Lama sekali Ran memandangi wajah pucat pasih di hadapannya, sambil terus menunggu sang pemilik siuman ia beranjak sejenak untuk melakukan panggilan suara kepada Bibinya. Ran keluar dari kamar sembari memencet-mencet tombol ponselnya. Saat itu Zara mulai membuka sedikit matanya, namun karena masih merasa sangat berat akhirnya ia kembali terpejam namun dengan keadaan sadar.
"Bibi, barusan Zara sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dan kata dokter dia sudah baikan."
"Syukurlah, tapi bibi juga harus mengatakan ini padamu. Sebenarnya Bibi tidak bisa pulang hari ini, kau tahu Bibi sedang berobat. Tapi jangan khawatir, Bibi akan segera pulang begitu pengobatannya selesai. Kau jaga Zara baik-baik." Ucap Ibu Zara dengan nada sedih.
"Baiklah Bibi."
"Dan satu lagi. Rahasiakan hal ini dari Zara. Bibi tidak ingin Zara cemas."
Kemudian Ibu Zara menutup telpon. Ran menatap layar ponselnya sembari mengatur napas. Lalu akhirnya kembali masuk ke ruangan Zara dan duduk di tempatnya semula. Ran memandang wajah gadis itu yang terlihat sedang berekspresi, tanpa membuang masa lelaki itu mendekat seraya memeriksa.
"Apa kau sudah sadar?" Tanya Ran sedikit ragu.
"Ah, iya. Aku.. Sudah sadar.. Tapi aku tak bisa membuka mata, rasanya berat sekali." Jawab Zara dengan mata yang masih terpejam.
"Baiklah, aku akan memanggil perawat." Kemudian Ran beranjak memanggil perawat, tak lama ia pun datang bersama dua orang perawat yang langsung memeriksa Zara.
"Sebentar lagi pandangannya akan pulih. Itu salah satu efek dari sakit kepala yang dirasakannya. Dia hanya perlu banyak beristirahat dan minum air putih serta obat yang diresepkan oleh dokter." Jelas perawat tersebut kemudian berlalu.
...
"Zara, sudah bisa membuka mata?" Tanya Ran setelah kepergian perawat tadi.
"Sepertinya belum bisa tapi aku akan berusaha." Jawab Zara dengan suara yang terdengar sangat lemah.
"Kalau begitu istirahatlah dulu." Ran memberi saran.
Kemudian Ran mengambil semangkuk bubur yang berada di atas nakas hendak memberikannya kepada gadis itu, dengan perlahan ia mulai membuka matanya. Namun ketika melihat gadis itu membuka mata dan masih sangat lemah membuat Ran berinisiatif menyuapinya.
"Ayo, kau makanlah dulu."
"Tapi aku tak bisa memeganya, tanganku masih terasa sangat sakit." Zara memperlihatkan perban di tangan kirinya kepada Ran.
"Aku.. Aku akan menyuapimu." Ucap Ran gugup.
"Apa kau tidak keberatan?" Tanya Zara memastikan.
"Tidak sama sekali."
Akhirnya Ran mulai menyuapi gadis itu. Dengan perlahan Zara menerima suapan demi suapan dari Ran hingga beberapa menit berlalu dan akhirnya ia menghabiskan setengahnya. Karena sudah merasa kenyang ia pun meminta Ran untuk berhenti menyuapinya.
"Minumlah." Ucap Ran sembari menyodorkan segelas air mineral kepada Zara.
Namun lagi-lagi Zara tak sanggup menggenggamnya dan akhirnya Ran membantunya untuk meminum air tersebut. Lalu Zara kembali membaringkan tubuhnya ke ranjang, sementara Ran menyimpan kembali sisa makana Zara.
"Kak, apa kau sudah makan?" Tanya Zara dengan nada yang lemah.
"Belum." Jawab Ran tersenyum.
"Makanlah dulu, nanti kakak akan sakit juga nanti kalau tidak makan." Ujar Zara seperti khawatir.
Ran tertegun, baru kali ini ia merasa ada yang memerhatikan dirinya. Tanpa menghilangkan senyum di wajah tampannya, Ran menyuap dirinya sendiri dengan setengah mangkok bubur yang dimakan oleh Zara tadi, melihat hal tersebut membuat hati Zara sedikit tenang.
"Apa Ibu tahu aku disini?" Tanya Zara kemudian.
"Yah, Bibi tahu." Jawab Ran sembari megunyah.
"Apa dia akan kesini?"
"Sepertinya tidak." Jawab Ran
"Kenapa tidak? Memangnya apa yang Ibu lakukan di sana? Apa dia sudah tidak peduli lagi padaku?" Tanya Zara bertubi-tubi dengan nada suara yang terdengar kesal.
Ran menyimpan kembali mangkuk bubur ke atas nakas lalu minum beberapa teguk seraya mulai menjelaskan pada Zara perihal Tamara yang tak sempat pulang untuk melihat keadaannya.
"Tidak.. Tidak seperti itu! Bibi kesulitan untuk pulang menjengukmu, bukan karena dia tak peduli lagi padamu." Ucap Ran lembut.
"Kenapa kau tak menjemputnya?" Zara menunduk sambil memainkan jarinya.
"Siapa yang akan menjagamu jika aku pergi menjemput Bibi?" Ran balik bertanya, ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Zara.
'Iya juga yah. Dasa bodoh!' Zara memaki dirinya dalam hati.
Lama mereka tak melanjutkan pembicaraan hingga beberapa saat, Zara merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Kemudian ia menatap ke segalah arah sembari terus menerawang apakah gerangan yang ia lupakan. Lalu dengan cepat ia menatap wajah Ran dengan ekspresi terkejut.
"Astaga Kakak, sepertinya aku tembus." Ucap Zara sambil membulatkan matanya.
"Hah?" Ran merasa bingung.
"Darah menstruasi ku, tembus!" Ucap Zara untuk kedua kalinya.
Ran seketika berdiri karena merasa terkejut sembari mundur selangkah. Ia menatap wajah Zara yang terlihat panik sekarang.
"Mana tembusnya?" Tanya Ran sambil menatap dari atas hingga bawah tubuh Zara yang tertutupi selimut.
Karena warna seprei dan selimut yang putih membuat darahnya dengan cepat nampak ke permukaan. Zara semakin histeris, karena tak tahu harus apa Ran juga ikut histeris.
"Kak, jangan ikut histeris. Pergilah belikan pembalut untukku!" Perintah Zara dengan nada yang tak bisa dikontrol lagi.
"Apa, lagi?" ucap Ran lirih.
...
Untuk kedua kalinya Ran membawa bungkusan berisi pembalut, entah mengapa hal itu membuatnya merasa tak sanggup. Selain malu membawa tentengan semacam itu, ia juga berpikir kenapa harus membeli hal seperti itu. Tapi pikiran negatifnya itu tertepis ketika ia kembali mengingat bahwa itu adalah kebutuhan Zara.
Dengan wajah datarnya Ran menyerahkan bungkusan tersebut. Zara menerimanya dengan senang hati tanpa peduli betapa malunya lelaki itu berbelanja kebutuhan wanita. Dengan gerakan pelan, Zara berjalan menuju ke kamar mandi.
"Bagaimana dengan ranjang dan selimutnya?" Tanya Ran ketika Zara sudah berada di depan pintu kamar mandi.
Sembari menatap ranjang Zara mencari cara agar bisa keluar dari masalah tersebut. Cara pertama yang melintas adalah memanggil suster agar menggantikannya, tapi masalahnya ia terlalu malu untuk melakukannya. Kemudian ia memikirkan cara lain yaitu meminta Ran untuk membeli yang baru.
"Maukah kau membeli yang baru?" tanya Zara dengan nada sedikit ragu.
Mendengar hal tersebut membuat Ran tak bisa berpikir panjang, ia langsung menghubungi asistennya yang bernama Surya untuk membeli selimut dan seprei untuk dipakai Zara dan tak lupa ia juga menyuruh Surya untuk membelikan baju ganti.
"Kau tunggulah beberapa menit kedepan, asistenku akan datang membawa yang kau inginkan." Ucap Ran datar.
"Baiklah."
...
Sekitar 40 menit lebih Surya-asisten Ran- datang dengan membawa semua yang diperintahkan Ran untuk membelinya. Ran berdiri sembari mengambil apa yang ada di tangan Surya dan meletakkannya di atas ranjang.
Zara menatap orang tersebut yang menurutnya tidak asing, lama ia berpikir. Hal yang sama dirasakan oleh Surya, tapi dengan cepat Surya bisa mengingat jika gadis yang menatapnya adalah Zara, anak dari Bosnya yang sudah tiada.
"Hai Zara, bagaimana kabarmu?" Surya menyapa Zara seolah mengenalnya dengan baik.
Seketika Zara langsung mengingat orang tersebut begitu ia menyapanya. Kemudian Zara tersenyum pada Surya lalu membalas sapaannya. "Hai Kak Surya, aku sedang kurang sehat sekarang. Bagaimana denganmu?" Jawab Zara yang terkesan sudah dekat dengan sosok tersebut.
Melihat itu Ran langsung membuka suara. "Eh, apa kalian sudah saling kenal?"
Zara dan Surya spontan mengalihkan pandangan pada Ran, mereka baru sadar ternyata ada Ran di sana. Entah mengapa bertemu dengan Surya membuat Zara merasakan kembali kehadiran ayahnya. Karena bagaimana pun Surya dahulu adalah asisten pribadi ayahnya, dan juga Surya pernah mengisi hari-hari dimana gadis itu beranjak remaja, jauh sebelum Ran hadir.
Zara menatap sosok lelaki berumur 26 tahun tersebut dengan tatapan kerinduan tanpa memikirkan Ran yang sedang dibakar cemburu. Sejak tadi Ran sudah merasakan aura yang kuat di antara mereka berdua, ia merasa seperti tak dianggap.
"Yah kami sudah saling kenal, sejak lama." Surya menjawab pertanyaan Ran.
Ran menatap Zara meminta kepastian, dan gadis itu mengangguk dengan pasti.
"Dulu kami sering bersama, Ayah Zara dulu adalah bosku sebelum dirimu. Dia selalu menugaskanku mengantar dan menjemput Zara ketika dia masih SMP." Jelas Surya dan berakhir dengan tersenyum simpul.
"Aah sperti itu." Ran mengagguk dengan senyum yang dipaksakan. Dalam hatinya, lelaki itu merasa begitu cemburu melihat Surya yang saat itu mengelus rambut Zara.
Bagaimana tidak, baru beberpa jam yang lalu ia menyatakan bahwa ia menyukai Zara, walaupun tidak secara langsung, dan sekarang dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah yang pertama bagi gadis itu.
'Menyebalkan!' batin Ran.
...
"Oh iya, kenapa Zara bisa berada di sini?" Tanya Surya pada Ran.
Sekarang mereka tengah duduk di sofa ruangan tersebut sedangkan Zara sudah berbaring di ranjangnya setelah seprei dan selimutnya diganti. Surya baru sempat menanyakan hal itu pada Ran karena sejak tadi ia sibuk menanyakan hal lain pada Zara hingga membuatnya lupa.
Ran pun meceritakan kejadiannya, namun hanya sebagian karena lelaki itu sengaja agar Surya tidak sepenuhnya khawatir pada Zara sebab ia tak suka mereka bersikap akrab seperti tadi.
'Mereka berdua membuatku geram saja.' Ucap Ran dalam hati sembari menyeruput teh dihadapannya dengan pandangan mata ke arah ranjang Zara.
.
.
.
bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments