rumah Mariam pun berbunyi. Mariam segera membuka pintu. Mariam bersiap-siap tersenyum untuk menyapa teman Bian, namun senyum itu menghilang berganti dengan ekspresi terkejut saat Mariam tahu yang berdiri di depan pintu adalah Medina dan Mizan.
"Assalamualaikum ... Mba Mariam," sapa Medina.
"Wa - Waalaikumsa - lam,"
"Waalaikumsalam Pak Musa, mari silahkan masuk!" jawab Bian dari belakang Mariam.
Mariam menatap suaminya dengan penuh intimidasi, namun Bian mengacuhkannya dan memilih beramah tamah dengan tamu undangannya. Medina dan Musa kemudian masuk mengikuti arahan Bian, sementara Mariam masih berdiri mematung di depan pintu sambil berkali-kali mencubit tangannya sendiri.
'Sepertinya bukan mimpi!' batin Mariam merasakan cubitannya sendiri terasa sakit.
"Mah, mana nasi liwetnya? Ayo bawa sini!" pinta Bian melihat Mariam yang hanya berdiam diri.
Tanpa menjawab Mariam segera ke dapur untuk bersiap menghidangkan makanan.
"Mba ... biar aku bantu ya," ucap Medina yang menyusul Mariam ke dapur.
"Iya, maaf ... aku terkejut ternyata kalian yang datang."
"Mas Musa bilang kalau suami Mba mengundang kami datang, maaf Mba kami nggak tahu kalau undangan ini tanpa sepengetahuan Mba Mariam."
"Sudahlah nggak papa, bukan masalah besar."
Medina dan Mariam bergantian membawa hidangan ke ruang depan tempat Mariam menyiapkan lesehan seperti kesukaan teman-teman Bian, setelah selesai mereka duduk mengelilingi hidangan masakan Mariam.
"Oktavia udah tidur Mba?" tanya Medina.
"Udah, tadi nggak tidur siang jadi habis maghrib udah ngantuk."
Bian memegang erat tangan Mariam, kemudian tersenyum dan mempersilahkan Medina dan Musa untuk makan.
"Ayo Pak Musa dan istri jangan sungkan, istri saya pintar masak lho ... silahkan!"
Mariam hanya diam dan memperhatikan suami dan mantannya yang akrab secara tiba-tiba. Hatinya bertanya-tanya apa yang yang dilakukan Bian sebenarnya. Mariam tidak pernah mengatakan secara langsung kalau Mizan adalah orang yang membuatnya begitu sedih dahulu, bahkan Mariam tidak pernah bercerita dengan menyebutkan nama Mizan sepanjang hubungannya dengan Bian. Bian begitu santai dengan masa lalu atau pun perasaan Mariam yang memang bukan untuknya.
"Alhamdulillah ... !"
Medina kembali membatu Mariam membereskan makanan dan memotong buah sebagai penutup di dapur.
"Mba, terimakasih jamuannya, ternyata Mba Mariam pinter sekali masaknya," ucap Medina.
"Sama-sama," jawab Mariam singkat.
"Mba, aku - aku minta maaf atas kejadian kemarin," Medina berusaha memberanikan diri membuka obrolan kepada Mariam, namun Mariam hanya diam tidak menunjukan respon apapun.
"Mba Mariam benar, aku telah menyiksa diriku sendiri dan melukai Mas Musa juga Mba Mariam, terimakasih Mba Mariam udah menyadarkanku."
"Sudahlah Din, tidak perlu diungkit lagi."
"Tapi, suami Mba mengundang kami kesini agar kita bisa bicara."
"Apaa ... ?"
"Suami Mba, mengijinkan Mas Musa untuk sekedar ngobrol dengan Mba Mariam,"
"Nggak mungkin Mas Bian begitu, dia bahkan nggak tahu kalau Mizan adalah ... mantan pacarku."
"Sekali saja Mba, ijinkan Mas Musa untuk bicara," pinta Medina.
"Benar Mah," Bian tiba-tiba menyusul ke dapur dan ikut bicara, " Bicaralah dengannya sebagai teman lama yang sama-sama menertawakan masa lalu."
"Pah ... !!!"
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
mieya723
Betul kata Medina Bian semua harus dibicarakan
2021-03-26
0