Apa maksudnya “awal yang baik”? gumam Afifa dalam hati.
Tatapannya sekilas beralih ke arah Abi, lalu ke Paman Sanusi dan Tante Rani yang masih berbincang ringan. Apa mereka… berpikir menjodohkan aku dengan Kak Aji?
Dadanya berdebar kencang. Kak Aji memang tampan… dan terlihat begitu dewasa. Tapi… bagaimana dengan Farid?
Pikiran Afifa mulai melayang. Masa depan dan masa lalunya berkelindan, memenuhi benaknya. Farid… cinta pertamanya semasa SMA.
Ia teringat, kala itu dirinya masih duduk di kelas sebelas, sementara Farid sudah kelas dua belas. Di penghujung tahun ajaran, Farid menyatakan perasaannya lewat sepucuk surat, rapi dibungkus dengan sampul manis berwarna biru pastel. Surat sederhana, tapi menggetarkan hati gadis polos sepertinya.
Di sekolah, mereka memang sering bertemu. Sama-sama anggota PMR membuat interaksi mereka kerap terjadi. Tapi… mereka tidak pernah pacaran. Mana mungkin? Mereka tinggal di pondok pesantren, di mana batasan-batasan begitu jelas.
Hubungan mereka hanya berlangsung dua bulan. Dua bulan singkat, namun sangat membekas di hati Afifa. Farid yang kalem, tulisannya yang indah, dan caranya merangkai kata di setiap surat yang dikirimkan, membuat hati Afifa luluh sepenuhnya.
Sampai sekarang, Afifa masih menyimpan setiap lembar surat dari Farid. Setiap goresan tinta itu, bagi Afifa, adalah potongan kenangan yang tak tergantikan.
Ia teringat jelas hari itu. Hari ketika Farid harus meninggalkan pesantren karena diterima kuliah di Jakarta. Dari kejauhan, Afifa hanya bisa berdiri diam, menggenggam erat surat terakhir yang diselipkan Farid ke tangannya sebelum pergi.
Tanpa sadar, air mata menetes. Perih terasa, meski ia berusaha menahan tangis di depan teman-temannya. Mobil yang membawa Farid perlahan menjauh, membawa separuh hatinya ikut pergi.
Setelahnya, Afifa berlari ke kamar mandi, mengunci pintu, dan membuka surat itu.
“Untuk Afifa,
Jika Allah menginginkan kita bersatu,
tak satu pun penghalang yang mampu menahannya.
Yakinlah… jodoh sudah ditentukan oleh-Nya.”
Tangisnya pecah. Ia terisak sejadi-jadinya, memeluk surat itu seakan memeluk harapan.
*
“Sayang…!” Suara lembut Umi membuyarkan lamunannya. “Kok kamu diam saja?”
Afifa tersentak. Ternyata cukup lama ia melamun, sementara obrolan di ruang tamu terus berlanjut, sebagian besar membicarakan dirinya.
“Ah… iya, kenapa, Mi?” Afifa tersenyum, sedikit dipaksakan, mencoba mengusir bayangan masa lalu yang menyesakkan.
“Mereka mau pamit pulang,” ujar Umi lembut.
“Oh, iya…” sahut Afifa agak gugup, menyadari betapa aneh sikapnya tadi.
Paman, Tante, dan Fauzi mulai beranjak. Fauzi berjalan lebih dulu menuju mobil, mengambil posisi di kursi pengemudi. Paman Sanusi menyusul, sementara Tante Rani sempat berhenti di hadapan Afifa.
“Afifa… boleh Tante minta nomor HP kamu?” tanyanya ramah, sambil menyodorkan ponselnya.
Afifa sempat terdiam sejenak. Ada keraguan yang menahan gerakannya, tapi akhirnya ia mengangguk, mengambil ponsel itu, lalu mengetik nomor ponselnya dengan hati-hati.
“Terima kasih, ya,” ucap Tante Rani sambil tersenyum hangat, kemudian berjalan menyusul suaminya.
Mobil hitam itu perlahan melaju, meninggalkan halaman rumah sederhana yang kini terasa berbeda.
Umi dan Abi masih duduk di ruang tamu, senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah mereka.
“Afifa…” panggil Abi lembut. “Duduklah…”
Afifa menuruti, duduk di hadapan Abi. Ada perasaan tak tenang yang menggelayuti hatinya.
“Sejak kapan kamu mengenal Nak Fauzi?” tanya Abi, nada suaranya tenang.
“Sejak SMP, Bi…” jawab Afifa pelan.
Abi terdiam, menunggu kelanjutan cerita.
“Waktu Afifa kelas delapan, Kak Aji masuk pondok. Waktu itu dia sudah keluar SMA sekitar dua tahun,” jelas Afifa, suaranya semakin mengecil.
“Oh…” Abi mengangguk pelan. Pandangannya menerawang, seolah sedang menghitung jarak usia. “Berarti… usia kalian terpaut tujuh tahun, ya.”
Afifa hanya mengangguk, tak berani menatap.
“Sudah cukup dewasa,” lanjut Abi pelan, matanya beralih ke arah jendela.
Afifa mengerutkan kening. “Memangnya kenapa, Bi?” tanyanya hati-hati.
Abi menoleh, tatapannya lembut namun dalam. “Abi mengenal ayahnya Nak Fauzi. Beliau orang terhormat, terkenal dengan kebaikannya. Banyak membantu sesama…”
Ia menghela napas, lalu tersenyum penuh harap. “Jika Allah mengizinkan kalian berjodoh, Abi yakin… kamu akan bahagia.” Tangan Abi terulur, menepuk pelan pundak putrinya.
Afifa tercekat. Hatinya penuh suara, ingin menjelaskan tentang Farid, tentang perasaannya yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Namun melihat wajah Abi yang begitu bahagia, senyum yang jarang sekali muncul sehangat itu, membuatnya bungkam. Kata-kata yang hendak keluar, terhenti di ujung lidah.
“Kalian bisa ta’aruf dulu,” sambung Abi, seolah memahami kegelisahan putrinya. “Abi tidak akan memaksa… tapi kenalilah dulu orangnya. Bukankah begitu lebih baik?”
Afifa hanya mengangguk pelan. Senyumnya tipis, menutupi badai yang bergejolak di dalam dadanya.
Bersambung… ❤
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Mohon masukan nya 🙏😊
Makasih banyak sudah membaca. Jangan lupa Like, komen dan vote, biar tambah semangat nulisnya
Love you All ❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
suka suka suka 😊😊
2021-06-18
2
Melati Sari Ahmad
suka
2021-03-05
1
⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔 𝑵𝒂𝒚𝒍𝒂 𝑨𝒊𝒔
Sambung setoran bun, maaf Nayla bacanya nyicil
2021-01-18
1