Sosok Bian

"Mah ... ?" panggil Bian dari pinggir jalan samping taman yang hanya berbatas pagar kawat yang tinggi.

Mariam dan Medina bersama-sama menoleh ke sumber suara. Menyadari salah satu orang yang dibicarakan datang, Medina segera berpaling dan menghapus sisa air matanya, sementara Maryam mencoba mengatur nafas untuk menetralkan emosi yang sempat menguasainya.

"Pah, tumben udah pulang?" tanya Mariam.

"Biasa awal bulan, order santai. Dimana Okta Mah, ayo kita jalan-jalan!"

"Tunggu di pintu masuk aja Pah, aku cari Okta dulu nanti ketemu disana."

"Aku harap setelah ini tidak ada lagi yang kamu ungkit, Assalamualaikum ... !" Mariam pergi meninggalkan Medina yang masih tertunduk memikirkan perbuatannya sendiri.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya lirih bahkan menatap langkah Mariam yang menjauh pun dia tidak berani.

Dari jauh Medina melihat, betapa hangatnya keluarga Mariam, Mas Bian memperlakukan Mariam dengan baik sehingga walaupun hati Mariam masih memendam rasa pada suaminya Mariam masih punya kekuatan yang besar untuk menutupinya, andai Medina tidak menemukan curahan perasaan di akun Mariam mungkin saja Medina dengan mudah akan percaya pada semua pembelaan Mariam. Rumah tangga mereka pun dianugrahi malaikat cantik bernama Oktavia, Medina semakin sedih dan meremas perutnya.

"Kamu punya suami yang begitu mengerti dirimu Mba, dan anak yang membuatmu sempurna, aku tidak mengerti kenapa Alloh masih saja menyimpan dirimu di hati suamiku?" ratap Medina dengan pilu.

Sementara itu Mariam dan Bian menikmati suasana sore yang padat, motornya meliuk-liuk mencari jalan dan membuat Oktavia tampak tertawa riang. Berbagai jajanan kaki lima tersuguh di sepanjang jalan kanan dan kiri tentu menjadi hiburan sederhana namun menyenangkan.

"Tumben Mah, ngobrol sama istrinya temenmu itu di taman?"

"Medina? Hem ... iya, jenuh katanya di rumah."

"Oh, tapi ngobrolnya serius gitu Papa sampe harus manggil berkali-kali."

"Masa sih Pah, perasaan cuma sekali dan Mama langsung denger deh."

"Makanya jangan pake perasaan, ngobrolin apa sampe Mama jadi ngelamun terus begini?"

"Biasa aja Pah, mama cuma pengen sesuatu nih,"

"Mau apa? Ke bulan? Ayook ... !"

"Iihhh, bukan! Kita lama enggak makan yang ada struknya, dan main ke tempat yang ada struk parkirnya."

"Hemmm!"

"Bilang saja ke Mall Mah, pake strak struk segala."

"Jadi, pergi nggak nih?"

"Besok ya, inikan udah mau maghrib beli makanan yang non struk dulu itu di Mang Ujang," mereka berhenti di sebuah gerobak martabak.

"Mang ... biasa ya martabak manisnya 1 yang coklat keju!" teriak Bian pada sang penjual.

"Hemm, Pah kamu tahu kalau aku lagi kesel?"

"Tahu," jawab Bian mantap.

"Kenapa coba?" tanya Mariam meragukan Bian.

"Ya pokoknya tahu, tuh buktinya papah beliin martabak yang manis biar mamah enggak kesel lagi."

"Yee ... berarti papa sok tahu doang!" jawab Mariam menyadari suaminya menjadikannya bahan candaan.

"Tahu papa tuh, temen lama Mama itu kan?"

"Iya, dia kenapa?"

"Nagih utang ya sama Mama?"

"Ihh, seneng aja bercanda!"

"Apapun itu lebih baik Mamah selesaikan,"

"Apapun itu?"

"Iya, apapun! Nggak baik kalau masalah berlarut-larut,"

"Hemm, begitu ya ... ?"

"Iya, emang berapa sih utang Mamah?"

"Ihhhhh, papah ... bukan utaang!" seru Mariam menanggapi candaan Bian.

Mereka pulang dengan berbagai camilan yang tergantung di motornya. Mariam bersyukur memiliki pasangan seperti Bian, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Mariam tanpa harus Mariam utarakan. Bian dan Mizan sangatlah berbeda, keduanya menempati hati Mariam dengan caranya masing-masing.

.....

Medina menatap nanar hidangan yang sudah tertata di meja makan rumahnya. Dia belajar dengan keras untuk bisa memasak sesuai lidah suaminya, namun saat jam dinding menunjukan pukul 8 malam tidak terlihat tanda kalau suaminya akan segera pulang. Ponsel di genggaman tangannya pun diam tanpa satu pun notif yang masuk.

Perasaannya kacau dengan hati yang dipatahkan suaminya dan juga dipatahkan oleh Mariam. Bahkan pengorbanan yang dia lakukan ditelanjangi oleh Mariam secara sadis, Musa dan Mariam selalu kompak saat bicara mereka sudah melupakannya namun prilaku masing-masing dari mereka juga kompak mencerminkan yang sebaliknya.

Detik demi detik barlalu, tanpa terasa jam dinding menunjukan pukul 10 malam, Medina yang tersakiti oleh pikirannya sendiri mulai kalap dan membuang semua makanan beserta piring dan mangkoknya ke dalam westafel. Saat itu juga mobil Musa terlihat memasuki gerbang rumah mereka.

Medina panik menyadari apa yang sudah dia perbuat, "Astaghfirullohaladzim ... ! Aku kenapa?"

"Assalamualaikum ... !" Musa nampak terkejut dengan kondisi istrinya.

"Kamu kenapa, Dek?" Musa segera menghampiri Medina yang tertuduk lemah di dapur, Musa semakin heran ketika melihat westafel yang penuh dengan makanan.

"Kenapa Dek? Apa yang terjadi?"

Medina tidak menjawab hanya isak tangis yang terdengar dari mulutnya, tubuhnya pun gemetar. Musa dengan hangat meletakan kepala Medina ke dalam pelukannya, kemudian membelai lembut rambut Medina, Musa menyadari apa yang sedang terjadi pada istrinya.

"Perbanyak istighfar Dek," bisik Musa lembut.

"Mas ... ? Maafin Medina ya," jawab Medina sambil menahan tangisnya.

Musa mengajak Medina untuk bangun dan duduk di sofa.

"Iya Dek, tenang dulu. Mas tahu kamu tertekan, lepaskan Dek apa yang mengganjal di hatimu."

"Medina merasa bersalah sama Mba Mariam, "

"Terus?"

"Mba Mariam kayaknya marah banget, Mas juga berhak kok kalau mau marah sama Medina!"

"Enggak Dek, mas nggak marah, mas tahu semua karena Medina ingin memberi yang terbaik ...,"

"Iya, tapi tanpa Medina sadari justru Medina menyakiti Mas Musa dan juga Mba Mariam," sela Medina memotong ucapan Musa.

"Sebenarnya, kamu menyakiti dirimu sendiri Dek."

"Medina nggak ngrasa begitu Mas, sebenarnya tadi Medina menemui Mba Mariam."

"Hemm ... benarkah?

"Iya, Mba Mariam bilang dia sudah memaafkanmu Mas dan dia juga meminta maaf kalau dulu pernah menyakiti Mas,"

"Sudahlah Dek, sekarang sudah nggak ada gunanya lagi membahas yang sudah berlalu, mas harus menghormati perasaanmu dan Mariam harus menghormati perasaan Pak Bian. Tidak pantas mengumbar kisah masa lalu."

"Iya Mas, Medina minta maaf, Medina menyesal tapi ...,"

"Tapi kenapa Dek?"

"Medina tetap harus menemui Mba Mariam lagi meminta maaf dan memulai semua dari awal."

"Dengar Dek, bila memang kamu benar-benar tertekan dengan kehadiran Mariam sebaiknya kita pindah saja." Usul Musa yang tidak tega melihat kondisi psikis Medina.

"Nggak Mas, Medina nggak merasa tertekan karena Mba Mariam, Medina nggak mau lari, apapun takdir kita nanti, aku hanya merasa dekat dengan mba Mariam adalah hal baik."

"Baiklah, kapan pun kamu mau pindah Dek bilang saja!"

"Mas Musa dari mana? Medina resah nunggu kabar tapi Mas Musa nggak juga ngasih kabar."

"Sebenarnya tadi Mas ketemu Pak Bian, dan banyak ngobrol dengannya."

"Suami Mba Mariam?" tanya Medina tidak percaya, Musa hanya mengangguk dan tersenyum.

🍁🍁🍁🍁🍁

Episodes
1 Pernikahan Yang Bahagia
2 Ibu Mertuaku yang Anggun
3 Jejak Digital Mariam
4 Siapa Mariam?
5 Sudut Hati Musa
6 Hujan sore itu
7 Pertemuan mantan kekasih
8 Sedalam itu kah?
9 Aku Menginginkan Mariam
10 Memohon pada Mariam
11 Sosok Bian
12 Bicaralah sebagai Teman Lama
13 Ssesuatu yang nampak Indah karena tidak kita miliki
14 Apa Dulu Keadaan Mariam Buruk? POV MUSA HAMIZAN
15 Titip Oktavia POV Medina
16 Kepergian Biantara
17 Permata yang Dirundung Kelabu
18 Mas Musa akhirnya pergi meninggalkanku
19 Air mata yang membuatku dilaknat malaikat
20 Medina Khafiza, istri yang meminta suaminya untuk mengejar cinta pertamanya.
21 Melamar Mariam
22 Kamu tega memintaku menikahi suamimu
23 Pengorbanan Medina
24 Keputusan Musa
25 Aku hanya berbagi bukan kehilangan
26 Memperebutkan Mariam
27 Lamaran kedua Untuk Mariam
28 Pesan Terakhir Biantara
29 Berdamai Dengan Keadaan
30 Mariamku, Istriku.
31 Hari pertama pernikahan
32 Beban Moral Mariam
33 Tersesat Dalam Kesedihan
34 Ungkapan Cinta
35 Jatuh Cinta Berkali-kali
36 Ayo Kita Promil
37 Kemarahan Ibu Medina
38 Menahan Kecewa
39 Duri dalam Pernikahan
40 Isi Hati Mariam
41 Sadar Diri
42 POV Musa Hamizan
43 Restu yang Tidak Sebenarnya
44 Mencintai Tidak Boleh Sebodoh Ini
45 Apa kamu meragukan janjiku, Dek?
46 Satu Hati Dua Cinta
47 Tidak Butuh Yang Lain
48 Pergilah, Din!
49 Pelajaran Hidup Dari Kawan Lama
50 Ada yang Salah Dengan Hatiku
51 Mencari Medina
52 Benarkah Medina Baik-baik Saja?
53 Tempat Penuh Kenangan
54 Kehamilan Medina
55 Kondangan 1
56 Kondangan 2
57 Saksi Kebahagiaan Medina
58 Perjalanan Kembali
59 Panik
60 Bukan Keikhlasan Wanita Biasa
61 Bukan Keikhlasan Wanita Biasa 2
62 Mencoba Bicara dengan Bahasa yang Lain
63 Aku Manusia
64 Saling Menghindar
65 Rasa Ingin Tahu Medina
66 Lepaskanlah Mariam dari Pikiranmu
67 Perpisahan Kedua
68 Yang Terbaik
69 Permintaan Mariam
70 Keinginan Mariam
71 Melepas
72 Pertanyaan Ibu
73 Memenuhi Janji
74 Desas Desus
75 Dilema
76 Mencari Tahu
77 Mencoba Melihat Sudut Pandang Mariam
78 Pergulatan Batin Medina
79 Buah Kejujuran Medina
80 Bicara Pada Mariam
81 Kemarahan Faisal
82 Memberi Tahu Ibu
83 Tangis Bu Aini
84 Pergi
85 Malam yang Indah
86 Sudut Hati Musa
87 Tentang Mas Faisal
88 Aku Harap Kamu Kembali Bersinar
89 Aku Mencintaimu
90 Melahirkan
91 Aku yang Bersalah
92 Berjuang Hidup
93 Pergi
94 Takdir
95 Episode Terakhir
96 Lipatan Masa Lalu
Episodes

Updated 96 Episodes

1
Pernikahan Yang Bahagia
2
Ibu Mertuaku yang Anggun
3
Jejak Digital Mariam
4
Siapa Mariam?
5
Sudut Hati Musa
6
Hujan sore itu
7
Pertemuan mantan kekasih
8
Sedalam itu kah?
9
Aku Menginginkan Mariam
10
Memohon pada Mariam
11
Sosok Bian
12
Bicaralah sebagai Teman Lama
13
Ssesuatu yang nampak Indah karena tidak kita miliki
14
Apa Dulu Keadaan Mariam Buruk? POV MUSA HAMIZAN
15
Titip Oktavia POV Medina
16
Kepergian Biantara
17
Permata yang Dirundung Kelabu
18
Mas Musa akhirnya pergi meninggalkanku
19
Air mata yang membuatku dilaknat malaikat
20
Medina Khafiza, istri yang meminta suaminya untuk mengejar cinta pertamanya.
21
Melamar Mariam
22
Kamu tega memintaku menikahi suamimu
23
Pengorbanan Medina
24
Keputusan Musa
25
Aku hanya berbagi bukan kehilangan
26
Memperebutkan Mariam
27
Lamaran kedua Untuk Mariam
28
Pesan Terakhir Biantara
29
Berdamai Dengan Keadaan
30
Mariamku, Istriku.
31
Hari pertama pernikahan
32
Beban Moral Mariam
33
Tersesat Dalam Kesedihan
34
Ungkapan Cinta
35
Jatuh Cinta Berkali-kali
36
Ayo Kita Promil
37
Kemarahan Ibu Medina
38
Menahan Kecewa
39
Duri dalam Pernikahan
40
Isi Hati Mariam
41
Sadar Diri
42
POV Musa Hamizan
43
Restu yang Tidak Sebenarnya
44
Mencintai Tidak Boleh Sebodoh Ini
45
Apa kamu meragukan janjiku, Dek?
46
Satu Hati Dua Cinta
47
Tidak Butuh Yang Lain
48
Pergilah, Din!
49
Pelajaran Hidup Dari Kawan Lama
50
Ada yang Salah Dengan Hatiku
51
Mencari Medina
52
Benarkah Medina Baik-baik Saja?
53
Tempat Penuh Kenangan
54
Kehamilan Medina
55
Kondangan 1
56
Kondangan 2
57
Saksi Kebahagiaan Medina
58
Perjalanan Kembali
59
Panik
60
Bukan Keikhlasan Wanita Biasa
61
Bukan Keikhlasan Wanita Biasa 2
62
Mencoba Bicara dengan Bahasa yang Lain
63
Aku Manusia
64
Saling Menghindar
65
Rasa Ingin Tahu Medina
66
Lepaskanlah Mariam dari Pikiranmu
67
Perpisahan Kedua
68
Yang Terbaik
69
Permintaan Mariam
70
Keinginan Mariam
71
Melepas
72
Pertanyaan Ibu
73
Memenuhi Janji
74
Desas Desus
75
Dilema
76
Mencari Tahu
77
Mencoba Melihat Sudut Pandang Mariam
78
Pergulatan Batin Medina
79
Buah Kejujuran Medina
80
Bicara Pada Mariam
81
Kemarahan Faisal
82
Memberi Tahu Ibu
83
Tangis Bu Aini
84
Pergi
85
Malam yang Indah
86
Sudut Hati Musa
87
Tentang Mas Faisal
88
Aku Harap Kamu Kembali Bersinar
89
Aku Mencintaimu
90
Melahirkan
91
Aku yang Bersalah
92
Berjuang Hidup
93
Pergi
94
Takdir
95
Episode Terakhir
96
Lipatan Masa Lalu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!