“Afifa permisi dulu, Abi. Mau mandi.”
Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi. Langkah kakinya cepat, seolah ingin segera menghilang dari pandangan Abi. Ia bahkan tak berani menoleh, takut melihat tatapan hangat yang selalu membuatnya luluh. Tatapan seorang ayah yang tengah menunggu sekilas senyum atau sekadar sapa penuh kasih.
Abi hanya terdiam. Nafasnya tertahan, sementara bayangan punggung putrinya hilang di balik pintu kamar mandi.
Di balik pintu itu, Afifa membiarkan air dingin membasahi wajahnya, berharap tetes-tetes itu bisa meredam gumpalan rasa yang memenuhi dadanya. Namun sia-sia. Pikirannya tetap berlarian ke berbagai arah, membawa resah yang tak bisa ia mengerti.
Selesai berwudhu, ia masuk ke kamar, menggelar sajadah, dan menunaikan shalat Isya. Dalam sujudnya, ia mencoba memanjatkan doa, tetapi lidahnya kelu. Yang keluar hanya desah lirih, seperti bisikan dari hati yang lelah.
Usai berdoa, Afifa terbaring di ranjang. Lampu kamar redup, membiarkan bayangan malam menari di langit-langit. Matanya menatap kosong, sementara pikirannya perlahan terseret jauh ke masa SMP—masa yang tak pernah benar-benar ia lupakan.
Masa SMP
"Grung… grung… grung…"
Suara mesin mobil meraung kencang di halaman pesantren, mengoyak ketenangan sore itu. Santri-santri berhamburan ke arah jendela, berdesakan ingin tahu apa yang terjadi.
Afifa, yang sedang asyik menulis tugas di perpustakaan lantai dua, ikut terdorong rasa penasaran. Ia bangkit, berjinjit di antara teman-temannya, dan melongok ke bawah.
Di halaman, terlihat seorang pria paruh baya keluar dari mobil, disusul seorang wanita berkerudung rapi. Keduanya tampak lelah, namun tetap berwibawa. Pria itu mengetuk kaca mobil depan, memberi isyarat agar seseorang di dalam keluar.
Pintu itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang pemuda bertubuh tinggi, tampan, namun dengan wajah penuh kesal. Tatapannya menusuk, seperti ada amarah yang ia tahan mati-matian. Sang ayah menepuk bahunya, setengah menyeretnya ke arah kantor pesantren.
Bisik-bisik mulai terdengar di sekeliling Afifa.
“Eh, cowoknya ganteng banget, ya. Jangan-jangan mau mondok di sini…”
“Lumayan, nih… bisa cuci mata tiap hari.”
“Husss! Dosa tahu ngomong gitu!”
Afifa hanya mengernyit. Ia tak benar-benar mengerti mengapa suasana tiba-tiba heboh. Tapi entah mengapa, sosok pemuda itu tersimpan di kepalanya.
Hari-hari berlalu, dan nama Fauzi Rahman Ramadhan semakin sering terdengar. Putra bungsu Pak Haji Ramadhan, pengusaha mebel dermawan yang dikenal semua orang. Lima toko mebel tersebar di berbagai kota, tapi yang membuat keluarga itu disegani bukan kekayaannya, melainkan kemurahan hati sang ayah.
Namun Fauzi—atau Aji, begitu teman-temannya memanggil—tak seindah cerita keluarganya. Anak bungsu yang dimanja, keras kepala, dan sulit diatur. Jejak masa lalunya kelam: pergaulan bebas, geng jalanan, bahkan narkoba sempat mencicipi hidupnya. Hingga satu titik, sebuah masalah besar memaksanya tunduk pada keputusan orang tua: mondok di pesantren.
Dua bulan pertama terasa berat. Tapi lambat laun, Aji mulai terbiasa dengan rutinitas pesantren. Sifatnya yang humoris membuatnya mudah akrab. Bahkan kebiasaan jahilnya pada santriwati jadi rahasia umum, memancing decak kesal sekaligus senyum malu-malu banyak orang.
Afifa, gadis polos yang lebih sibuk dengan tugas dan hafalannya, jarang menaruh perhatian. Sampai satu sore, ketika ia berjuang membetulkan gagang pel yang copot, suara berat menyapanya.
“Kenapa?”
Afifa mendongak. Sosok yang membuat heboh satu pesantren kini berdiri tepat di depannya.
“Ini, Kak… gagang pelnya copot. Nggak bisa dipasang lagi,” ujarnya pelan, setengah malu.
“Sini, Kakak bantu,” jawabnya santai. Tangannya cekatan memperbaiki pel itu. Hanya butuh beberapa detik, pel itu kembali utuh.
“Wah… makasih banyak, Kak,” kata Afifa dengan mata berbinar. “Kak Fauzi, ya?”
“Panggil Kak Aji aja, biar lebih akrab,” jawabnya dengan senyum tipis.
“Baiklah, Kak Aji! Makasih ya!” serunya riang sebelum berlari melanjutkan tugas.
Sejak hari itu, interaksi kecil mereka semakin sering. Sesekali, Aji menitipkan hadiah sederhana lewat teman-teman Afifa—sebungkus roti, gantungan kunci, bahkan boneka kecil. Hal-hal kecil yang bagi Afifa begitu berarti. Di tengah rindu yang selalu ia pendam pada keluarganya, kehadiran Kak Aji seperti sosok kakak yang tak pernah ia miliki.
Namun waktu berjalan, dan Afifa harus pindah ke pesantren lain saat SMA. Keputusan orang tuanya itu ia terima dengan ikhlas, meski menyisakan satu perasaan yang sulit ia definisikan. Sejak kepindahan itu, kabar tentang Kak Aji menghilang. Hanya nama dan kenangan yang tersimpan rapi di sudut hatinya.
Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.
“Afifa…” panggil Umi, lembut dan penuh kasih.
“Iya, Umi,” jawab Afifa cepat sambil membuka pintu.
“Lampu kamarmu masih menyala. Belum tidur? Besok kan kuliah pagi.”
Afifa tersenyum samar. “Iya, Umi… ini Fifa baru mau tidur kok.”
“Ya sudah, tidur yang nyenyak, Nak,” ujar Umi sambil mengusap lembut bahu putrinya.
Pintu kembali tertutup. Kamar menjadi hening. Afifa mematikan lampu, lalu berbaring. Gelapnya kamar tak mampu meredam terang kenangan yang berkelebat di kepalanya.
Malam itu, di balik kelopak matanya yang terpejam, Afifa kembali bertemu Kak Aji—sosok masa lalunya yang entah mengapa selalu berhasil membuat dadanya bergetar.
Namun, semakin ia mencoba tidur, semakin nyeri rasanya rindu yang tak pernah ia sadari benar-benar ada, entah sebagai kakak, atau sosok pria yang selalu ada untuk melindunginya. Hingga akhirnya, entah pukul berapa, tubuhnya menyerah dan terlelap, membawa mimpinya kembali ke masa lalu.
***
Bersambung ❤️
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Terimakasih masih setia membaca 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
penasaran 🤔🤔🤔
lanjut lagi aahhhh 🤗🤗
2021-06-18
2
⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔 𝑵𝒂𝒚𝒍𝒂 𝑨𝒊𝒔
syuka bunda
2021-01-18
1
Mulyati Yati
Keren 👍
2020-12-20
2