NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Pertama Suamiku

Pernikahan Yang Bahagia

Derungan mobil terdengar memasuki halaman rumah, rombongan keluarga yang akan melamarku sudah tiba. Aku semakin gugup, berkali-kali kupandangi pantulan bayanganku sendiri di cermin, jilbab, gamis, bedak, sedikit liptint, OK. Tanganku gemetar dan dingin.

"Auw ...!"

Rasanya sakit, ketika kucubit tanganku sendiri, artinya ini bukanlah mimpi. Aku tidak menyangka seseorang yang baru kulihat beberapa minggu yang lalu, yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama, datang melamarku.

Suara ketukan pintu membuyarkan pikiranku.

"Medina, ayo keluar Nak, acara khitbah akan segera dimulai!" seru ibuku dan membuat hatiku semakin berdebar tidak karuan.

"Iya, Bu!"

Kutarik nafas dan kemudian kuhembuskan perlahan, mencoba mengendalikan rasa gugup yang meledak-ledak dan beradu dengan rasa bahagia.

"Bissmillahirohmanirohim!"

Kumantapkan langkah kaki untuk keluar.

Ada 6 orang yang datang, termasuk calon suamiku. Aku disambut dengan salam yang ramah, mereka sudah menunggu, semua mata tertuju padaku. Aku sangat gugup dan malu sampai tidak berani mengedarkan pandangan, aku menunduk sepanjang paman calon suamiku, Kiyai Sholeh, menjelaskan maksud kedatangannya yang sudah jelas, dan mengharap keluargaku menyambut dengan baik niat ibadah ini. Aku hampir tidak mendengar dengan jelas setiap kalimat-kalimatnya, karena rasanya jantungku berdetak terlalu kencang.

"Bagaimana Nak Medina, apa bersedia menerima Musa, keponakan saya yang penuh kekurangan ini?" pungkasnya kemudian.

"Insha Alloh saya bersedia," jawabku malu-malu kucing.

Rasa penasaran akan ekspresi Mas Musa, mendorongku untuk memberanikan diri melirik mimik wajahnya yang Subhannalloh, tampan. Dia tersenyum seraya mengucap Hamdallah, bahagia kurasakan tidak terkira, ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku yakin perasaanku bersambut pada Mas Musa.

Mas Musa baru saja menyelesaikan pendidikan di Tarim, Yaman. Dan baru sekitar sebulan ini pulang ke tanah air, Mas Musa berasal dari sebuah kota dengan jarak sekitar 1 jam dari tempatku. Paman Mas Musa adalah orang berpengaruh di daerahku, sehingga ketika Beliau mengungkapkan akan melamarku untuk keponakannya, orang tuaku langsung setuju, dan bagiku ini adalah berkah yang luar biasa, seseorang yang tampan, sholeh, dan berpendidikan tiba-tiba menginginkan aku, Medina khafiza sebagai istrinya.

Berbagai persiapan membuat sibuk seisi rumah dan acara seperti ini selalu digunakan sebagai ajang berkumpul sanak saudara dan juga beberapa tetangga. Sepertinya keluarga calon suamiku adalah orang yang terpandang di daerahnya, hingga iring-iringan di kabarkan mencapai 3 bus besar. Aku senang, banyak yang akan mendoakan pernikahanku nanti, sepertinya ini akan menjadi acara yang meriah, semoga tidak menghilangkan kesakralan ijab qobulnya nanti.

Hingga pada hari yang ditentukan, menggema sebuah suara yang tegas, namun lembut dan merdu menyebut namaku Medina khafiza binti Jamaludin sebagai istrinya.

"Alhamdulillah!"

Besarnya acara tidak sebanding dengan tenagaku yang terbatas, tapi semua tetap berjalan dengan lancar. Malam pertama kami dilalui dengan bacaan doa Mas Musa di puncak kepalaku, dia mengajakku bersholawat, kemudian istirahat, karena acara hari ini begitu menguras tenaga. Sekali lagi aku begitu mengagumi kepribadian suamiku ini, Mas Musa. Rasanya masih tidak percaya bisa menyebutnya dengan gelar suamiku.

Kira-kira sepertiga malam, aku terbangun, aku mendengar isakan tangis seseorang, kuedarkan pandangan dan melihat Mas Musa sedang bersimpuh di atas sajadahnya, di sudut kecil kamar pengantin kami yang indah. Tidak terdengar jelas doanya, tapi sepertinya Mas Musa sedang mengungkapkan rasa syukurnya atas ibadah seumur hidup kami ini, sebahagia itu kah dirimu Mas Musa?

Aku merasa malu hingga akhirnya aku ikut bangun bermaksud mengikuti Mas Musa melaksanakan sholat malam, aku pun merasakan rasa syukur yang sama.

"Mas Musa, kenapa nggak bangunin aku?"

"Ehh, maaf Dek, kamu jadi terbangun, kamu tidur lelap banget, pasti capek seharian menyalami tamu, Mas mau bangunin enggak tega."

"Ya udah, aku ambil wudhu dulu ya, Mas," pamitku seraya pergi.

"Mau mas temenin nggak, Dek?"

"Enggak usah Mas sudah biasa kok." Mas Musa hanya mengangguk dan meneruskan doanya.

Kikuk sekali rasanya, tapi setiap detiknya begitu mendebarkan. Aku pasti akan menikmati proses pengenalan ini, semoga aku tidak mengecewakan Mas Musa, aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuknya.

Singkat cerita, seminggu setelah menikah aku diboyong ke luar kota, Mas Musa baru saja mendapatkan tawaran mengajar di sana. Aku sudah terbiasa tinggal jauh dari orang tuaku, karena sebelumnya aku tinggal di asrama, namun karena kepergianku kali ini dengan status yang berbeda, rasa haru yang kurasa pun berbeda.

"Jadi istri yang sholehah ya Nak, ayah sama ibu yakin sudah mendidik Medina dengan benar, jadilah bidadari untuk suami kamu," pesan ibuku ketika aku akan pergi.

"Pasti Bu, doakan Medina ya." aku memeluknya dengan erat sebelum akhirnya pergi sebagai seorang istri.

Sepanjang perjalanan Mas Musa menceritakan pengalaman-pengalamannya tentang Hadramauth, kota para nabi, keindahannya, ketenangannya, kedamaiannya, semua Mas Musa jabarkan, betapa terpesonanya aku dengan cerita-cerita suamiku ini. Mas Musa pandai sekali mencairkan sikapku yang kikuk, dan benar saja obrolan kita sudah lebih akrab bahkan Mas Musa mulai sedikit membelai pipiku. Perjalanan ini adalah kesempatan pertama aku bebas berdua dengan Mas Musa, karena selama di rumahku, keluargaku selalu berebut untuk berbincang-bincang dengan Mas Musa, sampai aku tidak punya kesempatan untuk sekedar ngobrol berdua.

"Makasih ya Dek, sudah mau mengikuti kemana mas pergi."

"Nggak perlu berterima kasih juga Mas, Medina rela hidup di mana aja asal sama Mas Musa."

"Mas Musa belum bisa beliin Adek rumah, sementara kita ngontrak dulu ya Dek, semoga rejeki mas cepat terkumpul jadi bisa ngasih adek rumah yang nyaman."

"Aamiin, semoga lelahmu menjadi berkah, Mas." rasanya ingin mengucapkan lebih dari itu karena janji Mas Musa sungguh sangat membuatku bahagia, tapi aku harus menjaga sikapku di depan Mas Musa jangan sampai aku terlihat lebay.

Sampai di rumah yang sudah dipersiapkan oleh teman Mas Musa, kita disambut oleh beberapa teman Mas Musa di sini. Aku kagum padanya pergaulannya begitu baik, sehingga lama hidup di luar negri tidak membuatnya kehilangan teman di sini. Rumah pun sudah rapi, aku dan Mas Musa hanya membawa baju dan beberapa barang pribadi, perabot rumah ini sudah komplit hingga aku tidak perlu repot memikirkan isinya, walaupun sederhana tapi ini sangat cukup bagiku.

Mas Musa sudah terlebih dahulu bersiap untuk tidur, menyetir jauh sepertinya membuatnya kelelahan dan juga menjamu beberapa temannya tadi, serta sedikit beramah tamah dengan tetangga, ah menguras tenaga memang.

Aku baru saja memejamkan mataku ketika kurasakan belaian lembut menyapu keningku.

"Kamu sudah sholat Isya, Dek?" Tanya Mas Musa membuatku salah tingkah tidak karuan, karena sejak malam itu aku datang bulan dan hari ini baru saja aku bersuci.

"Su-sudah Mas, maghrib tadi juga sudah." Pikiranku melayang membayangkan apa yang akan terjadi, aku gugup, tegang, dan malu.

"Hemm, boleh nggak mas meminta hak mas malam ini?" tanyanya yang terdengar sangat romantis di telingaku.

Aku tidak mampu menjawabnya, lidahku kelu, hanya jantungku yang begitu lancang menjawab, dengan debaran yang begitu kencang. Sehingga aku yakin, dengan jarak kami saat ini Mas Musa pasti mendengar suaranya. Aku mengangguk pelan, Mas Musa semakin mendekatiku dan ternyata bukan jantungku saja yang kehilangan kendalinya, aku pun merasakan dengan jelas debaran jantung Mas Musa.

"Bissmillahirohmanirohim ...." Bibir Mas Musa melafadzkan doa.

Aku menutup mataku, malu. Aku tidak tahu harus bagaimana, Mas Musa pun sama, dia hanya mengikuti nalurinya. Aku menikmati setiap sentuhan yang menjadi pengalaman pertama bagiku dan juga bagi Mas Musa, aku membayangkan dosa-dosaku yang berguguran di sana.

Alhamdulillah, malam impianku, impian setiap gadis, telah terjadi. Subhannalloh, indah dengan kita berdua yang masih malu-malu.

Kembali, aku terbangun di sepertiga malam oleh suara Mas Musa. Tapi kali ini suamiku tidak sedang berdoa, tubuh Mas Musa berkeringat dan sedikit menggumam. Sepertinya Mas Musa mimpi buruk. Aku mengguncangkan tubuh Mas Musa berusaha membangunkannya agar terlepas dari mimpi itu.

"Mas Musa istighfar, Mas!" Mas Musa hanya menjawab dengan kembali menggumam, kugoncangkan lagi sedikit lebih keras dan kupanggil-panggil namanya.

"Mariaam ... Mariaam ...!" Kupandangi benar-benar bibir suamiku dan kucoba menyamakan gerakan bibirnya dengan apa yang telingaku dengar.

"Mariaaam ... !" Kali ini aku tidak salah.

"Astagfirullohaladzim!" seru Mas Musa ketika usahaku membangunkannya berhasil, peluh di wajahnya menandakan mimpi tadi pasti tidak menyenangkan.

"Mas mimpi apa? Mas mimpi buruk?"

"Nggak apa-apa Dek, bersucilah duluan nanti kita sholat sama-sama," ucapnya dengan nafas yang masih tidak beraturan.

Mariam, siapa dia? Malam yang indah rusak dalam sekejap.

🍁🍁🍁🍁🍁

Ibu Mertuaku yang Anggun

Mas Musa benar-benar menjadi suami idamanku, imam yang sempurna, dan teman hidup yang menyenangkan. Hanya satu rahasia yang masih saja mengganjal, Mariam.

Aku bahkan tidak berani menanyakan hal itu langsung kepada Mas Musa, aku tidak ingin merusak suasana pernikahanku yang indah, lagi pula sepertinya Mas Musa tidak dalam kesadaran yang penuh saat memanggil-manggil Mariam, biarlah rasa cemburu ini meledak dalam perutku.

"Mas, aku sudah siapkan roti untuk sarapan," ucapku kepada Mas Musa yang tengah bersiap-siap berangkat ke kampus.

"Terimakasih, Dek, maaf ya merepotkan."

"Aku yang minta maaf, gara-gara kemarin sarapannya nasi goreng Mas malah jadi sakit perut, maaf ya Mas aku belum hafal selera dan kebiasaan makan Mas Musa."

"Nggak apa-apa Dek, pelan-pelan saja kita saling mengenal." Mas Musa memeluk dan sedikit mencium puncak kepalaku, perlakuan manis nan romantis yang membuatku meleleh setiap waktu.

Sekarang jadwal Mas Musa sangat padat, Mas Musa mengajar di beberapa kampus bahkan hingga ke luar kota. Mas Musa sangatlah pekerja keras juga kesholehan yang menjadi dambaan setiap wanita, masih ditambah parasnya yang tinggi, tegap, dan tampan, aku sangat beruntung.

Aku menggunakan waktu luangku untuk mencari tahu sosok Mariam, kucari-cari namanya dari beberapa akun sosmed, kucari satu persatu teman sekolah Mas Musa, kutelusuri semua kemungkinan, berharap menemukan titik terang identitas Mariam.

Akhir minggu ini ibu mertuaku datang berkunjung, ibu Mas Musa sosok yang lembut dan baik, namun rasanya agak canggung ketika aku harus berbincang dengan Beliau, dari cara Beliau berbicara menunjukan derajat ilmunya yang tidak sembarangan. Namun aku harus berusaha membuat beliau tidak menyesal menjadikanku sebagai menantunya.

"Ya Alloh ... pantaskanlah aku untuk menjadi istri seorang Musa Hamizan, segala tentangnya selalu membuatku harus berusaha lebih dan lebih," doaku selalu di dalam hati.

"Nduk, apa ada pasar deket sini?"

"Ada Bu, Ibu mau ke pasar? Ibu kepengen apa? Biar Medina carikan."

"Nggak usah, pergi bareng-bareng aja, ibu kepengen tahu lingkungan sini juga, jauh apa nggak, Nduk?"

"Deket Bu, 5 menit naik motor."

"Kalau gitu jalan kaki aja, sekalian lihat-lihat daerah sini."

"Iya Bu, Medina bereskan ini dulu sebentar ya, Bu."

Aku bergegas membereskan meja bekas sarapan, kebetulan Mas Musa sedang menginap di luar kota, mungkin hari ini pulang, karena semalam aku sudah mengabarkan kedatangan ibunya.

"Ayo, Bu!" ajakku pada Beliau ketika semua sudah selesai.

Ibu mertuaku cantik sekali, padahal usianya yang tidak lagi muda, gamisnya berwarna ungu dan jilbabnya panjang. Kami berjalan bertelanjang kaki karena permintaan beliau, mungkin ini rahasia awet muda ibu mertuaku.

"Lingkungannya enak ya, Nduk, apa kamu sudah kenal tetangga-tetangga disini?"

"Baru beberapa Bu, baru tetangga kanan kiri, orang-orang di sini keluar rumah kalau ada butuhnya aja begitu masuk tutup pagar lagi."

"Sabar Nduk, semoga cepet-cepet dikasih momongan biar kamu nggak kesepian kalo Mizan keluar kota."

"Aamiin, doakan Medina, Bu," ucapku seraya tersenyum malu mendengar doa Beliau.

'Segerakan Ya Alloh!' batinku.

Tanpa terasa kita sudah sampai ke pasar, sebelum pergi ibu mertuaku bilang hanya ingin melihat-lihat, tidak ingin beli barang karena kita jalan kaki pasti susah membawanya. Ternyata ibu mertuaku kepincut berbagai jenis barang dari piring, gelas, cangkir, dan beberapa buah-buahan. Aku kepayahan membawanya.

"Nggak apa-apa, Nduk, ayo pelan-pelan aja nanti juga sampai," ucap ibu mertuaku ketika aku memaksa untuk membawakan semua barang belanjaan kami, tidak enak rasanya membiarkan Beliau ikut kepayahan membawa barang-barang ini.

"Istirahat saja dulu Bu, matahari udah mulai panas kasian Ibu."

"Enggak papa Nduk, ayo jalan lagi!" jawab Ibu mertuaku dengan nafas yang mulai terengah-engah.

"Begini aja Bu, Ibu tunggu sebentar di sini biar Medina lari pulang ngambil motor," usulku melihat Ibu mertuaku yang kepayahan, kebetulan ada ruko yang belum buka dan Ibu mertuaku berteduh di depannya.

"Ya udah Nduk, maaf ya malah ngerepotin."

"Nggak papa Bu, tunggu Medina ya jangan kemana-mana sebelum Medina datang."

Aku berjalan dengan cepat dan setengah berlari, berharap segera sampai ke rumah dan tidak ingin membuat ibu mertuaku lama menunggu. Aku segera membuka gerbang dan hendak mengeluarkan sepeda motorku kebetulan kuncinya telah kubawa sebelumnya.

Baru sempat kututup gerbang, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan rumahku, dan benar saja, Ibu mertuaku turun seraya mengucapkan terimakasih. Aku segera menghampirinya dan membantu wanita yang mengantar Ibu mertuaku menurunkan barang-barang belanjaan Ibu mertuaku dari motor bagian depannya.

"Terimakasih, Mbak!" ucapku padanya.

"Sama-sama, tadi kasian ngeliat Ibu kepanasan jadi saya tawari tumpangan."

"Makasih ya, Mbak!" ucap ibu mertuaku lagi.

"Sama-sama Bu, kirain jauh ternyata deket, baru pindah ya? Saya kok baru lihat," tanya mbak itu.

"Menantu saya baru pindah ke sini," terang ibu mertuaku.

"Oh begitu, semoga betah ya, kalau saya blok depan, main-main kerumah saya, Bu," kata mbak itu dengan ramah.

"Iya, ini menantu saya Medina yang akan tinggal disini kalau saya cuma main, Mba." Ibu mertuaku memperkenalkan diriku, sepontan aku menyalaminya.

"Perkenalkan saya Medina, Mbak."

"Panggil saja Mama Okta, kalau sudah punya anak nama asli suka enggak laku di sini, kenalnya Mama Okta nama anak saya," jawabnya sambil membalas uluran tanganku.

"Maaf ya, saya buru-buru kapan-kapan kita ngobrol lagi."

"Kapan-kapan mampir kesini, Mbak!" ucap Ibu mertuaku berbasa basi.

"Iya Bu, saya pamit dulu, Assalamualaikum!"

Mama Okta pun pergi, aku bersyukur Ibu mertuaku baik-baik saja.

"Alhamdulillah ketemu orang baik Nduk, kamu nanti berteman saja sama dia."

"Iya Bu, ayo masuk dulu kasian Ibu pasti panas dan haus."

Aku segera ke dapur membuatkan es teh untuk kita berdua, sejujurnya aku juga sangat haus sehingga bayangan tegukan es teh pasti mampu meredam rasa hausku dan juga Ibu mertuaku. Segera setelah jadi aku membawakannya kepada Ibu mertuaku.

"Air putih aja lho Nduk, Ibu kalau minum es malamnya batuk-batuk."

"Oh, iya Bu!" Aku segera kembali ke dapur dan membawakan beliau segelas air putih, rasa haus benar-benar membuatku tidak berpikir jernih.

Tidak lama kemudian terdengar suara mobil Mas Musa, aku segera berlari ke depan untuk menyambut dan membukakan gerbang untuknya. Dari balik kaca mobil dia melempar senyum yang manis padaku, andai Mas Musa tahu ditinggal 3 hari saja aku sudah sangat rindu. Mas Musa segera turun dari mobilnya dan aku menyambutnya dengan takdim.

"Assalamualaikum Dek, mas segera ijin pulang pada teman-teman dosen yang lain begitu tahu Ibu datang, maaf ya Dek, kamu pasti repot Ibu datang tanpa memberi tahu terlebih dulu."

"Nggak papa Mas, Medina malah seneng biar bisa deket sama Ibu."

"Mizan ... Ya Alloh Ibu kangen!" Ibu mertuaku langsung memeluk Mas Muza, Mizan memang panggilan sayang beliau untuk suamiku.

Aku tinggalkan mereka untuk melepas rindu, aku pergi ke dapur dan menyiapkan secangkir teh untuk suamiku. Saat aku datang ibu mertuaku sedang berapi-api menceritakan kejadian tadi pada Mas Musa, sambil menyebutkan 'Mbak-mbak baik' yang menolongnya. Mendengar keakraban mereka berdua aku beranjak menuju ke dapur untuk memasak, dan membiarkan Mas Musa dan Ibu saling melepas rindu.

"Belum selesai Mariam, eh sekarang Mbak-Mbak baik," ucapku sedih pada diriku sendiri.

🍁🍁🍁🍁🍁

Jejak Digital Mariam

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Musa yang tiba-tiba muncul dan mengejutkanku.

"Nggak papa, Mas," jawabku dengan mencoba tersenyum.

"Yakin?"

"Hemm, apa kalau aku jujur Mas nggak marah?"

"Kenapa mas harus marah? Cobalah dulu, Dek."

Melihat mata Mas Musa yang bijaksana memberikan kenyamanan yang luar biasa untukku berkeluh kesah, mata yang teduh membuatku yakin untuk sedikit berdiskusi, apa yang kurasa tidak nyaman.

"Aku tadi salah ngambilin minum buat ibu, aku nggak tahu kalau ibu nggak suka es teh."

Mas Musa malah tertawa mendengarnya barisan giginya sampai terlihat.

"Hanya itu, Dek? tapi kamu sampai keliatan kusam begitu."

"Ini tentang merebut hati Ibu, tidak bisa disebut 'hanya itu', Mas," protesku.

"Sudah nggak apa-apa 'kan sekarang jadi tahu, sudah jangan dipikirkan lagi kamu sudah mencoba yang terbaik Dek, bahkan ketika mas nggak ada." Mas Musa memelukku memberikan sedikit usapan di pundakku mengisyaratkan apa yang menjadi kata-katanya.

Aku senang sekali, bahagianya menjadi istri seorang Musa Hamizan, terlepas dari siapa nama yang sering dia sebut dalam tidurnya, tetapi aku merasa dicintai tanpa dusta. Haruskah aku mengabaikannya? Atau menanyakan saja langsung kepada Mas Musa? Nanti sajalah, aku sedang bahagia.

"Terimakasih ya Mas, oh iya ibu juga tadi mendoakan kita supaya cepat dapat momongan lho, Mas."

"Oh iya? Bagus dong, semoga Alloh cepat memberi kita keturunan ya, Dek."

"Aamiin...," jawabku dan ternyata berbarengan dengan Mas Musa, menyadari hal itu kemudian kita tertawa bersama.

"Eheeem ... masih siang ini Zan, ada ibu lho ... !" ucap ibu mertuaku yang tiba-tiba muncul.

"Eh ... Ibu!" Mukaku memerah menahan malu, sedangkan Mas Musa memeluk ibunya penuh kasih sayang.

Kalau orang bilang hidup itu sawang sinawang, bisa saja terlihat sempurna padahal tidak, tetapi semakin kulihat semakin sempurna saja kehidupan Mas Musa ini. Aku harap aku juga istri yang sempurna. Semoga aku segera hamil dan memenuhi harapan semua orang, Aamiin.

Tanpa terasa satu minggu sudah ibu mertuaku mengunjungi kami, kemudian ibu pulang dijemput oleh salah satu karyawan Beliau, keluarga suamiku punya perkebunan dan juga beberapa toko buah tentu jumlah karyawannya pun lumayan.

Aku mulai mengenal tetangga berkat perkenalanku dengan Mama Okta tempo hari, aku jadi mengenal mama-mama yang lain, Mama Najwa, Mama Nabil Nabila, Umi Azka dan masih banyak lainnya, benar saja nama asli sudah tidak dikenal lagi kalau sudah menjadi seorang ibu, semoga aku segera dipanggil dengan nama anakku nanti, sekarang orang mengenalku dengan Tante Medina atau Ibu Musa.

Aku ikut pengajian-pengajian yang sudah rutin dilaksanakan di lingkungan sini, dan karena latar belakangku pesantren, aku malah sering disuruh mengisi pengajian, tentu saja aku merasa tidak pantas tetapi sekali lagi Mas Musa menyuruhku mencoba, karena ketika kita menyampaikan materi saat mengaji, kita bukan hanya sedang mengingatkan orang lain tetapi lebih kepada mengingatkan diri kita sendiri. Aku pun mengiyakan, berkat dukungan dari suami, ditambah respon yang kudapat dari jamaah pengajian juga positif.

Waktu berlalu begitu saja, tapi aku masih belum menunjukan tanda-tanda akan berbadan dua. Aku yakin Mas Musa juga menunggu kabar gembira ini, tapi Mas Musa sangat pandai menjaga perasaanku. Mas Musa juga sudah tidak sesering dulu menyebutkan nama Mariam di dalam tidurnya, aku harap siapa pun dia, bukanlah ancaman bagi keluargaku.

Suatu hari aku kembali iseng membuka-buka sosmed bekas pencarianku terhadap nama Mariam, kemudian perhatianku tertuju pada akun berlogo 'F' dengan nama 'Marizan'. Akun itu sudah lama sekali tidak aktif tetapi hari ini akun itu ditag oleh seorang yang kuketahui sebagai teman lama Mas Musa.

Aku seperti menemukan pintu dari segala teka-teki mimpi buruk yang membuat Mas Musa meneriakan nama perempuan lain hampir setiap malam. Rasa penasaran membuatku lupa bahwa ada bahagia yang harusnya kujaga dengan tidak tahu saja. Kuputuskan untuk tahu dengan segala resikonya.

Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui itu memang akun Mariam, tidak ada satupun foto yang menunjukan wajahnya tetapi di sana tertulis betapa Mariam pernah begitu patah hati ketika harus berpisah dengan Mas Musa, ketika Mas Musa masih sekolah di Tarim. Aku baca semua curahan hatinya, tentang rindu dan kegelisahan yang dirasakannya, aku pun membaca banyak sekali komentar, dari yang mendukung, menguatkan, dan selalu menghibur Mariam. Aku mampu mengenali beberapa akun yang juga merupakan teman Mas Musa, karena mereka juga datang saat momen pernikahanku. Artinya, ruang lingkup pergaulan Mas Musa sama dengan ruang lingkup pergaulan Mariam, betapa beruntungnya Mariam memiliki cinta yang besar dari Mas Musa dan juga teman-teman yang tidak berhenti mendukungnya. Namun akun tersebut ditinggalkan pemiliknya, terlihat dari postingannya yang terhenti, harapan Mariam pun berhenti tapi entah dengan cintanya.

Aku tahu dari bahasanya, Mariam pun pernah begitu mencintai Mas Musa. Tetapi bagaimana dengan Mas Musa? Meskipun ini hanyalah masa lalu, tapi tetap saja menyakitkan, dan semakin bertambah menyakitkan lagi ketika aku tahu nama yang suamiku sebut, bahkan ketika terlelap, adalah nama dari seorang wanita yang punya perasaan begitu dalam kepada Mas Musa.

Apakah wanita itu juga menyebut nama suamiku di setiap tidurnya? Ahh, berarti artinya Mas Musa juga punya perasaan yang tidak kalah dalamnya, mereka sama-sama memiliki perasaan yang besar. Saling mencintai.

Tidak kalah mengejutkan lagi aku menemukan akun yang selalu meninggalkan komentar bergambar sedih tetapi tidak pernah menuliskan 1 kata pun. Aku telusuri akun dengan nama 'Musyafir Cinta', isi berandanya tidak kalah menyedihkan dari akun Marizan, aku yakin ini akun yang pernah dimiliki oleh Mas Musa. Di sana tersirat jelas bahwa Mas Musa sama-sama mencintai Mariam, meski akhirnya mereka harus berpisah entah karena Mas Musa harus pergi jauh atau karena hal lain.

Aku menyesali tindakanku sendiri, harusnya aku tidak mencari tahu siapa Mariam, harusnya aku tertidur pulas ketika Mas Musa menyebut-nyebut namanya. Bagaimana kalau Mas Musa ternyata masih mencintai Mariam? Bagaimana kalau ternyata aku hanya pelarian? Bagaimana kalau suatu saat Mas Musa membuangku dan kembali pada Mariam? Aku menghela nafas yang panjang.

Aku menangisi masa lalu mereka, masa lalu yang belum ada aku di dalamnya. Aku begitu takut kehilangan Mas Musa. Ku lempar ponselku jauh-jauh, dan berharap untuk tidak pernah tahu saja.

🍁🍁🍁🍁🍁

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!