POV MEDINA
Aku baik-baik saja?
Bohong!
Bagian tersulit adalah ketika pancaran cinta untuk Mariam terlihat masih sangat membara di mata Mas Musa, namun aku harus terlihat baik-baik saja.
Bagian tersakit adalah ketika Mas Musa mengatakan tidak mencintai Mariam tetapi namanya masih saja terucap dalam setiap mimpinya.
Dan bagian tersedih adalah ketika aku meminta Mas Musa mencintaiku padahal aku tahu hatinya telah penuh dengan Mariam.
Tiba-tiba aku merasa di depanku membentang jalan berbatu yang tajam, menanjak, dan berliku. Sulit tapi aku harus terus melangkah dan berjuang meraih ridho suamiku. Aku ingin cintanya padaku sedalam cintanya pada Mariam, aku ingin diriku sepadan dengan Mariam, aku ingin diriku mampu menggeser posisi Mariam.
Sepanjang hari ini aku menangis, tidak akan mudah bagiku untuk masuk ke dalam hati Mas Musa. Apa yang harus aku lakukan? Sementara aku harus bersaing dengan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh tangan, dan tidak mampu ku perkirakan dengan rasa.
Aku bersaing dengan masa lalu yang sudah terlebih dahulu mencuri start untuk mencintai dan dicintai, bahkan terlebih dahulu terluka dan dilukai. Aku harus berbuat apa?
Aku percaya Mas Musa sedang berusaha mencintaiku, dia memperlakukanku dengan sangat romantis dan sikapnya, perhatiannya, menunjukan kalau Mas Musa benar-benar berusaha. Aku tetap bahagia walaupun sepenuhnya aku sadar, Mas Musa melakukan semua itu bukan karena ingin mencintaiku, tetapi karena ingin menghapus perasaannya terhadap Mariam. Aku juga menyadari semakin besar usaha Mas Musa menunjukan bahwa perasaannya terhadap Mariam juga besar.
"Mariam ... Mariam ... !" Suara Mas Musa kembali membangunkanku di suatu malam, Mas Musa kembali mengigau, ini ke-2 kalinya setelah pembicaraanku dengan Mas Musa tempo hari, sudah jauh berkurang tapi nyatanya masih harus sabar sampai benar-benar hilang.
Kuraih beberapa lembar tisue untuk mengelap keringat di wajah Mas Musa, padahal suhu ruangan cukup dingin tetapi keringat itu masih saja mengucur deras bersamaan dengan mimpi tentang Mariam.
"Mas ... Mas ... bangun Mas ... !" Kugoncang-goncangkan tubuh Mas Musa.
"Mariaam ... !" Mas Musa pun bangun dengan sedikit teriakan dari mulutnya.
Betapa sakit hatiku setiap kali nama itu terucap dari bibir Mas Musa, rasanya seperti tercabik-cabik oleh pisau yang tidak terlihat, air mataku kali ini lolos tak mampu lagi menutupi kepura-puraanku yang mencoba baik-baik saja di depan Mas Musa. Untung saja lampu kamar gelap, Mas Musa tak mungkin melihat air mata kejujuranku ini.
Mas Musa menarikku ke dalam pelukannya, kurasakan detak jantungnya yang tak beraturan, nafasnya yang terengah-engah seperti habis berlari dikejar oleh Mariam. Aku membalas pelukannya, kutenggelamkan wajahku kedalam rengkuhan Mas Musa, air mataku terus mengalir menyatu dengan keringat Mas Musa, entahlah Mas Musa menyadarinya atau tidak.
'Tunjukan suamiku jalan Ya Alloh, agar dia terlepas dari apa yang membuatnya terbelenggu, kuatkan hatiku agar tetap mampu berpura-pura baik-baik saja.'
Setelah kurasakan nafas Mas Musa kembali teratur dan memastikannya tertidur, aku berniat menarik diriku dari pelukan Mas Musa.
"Jangan Dek, begini saja!" Aku tersentak, ternyata Mas Musa belum tertidur lagi.
"Bila Mariam adalah mimpi buruk, maka Mas harap kamu adalah obatnya Dek," ucapnya lembut, kembali aku meleleh dengan perlakuan Mas Musa.
"Iya Mas ...."
Tidak terasa, pernikahanku dengan Mas Musa sudah berjalan 6 bulan tetapi entah kenapa belum juga terlihat tanda-tanda kehamilanku. Tanpa bisa dihindari aku terserang kegelisahan yang luar biasa, aku ingin segera hamil dan memberikan sebuah kebahagiaan untuk Mas Musa. Pertanyaan dari Ibu mertuaku dan juga Ibuku semakin menambah rasa gelisah dihatiku, apa yang membuat aku belum juga diberi kepercayaan untuk hamil?
Meskipun Mas Musa terlihat santai dan tidak menuntutku, tetapi aku tahu jauh dalam hatinya dia juga tidak sabar ingin segera memiliki seorang anak. Seorang anak yang kuharapkan mampu membantu menghapus Mariam.
"Jangan dibawa sedih Dek, nanti malah semakin sulit. Seorang wanita harus bahagia dan tidak boleh setres, kalau kamu nggak bahagia artinya Mas yang gagal sebagai suami Dek," ucap Mas Musa suatu hari.
"Ayo kita ke dokter Mas, ikut promil!" Aku memberanikan diri mengajak Mas Musa walau aku yakin Mas Musa tidak setuju.
"Sabar Dek, semua itu mutlak hak Alloh. Kita nikmatin aja dulu mungkin Alloh menginginkan kita untuk lebih lama romantis-romantisan berdua."
"Mas yakin?"
"Iya, percaya sama Mas nanti kalau seandainya sudah 2 tahun belum dikasih juga baru kita berikhtiyar dengan yang lain." Aku tersenyum mendengar penuturannya, Mas Musa mampu sedikit melegakan kegelisahanku akan momongan.
"Nikmati dulu Dek hari-hari kita berdua."
"Terimakasih ya Mas," Mas Musa membalas dengan mencium keningku.
"Oh iya, Mas nanti usahakan pulang lebih cepat, kamu nggak usah masak Dek nanti kita jalan-jalan saja kita makan di luar."
"Beneran Mas?"
"Iya," aku senang mendengar Mas Musa mengajakku jalan-jalan karena biasanya Mas Musa sangat sibuk dengan jadwal mengajarnya yang di sana sini.
Hari itu berlalu dengan sedikit lama, apa karena aku begitu menantikan kepulangan Mas Musa? Yang jelas mataku memancarkan keceriaan yang tidak biasa, dengan kata-kata Mas Musa yang tidak terburu-buru akan momongan serta ajakannya berkencan.
[Tante Medina, bisa kerumah sekarang?] Muncul satu pesan di aplikasi hijau dalam ponselku.
[Iya Mama Okta, ada apa emangnya?] jawabku cepat karena kebetulan waktuku sedang senggang.
[Seragam pengajian sudah jadi, ibu-ibu yang lain juga masih ada disini biar rame sekalian ngumpul.]
[Oh, iya Mama Okta, saya ke sana.]
Mama Okta adalah seorang penjahit dengan 3 orang karyawan, baju-baju buatannya selalu bagus dengan model masa kini dan jahitan yang rapi. Untuk seragam pengajian, atau seragam yang lain selalu berlangganan menjahit di tempatnya.
Aku segera mengeluarkan sepeda motor yang Mas Musa belikan untuk keperluanku di rumah. Kupacu menuju rumah Mama Okta, jaraknya dekat hanya berbeda beberapa blok denganku. Benar saja sampai di sana sudah ramai Ibu-ibu yang lain sedang mencoba seragamnya.
"Tante Medina sudah datang, sini masuk ini seragamnya cobain dulu kalau ada yang kurang pas biar bisa langsung diperbaiki," sambut Mama Okta padaku.
"Bagus Mam, kayaknya pas semuanya," jawabku setelah melihat-lihat seragam milikku.
"Udah cobain aja dulu, itu di sana di kamarnya Okta!"
Aku pun menurutinya, aku segera mencoba gamis berwarna pink yang modis yang dipadu dengan jilbabnya yang panjang membuatnya terlihat elegan, aku suka sekali modelnya karena mengingatkanku pada keanggunan ibu Mas Musa.
Sejenak kuedarkan pandangan ke kamar putri tunggal Mama Okta, iya Oktavia. Beberapa potret menghiasi tembok kamar bercat kuning itu, dari mulai Oktavia lahir sampai kini dia berumur 4 tahun. Manis sekali penataan foto-fotonya, aku berharap untuk segera mendapatkan momongan. Sempurna sekali kehidupan Mama Okta, semuanya komplit.
"Kamarnya Okta rapi ya Mam," ucapku pada Mama Okta.
"Iya Tante, lha wong Oktanya enggak tidur disana."
"Kok bisa?"
"Tidurnya masih bareng Mama Papanya, belum mau tidur sendiri tante," jawab Mama Okta dengan senyum khasnya.
Ibu-ibu yang lain sudah berpamitan pulang dan karena aku keasyikan ngobrol dengan Mama Okta aku sampai lupa waktu dan akhirnya terjebak hujan. Jam menunjukan pukul 3 sore, sepertinya sudah saatnya Mas Musa pulang.
"Aduh Mam, gimana ini kok malah makin deres? Suami saya sebentar lagi pulang," ucapku cemas.
"Di telpon aja dulu suaminya, biar nanti nggak nyariin tante ...."
" Ya udah, saya telpon dulu sebentar ya Mam ...."
Tuuutt ... tuuuut ...
[Assalamualaikum Dek, kamu dimana hujan deras begini, Mas sudah sampe rumah]
"Waalaikumsalam Mas, Medina di rumah Mama Okta ...."
"Mam, boleh nitip motor enggak besok pagi biar saya ambil, sekarang suami saya mau jemput kesini," pintaku pada Mama Okta.
"Iya Tante, enggak papa kayaknya hujannya juga masih lama, kasian suami Tante Medina nunggu kelamaan."
Tak lama kemudian Mas Musa sampai dengan mobilnya, Mas Musa dengan sigap turun menggunakan payung dan menghampiriku di depan rumah Mama Okta. Aku tersenyum menyambutnya, namun seketika senyumku memudar.
"Mariam ... ?"
"Mizan ... ?"
🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Dwi Ramayani
sakkiiiittt
2021-03-25
1
ARik Nabawi
oalah akhirnya ketemu mariam mizan
2021-02-15
0