Suara azan Maghrib sayup-sayup terdengar di sepanjang jalan yang dilalui Afifa. Senja sudah hampir habis, langit jingga perlahan berubah kelam. Semilir angin sore menusuk, mengibas jilbabnya di balik helm yang menutupi kepala. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Waktu Maghrib sebentar lagi habis,” batinnya cemas. Ia melajukan motornya, berharap bisa sampai rumah sebelum waktu salat benar-benar sempit.
“Ah, dosen killer… jam enam baru bubar,” gerutunya dalam hati, mengeraskan sedikit tarikan gas. Perjalanan tiga puluh menit terasa begitu panjang.
Begitu sampai di halaman rumah, Afifa mendadak mengerem motornya. Matanya langsung tertuju pada mobil hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
“Siapa ya? Ada tamu?” pikirnya, sedikit heran.
Ia masuk lewat pintu depan yang terbuka lebar.
“Assalamualaikum,” sapanya pelan. Suaranya terdengar lelah, seperti tubuhnya yang sudah habis oleh seharian aktivitas.
“Waalaikumussalam,” jawab semua orang di ruang tamu hampir bersamaan. Senyum ramah menghias wajah mereka.
Afifa mencoba membalas senyum itu. Meski begitu, ada gurat bingung di wajahnya. Ia menunduk, mencium punggung tangan Umi dan Abinya, merasakan kehangatan yang selalu menenangkannya setiap kali pulang ke rumah.
“Sini, Nak,” panggil Umi, suaranya lembut. “Ini Paman Sanusi dan Tante Rani. Masih ingat, kan? Ayo, kasih salam.”
“Oh…” Afifa mengangguk pelan. Wajahnya mulai mengingat. Tentu, itu adik sepupu Uminya. Sudah tiga tahun lebih mereka tidak bertemu, terakhir kali saat pemakaman kakeknya.
Ia bersalaman, mencium punggung tangan paman dan tantenya dengan sopan. Sekilas, matanya menangkap sosok pria tampan duduk di samping Paman Sanusi. Ada sesuatu di wajah itu. Sesuatu yang terasa… familiar.
“Ini keponakan Paman, namanya Fauzi,” jelas Paman Sanusi, seolah tahu isi hati Afifa.
Pria itu hanya tersenyum. Sebuah senyum yang entah mengapa membuat Afifa sedikit salah tingkah.
Ia mengangguk pelan, melipat kedua tangannya di dada.
“Kok seperti kenal, ya… tapi siapa?” pikirnya, mencoba menggali memori. Namun ia segera menggeleng pelan. “Sudahlah. Yang penting salat dulu,” batinnya.
“Afifa ke belakang dulu ya, Mi,” pamitnya. Uminya hanya mengangguk, memberi izin.
Di kamar, ia bergegas mengambil air wudhu. Setiap tetes air yang membasuh wajahnya membawa ketenangan, seolah menghapus lelah dan rasa penat di dadanya. Salat Maghrib ia tunaikan dengan khusyuk, berusaha menenangkan hati yang entah kenapa terasa sedikit berdebar.
Usai berdoa, Afifa keluar kamar sambil membawa handuk. Baru saja berniat membersihkan diri, suara Umi memanggil.
“Afifa…”
“Iya, Mi…” sahutnya, sedikit terkejut.
“Kemari, Nak.”
Afifa meletakkan handuknya, lalu melangkah ke ruang tamu. Ia duduk di kursi kosong di samping Umi, berusaha menjaga ekspresi meski hatinya dipenuhi tanda tanya.
“Paman dan Tantenmu sengaja datang untuk bertemu kamu, lho,” kata Umi sambil menatap putrinya dengan senyum lembut.
Afifa menunduk, sesekali tersenyum kikuk. Ada rasa gugup yang tak bisa ia jelaskan. “Kenapa, ya? Kok sampai jauh-jauh ke sini? Kita kan nggak terlalu dekat. Atau jangan-jangan…” pikirnya, jantungnya makin berdebar.
“Afifa,” suara Tante Rani yang lembut memecah lamunannya. “Sebenarnya Tante ke sini ingin mengenalkan kamu dengan keponakannya Paman Sanusi ini. Namanya Fauzi—tepatnya, Fauzi Rahman Ramadhan.”
“Deg…” Seolah ada sesuatu yang mengetuk memorinya. Nama itu. Wajah itu. Semua terasa familiar.
Lalu, seperti kilasan film, bayangan masa SMP muncul. Sosok kakak kelas yang sering ia lihat di pesantren, dengan senyum teduh dan sikap ramah.
“Ah! Kak Aji…?!” serunya refleks, matanya membesar penuh semangat. “Kak Aji kan? Yang pernah mondok dulu?”
Tanpa sadar, ia memetik jari, mengarahkan pandangan cerah ke Fauzi dengan ekspresi sumringah, seolah baru menemukan teman lama.
“Eh, udah lama banget nggak ketemu, ya, Kak… sekitar lima tahun… eh, enam tahun malah. Kakak kok beda sekarang? Lebih…”
Ucapan itu menggantung di udara. Afifa baru sadar semua mata kini tertuju padanya, seolah menunggu lanjutan kata-katanya. Pipinya memanas.
“Ups…” ia buru-buru menutup mulut dengan kedua tangannya. “Maaf…” ucapnya malu, menunduk dalam-dalam. Hatinya berdegup hebat, antara malu dan tak percaya deNgan ucapannya sendiri.
Suasana yang tadinya tegang mendadak mencair ketika Fauzi tersenyum hangat dan berkata, suaranya tenang,
“Ternyata Afifa baru ingat, ya.”
“Wah, wah…” Paman Sanusi ikut tertawa lebar. “Rupanya kalian sudah saling kenal. Kenapa nggak bilang dari awal?”
Tawa kecil terdengar di seisi ruang tamu, membuat suasana mendadak terasa hangat dan akrab. Afifa melirik ke sekeliling, sedikit heran dengan kebahagiaan yang tergambar di wajah mereka. “Kenapa semua terlihat bahagia, ya?” gumamnya dalam hati.
“Saya juga baru tahu, Paman,” jawab Fauzi singkat, tetap dengan senyum yang sama.
“Bagus, dong,” ucap Paman Sanusi sambil menatap Abi Afifa. “Kalau sudah saling kenal, ini awal yang baik. Iya, kan, Kak?”
Abi hanya mengangguk pelan, senyumnya tipis namun penuh arti. Beliau memang bukan orang yang banyak bicara, tapi sorot matanya hangat, seolah mengiyakan harapan yang tengah tumbuh di ruang tamu itu.
Bersambung… ❤
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
salam readers... maaf ya kalau banyak salah... mohon masukannya 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
Permulaan yang begitu mengesankan 😊😊
2021-06-18
2
🌹HaZحس🌺
aku mampir lagi ya bund😁
kangen sama Afifah soalnya,, da lupa2 ingat jalan ceritanya,, hihi✌🏻✌🏻✌🏻
2021-03-15
1
⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔 𝑵𝒂𝒚𝒍𝒂 𝑨𝒊𝒔
Nayla mampir bunda, bawa like, rate fav juga
2021-01-17
1