POV MEDINA
Aku berusaha menguatkan diriku dengan memperbanyak istighfar, setelah tegukan air berhasil membantuku menguasai kembali kesadaranku.
"Tante Medina, gimana udah enakan?" tanya salah satu dari warga yang mengerumuniku, aku panik sampai tidak mengenali siapa-siapa saja yang ada disekitarku.
"Suami Mama Okta ... kecelakaan, sekarang Mama Okta dijemput untuk ke rumah sakit," terangku.
"Innalillahi ... lapor Pak RT, ayo segera lapor ke Pak RT!" seru salah seorang dari mereka.
Aku pun mencoba bangkit saat kulihat Oktavia sudah selesai dari ngajinya, dia tetap berlari walau sedikit terpincang-pincang. Aku ikut berlari menghampirinya dan langsung memeluk gadis kecil itu.
"Tante Medina kenapa?" tanya Oktavia polos.
"Nggak papa, ayo pulang sama tante kebetulan tadi Mama sedang ada urusan, jadi Okta sama tante dulu ya, nih kunci motornya Okta ada sama tante," kataku sambil mengacungkan kunci padanya.
"Emang Mama kemana?" tanya Okta lagi.
"Ada keperluan sebentar."
"Assalamualaikum ... tante Medina!" seru Teh Desi yang datang terengah-engah menghampiriku.
"Waalaikumsalam ...,"
"Saya di suruh Mama Okta njemput kesini, takut ngerepotin Tante Medina," Teh Desi adalah salah satu karyawan Mba Mariam.
"Apa sudah ada kabar?" tanyaku pada Teh Desi.
"Belum Tan, semoga Pak Bian teh enggak apa-apa!"
"Lebih baik Teh Desi nyusul Mama Okta aja, biarin Okta sama saya, Mama Okta pasti butuh temen," usulku padanya.
"Saya nggak enak, takut ngerepotin Tante Medina."
"Nggak ngerepotin, saya pengen bantu."
"Ya udah, saya ke rumah Bu RT dulu, terimakasih Tan, Assalamualaikum ...."
Aku melirik pada Oktavia, gadis kecil yang kebingungan, aku berusaha tenang dan tersenyum padanya.
"Kita main ke rumah tante dulu ya?" Oktavia mengangguk kemudian naik ke atas motor.
Aku biarkan Okta menonton acara kartun kesukaannya, sementara aku mondar-mandir menunggu kabar. Aku mengirimkan banyak pesan pada Mas Musa, tapi Mas Musa mungkin sedang sibuk.
Sampai pada akhirnya, terdengar suara pengumuman dari Masjid yang membuat tubuhku lemas seperti tak bertulang, aku melihat ke arah Okta, pandangan mataku memudar karena air mata mulai menggenang. Aku lari dan langsung memeluk tubuh gadis kecil itu, dia tampak tersentak dan heran melihat tingkahku. Okta membalas pelukanku dia mengusap pelan punggungku dengan tangan kecilnya.
"Cup ... cup ... cup! Jangan nangis lagi Tante!" ucap gadis kecil itu lembut, memalukan sekali aku menangis sesenggukan padanya.
"Mama juga sekalang cengeng kemalin Mama nangis, tapi kalo abis dipeluk Papa, Mama enggak nangis lagi," ucap Okta yang masih cadel, ucapan yang semakin membuatku menangis.
Okta mengusap kedua pipiku dengan tangan mungilnya, dia tersenyum, senyum yang membuat hatiku sedih. Tidak tega rasanya jika harus memberi tahu perihal kepergian Papanya.
"Okta sayang sama Papa?" tanyaku.
"Sayaaaang banget," jawabnya.
"Kalau Alloh lebih sayang sama Papanya Okta, gimana sayang?"
"Iya nggak papa, kan Okta selalu doain biar Papa sama Mama disayang sama Alloh."
"Alhamdulillah, Okta anak yang sholehah."
Aku bukan tidak bersimpati dengan cobaan yang sedang menimpa Mba Mariam dan Okta, tapi aku sadar betul alasan Mas Musa melepaskan Mba Mariam, adalah Pak Bian, sosok suami yang sangat mengerti Mba Mariam menurut kacamata Mas Musa, sosok suami sempurna.
Setelah ini apa yang akan terjadi padaku? Rumah tanggaku? Hati Mas Musa? Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi.
Aku kembali mencoba menghubungi Mas musa, sepertinya Mas Musa sudah membuka ponselnya, terlihat dia telah aktif beberapa menit yang lalu, tapi kenapa pesanku belum centang biru? Aku berinisiatif menelponnya.
"Assalamualaikum, Mas," sapaku dengan panik, Mas Musa menjawab dengan sedikit berbisik-bisik.
"Mas, suami Mba Mariam meninggal karena kecelakaan, Mas bisa pulang lebih cepat? Oktavia bersamaku, dan aku nggak tahu bagaimana menjelaskan semua ini padanya," Aku bercerita dengan panik.
Aku hanya terkejut Mas Musa ternyata sudah satu langkah lebih cepat, Mas Musa sudah berada di Rumah sakit. Ya Alloh ... apa ini awal kehilangan bagiku? pikirku dengan egois, di saat Mba Mariam sedang berduka aku malah sibuk memikirkan nasibku sendiri.
Astaghfirullohal'adzim ...!
Aku melihat Okta yang sedang menyanyi dan menari mengikuti irama lagu kartun kesukaannya.
Kami sayang
Mаmа рара
Sеlаmаnуа
Kаmі ѕауаng
Mаmа рара
Sentiasa
Ya Allah ѕауаngі Omаr Hаnа
dаn mаmа papa
Sayangilah
kаmі ѕеmuа
ѕеlаmаnуа
Sayangilah
kаmі ѕеmuа
ѕеlаmаnуа ....
Terdengar lirik lagu yang sedang Okta ikuti, Ya Alloh kuatkan hati anak itu?
Setelah selesai mengerjakan sholat Dzuhur aku menyelipkan Al-fatihah untuk almarhum Pak Bian, untuk ketabahan Mba Mariam, dan untuk si kecil Oktavia. Kemudian ponselku bergetar, Teh Desi mengabarkan kalau jenazah sedang dalam perjalanan menuju rumah. Aku segera bersiap-siap, tentu saja bukan hanya fisik tapi hati.
Aku mengendarai motor sambil terus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Oktavia. Aku hampir kehabisan kata menghadapinya, hatiku ikut tersayat ketika menjawab rasa penasarannya. Apalagi dengan keramaian yang tidak biasa pada rumahnya, Oktavia semakin banyak bertanya, kadang aku hanya menjawab dengan air mata dan sebuah kecupan di pipi kanan dan kiri Okta.
Aku yakin ada lebih banyak pertanyaan lagi ketika Oktavia menyaksikan jenazah Papanya ditandu turun dan disambut banyak sekali warga.
"Tante itu apa?"
Kemudian mobil Mas Musa menyusul di belakang, Bu RT dan Teh Dewi turun dan memapah Mba Mariam. Oktavia lari menghambur ke Mamanya dengan sedikit pincang karena luka terkena pecahan gelas kopi Papanya tadi pagi. Ya Alloh ....!
Mba Mariam ... maafkan aku yang sudah iri dengan kehidupanmu.
Kebahagiaan Mba Mariam dengan sekejap berganti dengan kesedihan, Mba Mariam yang bahagia karena suaminya kini bahkan tidak mampu lagi menangis, Mba Mariam lemah bahkan tubuhnya harus dipapah beberapa orang.
Mariam yang membuat candu, yang menularkan bahagia pada siapa saja yang melihat tawanya, sekarang kembali menularkan kesedihan dan air mata pada siapapun yang menyaksikan tangis kehilangan dan rintihan jiwanya. Matanya yang selalu berbinar sekarang memancarkan jiwa dan raga yang sedang terluka. Aku bahkan tidak sanggup menatapnya terlalu lama. Semua yang datang ikut menangis, mereka bergantian memeluk Mba Mariam, berebut untuk mengucapkan belasungkawa dan juga membisikkan nasehat agar Mba Mariam kuat. Aku tidak yakin Mba Mariam mendengarnya.
Innalillahiwainnailaihirojiun ..., semua yang kita miliki adalah milik Alloh, kapanpun dan bagaimanapun Alloh mengambilnya, kita harus ikhlas dan sabar. Mas Musa? Aku bahkan tidak memiliki hatinya.
Aku menghampiri Mas Musa yang berdiri tidak jauh dari mobilnya. Aku sedih melihat Mba Mariam, apalagi Mas Musa, apa yang ada di benaknya menyaksikan semua ini?
"Mas ... ?"
Aku memegang erat tangannya, kulihat matanya memerah, menandakan Mas Musa telah menangis melihat Mariam bersedih. Mas Musa membalas pegangan tanganku dengan lebih erat, aku tahu dia tidak baik-baik saja. Berlian yang Mba Mariam berikan padaku untuk kugenggam, kini terluka karena permatanya tengah dirundung kelabu.
Tunggu ... !
Jas Mas Musa ... ?
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
ARik Nabawi
la jas e kemana pak musa
2021-02-17
1
MCSDP
lanjuttttt....
2020-11-13
2