Menatap lurus ke arah cermin. Zara memerhatikan pantulan cahaya dirinya di sana. Sembari bercermin gadis itu terbayang wajah Ran. Orang itu masih saja memenuhi kepala Zara hingga seutas senyum di bibirnya mengembang. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada kesempatan melihat manusia yang terlihat layaknya malaikat seperti Ran. Kesempurnaan lelaki itu tak bisa dipungkiri.
Setelah berhasil mengurai rambutnya, Zara beranjak dari cermin menuju meja kerjanya. Gadis itu meraih pena dan buku journal hitam. Tak lama kemudian beberapa tetes tinta tersemai indah di atas kertas putih bergaris itu. Rupanya Zara tengah menulis buku harian.
*Tanda jika kau mulai menyukai seseorang adalah ketika pikiranmu hanya dipenuhi olehnya. Kemanapun kau melangkah hanya senyum masinya yang terus menemani langkahmu.
Tapi aku masih ragu. Apa aku menyukainya? Padahal hari ini adalah pertama kalinya kami bertemu. Bisakah kusimpulkan bahwa aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama?
Oh ya, namanya Ran. Dia adalah sepupuku. Anak dari saudara lelaki Ayahku. Sungguh, dia tampan. Mata sipitnya begitu memukau. Dia adalah lelaki kedua yang kusukai. Tapi anehnya aku merasa dia yang pertama*.
Sambil tersenyum Zara terus saja menggoreskan tinta penanya ke atas kertas bergaris itu. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12.30 siang. Setelah merasa puas menceritakan sosok Ran di buku journalnya, ia pun mulai bangkit.
"Waktunya makan siang. Sepertinya ibu sudah memasak di dapur." gumam gadis itu sambil mulai melangkah keluar dari kamarnya.
Tepat di koridor, ternyata Ran juga baru saja keluar dari kamarnya. Sontak Zara merasa gugup ketika mereka berjalan beriringan hingga menuruni tangga. Gadis itu melirik sekilas dan tampak pada kedua matanya Ran sedang bermain ponsel dengan satu tangan dan tangan yang lain dimasukkan ke dalam saku celana.
'Sungguh tampan. Gayanya begitu cool.' celetuk Zara dalam hati.
Tanpa sadar ternyata langkah kaki Ran mendahuluinya, lelaki itu telah sampai di anak tangga terakhir dan langsung melaju ke arah dapur tanpa berniat memerhatikan sekitar.
Sementara Zara masih perlu menuruni beberapa anak tangga lagi. Namun nampaknya gadis itu masih dalam mode mengkhayal, dengan santainya ia melangkahi dua anak tangga sekaligus hingga tubuhnya terperosot ke lantai.
"Aakkhh." pekiknya.
Ran mengernyit di tengah langkah kakinya menuju dapur, seperti ada suara jatuh tapi lelaki itu malah memilih melanjutkan langkahnya.
Sementara Zara memegangi pergelangan kakinya yang terkilir akibat terjatuh. "Ya ampun sakit sekali." ucapnya sambil memerhatikan sekitar. Untung saja Ran tak melihat adegan itu, yang membuat Zara sedikit bernapas lega.
Dengan rasa malu yang terlanjur mencuat, ia berusaha berdiri untuk melanjutkan langkahnya menuju dapur sebelum ada yang melihat. Sambil sedikit terpincang Zara tetap berjalan berusaha menyamarkan raut wajah malu dan kesakitannya.
Hingga ia sampai di dapur lalu duduk di meja makan bersama Ran dan juga ibunya. Mereka berdua tampak berbincang hingga tak memerhatikan kedatangan Zara. Gadis itu berusaha agar tidak terlihat kaku ataupun aneh.
Tapi lagi-lagi rasa sakit akibat terkilir tadi masih saja terasa hingga gadis itu merasa tak bisa mengunyah. Ia terus menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa itu.
'Apa kukatakan saja yah pada ibu jika tadi aku terjatuh?' ucapnya dalam hati sambil terus meringis.
Tak lama tatapan kedua orang tersebut tertuju pada Zara. Ia tak menyadari dan masih saja asik meringis kesakitan.
"Zara ada apa denganmu?" sahut sang ibu.
Baru menyadari, Zara buru-buru menggeleng. "Tidak ada bu."
Tamara tampak mengernyitkan dahi. "Lalu mengapa dari tadi kau meringis? Apa kau sakit?"
Mata Ran menatap wajah gadis itu dengan intens. Ia ingat tadi ketika beranjak dari tangga, lelaki itu mendengar ada suara sreset terdengar. Tapi tak tahu apa yang terjadi.
"Kau terjatuh?" sahut Ran tiba-tiba.
Zara menoleh sambil membulatkan matanya. "Kenapa kau bisa tahu?"
"Oh itu, tadi aku mendengar suara aneh dari tangga. Jadi benar kau terjatuh?" jawab Ran lalu kembali bertanya.
Zara menunduk kemudian mengangguk sebanyak dua kali. Melihat itu membuat Tamara tampak tersenyum.
"Jadi yang mana lecetnya?" tanya Tamara.
Kegiatan makan siang tertunda sejenak akibat Zara. Gadis itu menunjukkan pergelangan kakinya yang memar pada sang ibu. Tamara meraih kaki gadis itu dan mulai memeriksanya.
"Kau terkilir cukup parah, bagaimana kau bisa seperti ini? Apa kau berlari saat menuruni tangga?" sungut Tamara.
Zara menggeleng. Dia memilih untuk diam karena malu jika harus menjawab.
"Ran tolong ambilkan krim di dalam lemari itu." pinta Tamara seraya menunjuk lemari dekat kulkas.
"Baik bi." jawab Ran.
'Memalukan sekali. Hanya karena aku mengkhayalkan wajahnya, aku terjatuh dari tangga. Ya ampun aku merasa otakku sudah tidak waras.'
Setelah mengambilkan krim dan memberikannya pada sang bibi, Ran kembali duduk untuk menyuap makanannya. Sementara Zara terlihat menahan rasa sakit akibat sentuhan tangan Tamara pada kakinya. Ran memerhatikan wajah itu. Imut juga, pikirnya. Tetapi karena tidak begitu peduli, lelaki itu hanya diam.
"Akkh, bu kenapa semakin sakit?" gerutu Zara.
"Namanya juga diobati, memang sakit Zara." tegas Tamara.
"Sudah bu, aku sudah tidak tahan lagi." Zara berusaha menahan tangan ibunya yang kemudian membuat ia semakin meringis kesakitan.
"Sabar dulu. Jika tidak segera diobati bisa-bisa kau tidak akan ke sekolah besok."
Zara akhirnya mengalah pada sang ibu. Matanya memejam kuat merasakan tekanan dari tangan lembut itu. Melihat wajah Zara memerah, Ran tersenyum tipis. Lelaki itu merasa sedikit terhibur.
"Aku sudah selesai, aku duluan bi." pamit Ran.
Tamara mencegah. "Tunggu!"
"Ada apa?" tanya Ran bingung.
"Bantu dia menaiki tangga, kalau perlu gendong dia!" pinta Tamara sembari menunjuk putrinya.
Zara membulatkan mata karena tidak terima. "Ibu." sahutnya cepat.
"Sudah terima saja. Ayo Ran." ucap Tamara telak.
Zara mendengus pelan seraya menggelengkan kepalanya. Ada rasa gugup menerjang dirinya. Namun tanpa disangka Ran langsung saja mengangkat tubuh mungilnya.
"Ah, ya ampun." ucap Zara.
Ran tampak tak acuh. Lelaki itu fokus menggendong tubuh Zara hingga menaiki satu persatu anak tangga. Zara mulai menutup mata karena merasa sangat malu.
Beberapa saat berlalu akhirnya mereka sampai di kamar Zara. Perlahan Ran menurunkan gadis itu di atas ranjang. Lelaki itu lalu menegakkan tubuhnya lalu menatap Zara. Zara tampak kikuk keika mendapati Ran tengah menatap dirinya.
"Apa butuh sesuatu?" tanya Ran.
Zara yang tadi menunduk seketika mendongakkan kepalanya menatap lelaki itu. "Sepertinya tidak."
Dan detik itu juga jantungnya kembali berdebar cepat. Karena Ran menyunggingkan senyum menawan. Tidak lebar tapi tidak pula terkesan datar.
"Kau belum makan kan?" tanya Ran lagi.
"Hm." jawab Zara malu-malu.
"Tadi kau terlalu asik meringis hingga lupa makan. Aku akan mengambilkannya untukmu. Tunggu disini!" ucap Ran kemudian berlalu.
Zara menunduk dalam. Kekonyolan ini membuatnya merasa sangat malu. Untung saja tidak ada yang tahu. Berselang beberapa menit Ran kembali dengan sebuah nampan berisi makanan di atasnya. Lelaki itu menyerahkan nampan tersebut pada Zara.
"Makanlah. Lain kali jangan mengkhayal ketika sedang berada di tangga." ucap Ran dan kemudian beranjak.
Zara mengerjap. 'Ya ampun, bahkan dia tahu jika aku tadi mengkhayal. Sungguh aku malu.'
.
.
.
bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mely Sianturi
hmmmm si Zara😂😂😂 jalan pake mata, bukan pake hati oiii
2021-05-28
1
Seirioss
aaaaaa😆aku pgen jg dong diangkat ama si Ran🤭
2021-05-26
2
👑Natasy👑
aku kira zara jatuh bakal ditolongin ama ran trus terjadi adegan tatap menatap 🗿
2021-05-26
1