Setelah pertemuannya hari ini dengan mama Satria dan kejadian semalam dimana ia tidur di apartemen Satria, Arin menjadi tidak bisa memejamkan matanya.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, akhirnya Arin memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah balkon untuk menghirup udara segar.
Siapa tahu, setelah menghirup udara segar di malam hari ia bisa segera memejamkan matanya dan mengistirahatkan tubuhnya. Arin pun membawa secangkir capuccino untuk ia nikmati di balkon yang menghadap ke jalan raya.
Di sana terdapat beberapa kursi kayu untuk bersantai untuk penghuni rumah kos tersebut. Arin meletakkan cangkirnya di atas meja setelah menyesapnya beberapa kali.
Kepulan asap terlihat menyembul dari dalam cangkir tersebut menandakan jika kopi tersebut masih dalam keadaan panas. Arin berdiri dan menyandarkan perutnya di pagar dan menghirup udara malam dengan dalam.
Matanya lurus menatap ke depan menatap jalanan yang sudah mulai sepi kendaraan. Satu tangannya terlihat memijat kepalanya yang terasa benar-benar pening.
Hatinya benar-benar gelisah dan tidak bisa tenang memikirkan tentang apa yang sekarang harus ia lakukan. Ketika ia menengok ke samping tampak seorang pria tengah memandanginya dengan senyuman lembut.
Ya, rumah kost Arin adalah kosan khusus untuk perempuan sementara di sebelahnya terdapat rumah kost khusus laki-laki. Pemiliknya masih sama, karena itu rumah tersebut dibuat berjejer hanya saja memiliki gerbang yang berbeda.
Arin sedikit terkejut melihat seorang laki-laki yang sedang menatapnya itu. Ia tidak mengenal laki-laki tersebut tapi laki-laki tersebut menatapnya dengan begitu ramah sembari memberikan isyarat menyapanya dengan mengayunkan cangkir gelasnya.
"Hai." sapanya.
Sementara Arin menatap heran pada laki-laki tersebut karena menyapanya walaupun mereka tidak saling mengenal. Bukan menjawab Arin memutuskan untuk berbalik dan kembali ke kamarnya.
"Hei, tunggu." ujar laki-laki tersebut membuat langkah Arin terhenti.
"Maaf, saya tidak mengenal kamu." ujar Arin berusaha untuk tetap sopan.
"Ya, saya juga gak kenal kamu. Tapi saya sering lihat kamu disini." ujar laki-laki tersebut kembali membuat Arin menatap heran.
"Boleh kita kenalan? Sepertinya kita akan cocok menjadi teman menikmati secangkir kopi." ujar laki-laki tersebut sambil tersenyum.
"Saya Raka." ujar laki-laki tersebut memperkenalkan dirinya.
Arinda terdiam sesaat memandang ke arah Raka. Sepertinya ia memang membutuhkan seorang teman sekarang.
"Arinda." jawab Arinda singkat kembali merapatkan tubuhnya dengan pagar pembatas menatap kembali suasana jalanan di dini hari.
"Saya sering melihat kamu melamun disini sebelumnya, hanya saja saya tidak pernah berani menyapa kamu, takut." ucapnya membuat Arin tersenyum hambar.
"Kenapa takut?" tanya Arinda sembari menatap Raka di sebelahnya.
Posisi mereka kini sejajar hanya saja berjarak sekitar 10 meter karena mereka berada di balkon bangunan rumah yang berbeda.
"Saya sering lihat beberapa anak kos disini yang mencoba bicara dengan kamu. Jangankan menjawab, kamu bahkan hampir
tidak pernah menatap mereka sedetikpun." jelasnya dengan gerak tubuh yang lucu.
"Ya, kamu benar. Saya bahkan tidak pernah memperhatikan orang lain di sekitar saya karena terlalu sibuk dengan diri saya sendiri." ucap Fika setelah menghembuskan nafas kasar.
"Saya yakin pada dasarnya kamu bukan orang yang seperti itu, dan pasti ada alasan di baliknya. Tapi mungkin akan lebih baik melepaskan dari pada menggenggam sesuatu yang terlalu menyakitkan. Kamu cukup berhenti untuk menyakiti diri kamu sendiri dengan melepaskan semua perasaan itu." jelas Raka menatap ke arah Arin dengan serius.
"Maksud kamu ?" tanya Arin tak mengerti dengan arah pembicaraan Raka yang seolah mengetahui apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini.
"Hem, maaf jika ini terdengar terlalu ikut campur bagi kamu. Tapi saya sudah melihat kamu untuk waktu yang lama, dan saya bisa melihat dengan jelas jika kamu sudah menggenggam sebuah kebencian dan kekecewaan yang setiap hari semakin menyakiti diri kamu sendiri." ujarnya membuat Arin berdecih tak percaya.
"Apa kamu seorang paranormal?" tanya Arin dengan sedikit tertawa membuat Raka terpaku untuk sesaat.
"Sayang sekali, saya hanya seorang dokter ahli kejiwaan saja." jawab Raka sembari tersenyum meyakinkan.
"Sungguh?" tanya Arin sedikit tak menyangka.
"Jika kamu ingin menjadi salah satu pasien saya, kamu bisa mencari saya di rumah sakit Mitra Sejahtera. Saya praktik di hari Selasa, Rabu dan Kamis di sana." jelasnya sungguh-sungguh.
"Kamu benar-benar serius?" tanya Arin kembali membuat Raka terkekeh pelan.
"Apa wajah saya tidak sebegitu meyakinkannya untuk menjadi seorang dokter ?" tanyanya membuat Arin akhirnya mencoba percaya.
"Ya, baiklah saya akan mencoba mempercayainya. Setidaknya kamu tidak terlihat seperti seorang paranormal." canda Arin kembali menampiknya sedikit senyuman di wajahnya membuat Raka sedikit terpesona.
"Ini pertama kalinya, saya melihat kamu tersenyum. Saya harap saya akan bisa melihatnya lagi nanti, bahkan setiap hari." ujar Raka membuat senyuman di wajah Arin memudar perlahan.
Ia sendiri baru menyadarinya , jika ia bisa tersenyum di depan orang asing. Mereka pun menghabiskan hampir 1 jam untuk berbincang-bincang dan bahkan sesekali membahas sesuatu yang tidak penting.
Arin biasanya selalu sulit untuk bisa beradaptasi dengan orang baru di sekitarnya. Tapi berbeda halnya dengan Raka, ia mempunyai sesuatu dalam dirinya yang membuat Arin nyaman bahkan untuk berkeluh kesah di waktu pertama mereka saling mengenal.
Waktu sudah hampir menunjukan pukul 2.30 dini hari ketika Arin kembali ke kamarnya. Entah bagaimana, berbicara dengan Raka bisa membuatnya benar-benar nyaman. Mungkin karena profesinya itu yang terbiasa menghadapi berbagai jenis kepribadian dari seseorang, pikir Arin.
Raka memberikan saran untuk Arin pergi ke rumah sakit dimana ia bekerja. Raka menyarankan Arin untuk berbicara dengan seorang profesional seperti dirinya.
Jika Arin tidak nyaman dengannya karena mereka saling mengenal, Raka berjanji akan merekomendasikan rekan dokter terbaik di rumah sakitnya untuk Arin.
Arin tidak langsung menyetujui saran dari Raka itu, ia juga memberikan Arin waktu untuk berpikir. Jika memang nanti Arin tertarik, Raka pun memberikan nomor handphone nya pada Arin agar ia bisa menghubunginya nanti.
Sesampainya Arin di kamar, ia segera memejamkan matanya agar bisa segera berisitirahat. Karena besok pagi-pagi sekali Arin akan pulang ke Bogor untuk melihat keluarganya.
Tak butuh waktu lama akhirnya hingga Arin bisa tertidur nyenyak sejenak melupakan segala permasalahannya dengan Satria yang seakan membuat kepalanya mau pecah.
Pukul 10.30 WIB pagi harinya Arin sudah berada di rumah kedua orangtuanya di Bogor. Arin tidak menaiki kereta hari itu karena ia membawa banyak barang dan hadiah untuk keluarganya.
Begitu Arin turun dari sebuah taksi online dan tengah mengeluarkan beberapa barang bawaannya ayah pun tiba-tiba keluar dari dalam rumah dan menghampirinya.
Arin pun langsung menghampiri ayahnya mencium punggung tangan lelaki paruh baya itu dan memeluknya sesaat. Ayah yang sudah sejak pagi tadi menunggu kedatangan Arin begitu bersemangat membantu putrinya membawa barang-barang bawaan Arin ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."ucap Arin sembari memasuki rumahnya bersama ayahnya.
"Waalaikum salam" jawab ibu yang tengah berada di dapur langsung menghentikan kegiatan memasaknya dan menghampiri Arin di ruang keluarga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments