Sebelum lanjut, jangan lupa pencek likenya 😁
“RAFKHA?”
Keduanya menoleh, tak hanya Rafkha yang terlihat terkejut, begitu juga dengan Dira yang saat ini terdiam kaku. Mendapat tatapan tajam dari Rizka.
“Mama sama Papa, kok disini?”
Rafkha membuka suaranya, berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu kamar utama tempat kedua orang tuanya berdiri.
Sementara Dira masih terdiam kaku. Mendapat masalah baru, adalah tiga kata yang terlintas dalam pikirannya saat ini.
“Harusnya, kami yang nanya sama kamu, Bang!” hentak Rizka, kepalanya tiba-tiba pusing karena memikirkan yang tidak-tidak.
“Tenang dulu Ma, kasih waktu untuk Rafkha menjelaskan,” berbeda dengan Panji yang masih terlihat santai, meski panik. Tapi keyakinannya terhadap putranya lebih besar dari pada rasa curiganya.
“Rafkha, siapa dia?” tanya Rizka kemudian.
“Dia...”
Belum sempat Rafkha menjawab, Dira memberanikan diri untuk berbicara.
“Maaf Om, Tante, nama saya Dira. Maaf sudah membuat kekacauan disini,” Dira masih tertunduk, tanpa berani menatap. Suasana saat ini begitu menyeramkan.
“Aku bisa jelasin, Ma.. Pa.”
Rafkha mengusap wajahnya, ia yakin saat ini mama dan papanya pasti salah paham.
“Mama nggak nyangka Rafkha, dua tahun kamu di luar negeri, kamu punya kebiasaan seperti ini disana? Pantas aja seminggu ini kamu pulang malam terus, ini penyebabnya?”
“Maksud Mama?”
“Tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, Mama nggak nyang—“
“Astaghfirullah Mama, ini nggak seperti yang mama pikirkan.” Rafkha langsung menyangkal.
“Duduk dulu, jelaskan supaya kami nggak salah paham.” Panji mulai duduk, mengajak istrinya, dan juga dua anak muda yang akan ia interogasi.
“Kamu, siapa tadi nama kamu?” Kini, pandangan Rizka beralih pada Dira.
“Dira tante,” Dira memberanikan untuk mengangkat kepalanya, menatap lawan bicaranya dengan perasaan gugup.
“Udah berapa lama kamu tempati apartemen ini?” Lanjut Rizka.
“Ma, sebentar. Jangan salah paham, Dira baru satu malam disini, ceritanya panjang. Aku cuma bantuin dia. Dira tinggal sama tantenya, dan Kemarin malam, Dira di usir dari rumah. Awalnya, sebelum dapat tempat tinggal baru, Dira mau nginap di mushola kantor, tapi aku nggak tega. Jadi aku bawa dia kesini.”
Rafkha berhenti sejenak, mengambil napas dalam. Kedua orang tuanya masih mendengarkannya dengan saksama.
“Jadi itu alasan kamu semalam nanya passcode sama Papa?”
“Benar, Pa. dan sebentar lagi, Dira pergi dari sini, Dira udah nemu tinggal baru, Ma... Pa.” Lanjut Rafkha.
Dira saat ini tengah menahan tangis, tak menyangka kebahagiaan seharian ini akan berujung seperti ini, memalukan. Kesan pertama kali bertemu dengan orang tua dari laki-laki pujaannya akan seperti ini. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Be-benar Tante apa yang di jelaskan Bang Rafkha. Usai sholat maghrib saya langsung pergi dari sini,” Dira menjawab, sambil menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh dan... ternyata Dira tak mampu menahannya. Kini pipinya mulai basah. Cepat-cepat ia usap, agar tak ketahuan sedang menangis. Tapi sayang, semua sudah melihatnya.
“Sini, kamu duduk dulu disebelah Tante,” Rizka melunak. Ternyata semua tak seperti yang ia pikirkan.
Dira maju beberapa langkah, mendekat pada Rizka yang tengah duduk disofa. Dan dengan jarak yang tak begitu dekat, Dira duduk disana. Meski masih ketakutan.
“Kenapa kamu nangis?” tanya Rizka pelan.
“Nggak apa-apa Tante.”
“Kalian... punya hubungan apa?” Kali ini Panji yang bertanya. Pertanyaan yang sederhana, hanya saja mereka berdua sulit memberikan jawaban.
“Kami cuma teman,” jawab Rafkha cepat.
“Teman?” Rizka berkerut kening. Ia ingat ucapan Fiqa tadi yang mengatakan bahwa Rafkha punya pacar.
“Iya benar Tante, Bang Rafkha senior saya dulu waktu kuliah,” Tambah Dira menjelaskan.
“Sekali lagi, saya minta maaf ya Tante.” Dira mengulangi permintaan maafnya. Rafkha menatapnnya penuh rasa iba, ia paham seandainya berada di posisi Dira. Sebagai perempuan, pasti akan dinilai jelek. Berada berdua didalam rumah dengan yang bukan muhrimnya.
“Ya udah Ra, kamu beres-beres. Sholat, terus aku antar lagi ke tempat baru kamu.”
Rafkha memecahkan suasana, berniat menyelamatkan Dira. Agar ia segera terbebas dari belenggu ini.
“Iya Bang, tapi... aku sendiri aja, naik taksi nggak apa-apa.” gadis itu menolak cepat, apalagi lelaki itu tadi mengatakan memiliki janji dengan kedua orang tuanya. Dan kini mereka sudah berada disini. Jadi, keberadaannya adalah salah. Dan harus segera angkat kaki dari sini.
“Kenapa buru-buru? Tante mau masak makan malam, kita makan bareng ya?” Rizka memegang pundak Dira.
Dira melihat sorot mata wanita paruh baya dihadapannya, tersirat ketulusan disana. Tapi Dira tak mau dikasihani. “Ehm... gimana ya Tante.”
“Udah nggak apa-apa, nanti setelah makan, biar Rafkha antar kamu.” sahut Panji.
“I-iya Om, Tante, makasih.” Dira tak bisa menolak, jika menolak ia merasa seperti tak tahu diri.
Rafkha menyimpul senyum tipis, tanpa ada yang melihatnya. Entah mengapa ia senang dengan suasana saat ini.
🌸🌸🌸
Satu jam kemudian, di kursi dan meja makan minimalis yang tersedia di apartemen itu. Mereka tengah makan malam sambil berbincang. Masakan Rizka yang lezat, namun sayang Dira tak bisa benar-benar menikmatinya. Hati dan pikirannya masih sangat kacau. Karena dirinya sudah menyebabkan kekacauan dalam keluarga Rafkha.
“Berarti kalian udah lama kenalnya ya?” Panji membuka pembicaraan. “Iya Pa.” jawab Rafkha. “Tapi baru ketemu lagi beberapa minggu yang lalu.” Lanjutnya.
“Pas kamu balik kesini?” Rizka menatap keduanya. Sesekali pandangannya beralih pada Dira yang sangat canggung.
“Iya Ma.”
“Terus ketemu lagi, dimana?” Sebisa mungkin Rizka mencari informasi, ia penasaran.
Karena menurut Rizka, Dira pasti bukan perempuan biasa bagi Rafkha. Ia paham betul bagaimana sifat dan sikap putranya itu jika benar-benar tidak penting baginya. Ia tak akan pernah peduli. Jadi, menurutnya, Dira pasti penting bagi Rafkha. Karena putranya itu rela menolong gadis cantik itu, sampai harus sembunyi-sembunyi dan membiarkan Dira menginap di apartemen mereka.
“Di kantor, Tante. Bang Rafkha atasan saya.” Karena pandangan Rizka tak lepas darinya, terpkasa Dira yang menjawab.
“Oh...”
“Ehem, Abang. Kayaknya ini waktu yang tepat, Mama sama Papa mau bicara penting.”
Seketika Rafkha menatap kedua orang tuanya secara bergantian, seolah memberi isyarat pada mereka bahwa saat ini sedang ada orang lain yang bukan keluarga. Apa harus sekarang?
“Mama mau kenalin kamu, sama anak teman pengajian Mama,” ucap Rizka tanpa ragu, sambil menatap Dira. Bukan Rafkha. Ia ingin melihat bagaimana reaksi gadis dihadapannya itu.
Jika memang mereka tak memiliki hubungan apapun, harusnya semuanya akan biasa-biasa saja.
“Lebih tepatnya, mau jodohin kamu.” sambung Panji tanpa basa-basi.
“Uhuk!”
Rafkha tersedak saat meneguk air putih, mendengar ucapan sang Papa yang to the point.
Saat itu juga, napas Dira langsung merasa tak beraturan. Rasanya, sakit dan perih. Tapi tak ada luka yang menganga. Ingin sekali Dira segera berlari dan pergi dari sini. Pupus sudah harapan-harapan indahnya. Terlalu cepat Dira merasa bahagia, tapi beginikah akhirnya.
“Ma.. Pa... Aku nggak mau.” ucapnya tegas.
“Kenapa? udah waktunya kamu menikah Bang, beberapa bulan lagi usia kamu genap dua sembilan. Udah pantas sekali untuk menjadi kepala keluarga, benar ‘kan Dira?”
Entah apa yang direncanakan dua orang tua itu, “I-iya benar Tante.” Dira gugup, saat pertanyaan itu dilempar kepadanya.
“Kamu sendiri gimana? udah ada calon?” pertanyaan Rizka selanjutnya pada Dira.
“Itu privasi Dira Ma, kenapa Mama nanya sampe segitunya?” Rafkha tak terima.
Dira menggeleng cepat, “Belum, tante.”
“Kayaknya besok pas deh, buat nemuin kamu dan anak teman mama itu, namanya Una. Mama akan atur lagi waktunya,” Rizka belum menyerah, masih ingin tahu respon putranya akan seperti apa.
“Aku udah punya pilihan sendiri, Ma. Mama dan Papa Nggak perlu repot-repot buat jodohin aku.”
Bagi Dira, Kalimat yang barusan Rafkha ucapkan lebih menyakitkan daripada mendengar lelaki itu akan di jodohkan. Ternyata Rafkha sudah punya orang lain dihatinya. Kini, hatinya hancur berkeping-keping. Jika boleh memilih, rasanya ia tak mau lagi bertemu dengan Rafkha, jika akhirnya hanya sakit yang ia dapat.
Lagi-Lagi, Dira harus menahan air matanya. Cepat-cepat ia menyelesaikan makannya. Agar bisa segera pergi dan tidak berurusan lagi dengan keluarga ini.
“Oh ya? siapa? kenalin dong ke Papa dan Mama.” Panji menantang, tapi Rafkha belum memberi jawaban. Ia menoleh ke Dira yang saat itu sedang menunduk seolah menyembunyikan wajahnya.
“Kita pergi sekarang, Ra?”
Suasana yang tidak baik, ada baiknya Rafkha segera membawa Dira pergi sebelum semakin kacau.
“Iya, Bang.” jawabnya tanpa ragu.
🌸🌸🌸
Siapa yang tebakannya salah 😝
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
seperti luka yg di kasih garam perih perih gimana gitu ya Dir...
2023-08-10
0
Sunarti
mw di jodoh kan si Rafkha lah mending jujur aja klo mulai cinta sama Dira gak perlu berbelit "
2023-05-04
0
fifid dwi ariani
trus berkarya
2023-01-03
0