Entah pukul berapa Afifa terlelap. Suara adzan Subuh yang menggema membangunkannya dari tidur yang terlalu dalam.
“Astaghfirullah… aku kesiangan!” ucapnya kaget.
Tanpa menunda, ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu berwudhu. Ia menunaikan shalat Subuh dengan khusyuk, lalu membuka mushaf untuk membaca beberapa ayat Al-Qur’an, menenangkan hatinya yang sedikit gelisah.
Biasanya, Afifa selalu bangun sebelum Subuh, bahkan menyempatkan shalat tahajud. Namun, semalam pikirannya begitu lelah hingga ia benar-benar terlelap tanpa sadar.
Matahari mulai menebar sinarnya. Seperti biasa, Afifa membantu Uminya menyelesaikan pekerjaan rumah, lalu sarapan bersama keluarga sebelum bersiap menuju kampus.
Motor matiknya melaju pelan memasuki gerbang kampus. Pandangan Afifa langsung tertumbuk pada dua sosok yang melambaikan tangan sambil berteriak memanggil namanya.
“Fifa! Fifa!” seru Sari, setengah melompat sambil mengibaskan tangannya.
Afifa tersenyum samar, namun sengaja mengabaikan panggilan itu. Ia melajukan motornya ke arah parkiran.
“Woy, Fifa! Kita di sini!” teriak Sari dengan nada kesal.
Sofi hanya terkekeh, menahan tawa melihat tingkah Sari yang sewot. Mereka berdua akhirnya setengah berlari mengejar motor Afifa hingga ke parkiran.
“Fifa, tega banget sih nyuekin kita!” protes Sari sambil menepuk bahu Afifa.
“Lagian siapa suruh nyetop orang di pinggir jalan? Weeew…” Afifa terkekeh, meledek sahabatnya.
Sofi menggeleng sambil tersenyum. “Tumben banget, kamu datang agak siang, Fa?”
Afifa hanya tersenyum tipis. Ia memang terlambat sekitar tiga puluh menit karena harus membantu Uminya merapikan rumah setelah kedatangan tamu semalam.
“Tapi belum masuk kan?” tanya Afifa, mengangkat kedua alisnya.
“Belum, sih. Tapi tadi dosen sempat ngasih tugas. Banyak banget lagi!” Sari mengerucutkan bibirnya, tampak kesal.
“Tugas apa?” tanya Afifa penasaran.
“Nih…” Sari menyodorkan catatannya dengan wajah cemberut.
Sofi menghela napas. “Gimana kalau kita kerjain bareng di perpus?”
“Ya udah… yuk!” sahut Afifa sambil menarik tangan kedua sahabatnya menuju perpustakaan.
Hampir setengah jam mereka berkutat dengan buku dan catatan. Namun, entah mengapa pikiran Afifa tak juga bisa fokus. Ia hanya menatap lembaran tugas tanpa benar-benar membaca.
“Hai, kamu kenapa?” bisik Sofi sambil menyikut pelan lengan Afifa. Ia mengenal betul gerak-gerik sahabatnya itu. Enam tahun bersama membuat Sofi paham ketika ada sesuatu yang disembunyikan Afifa.
“Ah… nggak apa-apa kok,” elaknya, mengalihkan pandangan ke arah jendela.
“Aku tahu kalau kamu lagi ada masalah,” suara Sofi merendah namun tegas. “Masih mau nutupin juga?”
Sari yang sedari tadi fokus pada catatan ikut menoleh, menatap bergantian ke arah dua sahabatnya. “Ada apa, sih?” tanyanya penasaran.
Sofi menatap Sari serius. “Sar, kita ini sahabat kan?”
Sari mengangguk, meski masih terlihat bingung. Afifa hanya menunduk, bermain dengan ujung pulpen di tangannya.
“Terus, apa masih ada yang harus ditutupi di antara kita?” Sofi menatap Afifa dalam.
Afifa menarik napas panjang. “Oke… oke… aku akan cerita.” Ia mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah.
Dua sahabatnya saling pandang lalu tersenyum tipis, menunggu dengan sabar. Mereka melipat kedua tangan di atas meja, siap mendengarkan curahan hati Afifa.
“Sebenarnya aku lagi bingung,” ucap Afifa lirih. Pandangannya menerawang, lalu kembali ke arah sahabatnya. “Semalam ada tamu ke rumah. Paman dan tantenku datang, dan mereka mengenalkanku pada keponakan mereka. Mereka ingin kami… berta’aruf dulu.”
Afifa terdiam sejenak, seakan ragu melanjutkan.
“Terus?” goda Sari sambil menaikkan alisnya.
“Dan ternyata… dia adalah Kak Aji,” ucap Afifa akhirnya. “Kakak kelasku waktu mondok dulu, pas SMP.”
“Waaah, kebetulan banget!” seru Sari spontan. Suaranya cukup nyaring hingga membuat beberapa orang di perpustakaan menoleh.
“Ups…” Sari buru-buru menutup mulutnya, pipinya memerah.
“Kamu sih, berisik,” bisik Sofi sambil mengetukkan telunjuknya ke kening Sari.
“Maaf… hehe,” sahut Sari setengah berbisik sambil terkikik.
“Ayo, lanjut, Fa,” desak Sofi pelan.
“Eh… ganteng nggak? Ganteng nggak?” Sari kembali menggoda, matanya berbinar penuh rasa penasaran.
Afifa menghela napas, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ya… ganteng sih. Tapi…” ia terdiam, menundukkan pandangan. “Tapi gimana sama Farid? Kalian tahu kan… aku masih menunggunya.”
Sari langsung mendesah panjang. “Emangnya Farid itu sehebat apa sih di hatimu, Fa? Kamu nungguin dia sampai segitunya. Padahal dia nggak pernah kasih kabar. Bahkan ketua BEM yang ganteng itu pun kamu tolak, lho.”
Afifa terdiam. Pandangannya menerawang jauh, kembali ke masa lalu. “Sebenarnya, dulu kami nggak pernah janji apa-apa. Hanya saja… kata-kata terakhirnya di surat itu selalu meyakinkan aku kalau suatu saat… kami akan bersatu.”
Ia membuka dompet kecilnya, mengeluarkan secarik surat yang terlipat rapi, meski kertasnya sudah agak lusuh karena disimpan selama empat tahun.
Sofi dan Sari saling pandang sebelum dengan hati-hati menerima surat itu. Mereka membaca baris-baris tulisan di atas kertas tersebut. Sunyi sesaat. Tak ada kata yang keluar dari bibir keduanya, hanya tatapan yang saling bertukar—antara bingung, iba, dan tak tahu harus berkata apa.
Afifa menatap mereka lemah, senyumnya mengambang.
Bersambung… ❤😊
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hanya bisa bilang makasih untuk kalian yg masih setia membaca cerita ini. Semoga suka ya 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
Aduh.... masa lalu yang selalu terngiang dihati dan pikiran 😊😊✌✌
2021-06-18
3
Kenara 💜
awok awok galau ding 🤭
2020-11-03
1
Rocha Maya
setia menunggu walau blm jelas
2020-09-21
1