Pagi ini, Dira teramat sibuk. Ini lebih sibuk dari pagi-pagi biasa sebelum ia berangkat bekerja. Semua pakaiannya dari dalam koper ia keluarkan, untuk memilih yang terbaik diantara yang terbaik. Rasanya, sudah hampir delapan setelan yang ia coba, tapi belum ada yang pas menurutnya.
Kencan pertama? Ra, lo mikir apaan sih? hei dia cuma mau nganterin lo buat ngeliat kosan. Bukan pacaran. Dira mencolek-colek pipinya sendiri, pipi yang lumayan berisi. Di tambah lagi ada lesung pipi menghias disana jika ia mengukir senyum.
Melihat pantulan dirinya di cermin yang ada di dalam kamar itu, Dira akhirnya memilih memakai setelan santai. Kemeja longgar, oversize, dipadu dengan celana jeans boyfie yang juga longgar. Bentuk tubuhnya sama sekali tidak mencetak kali ini, tidak seperti saat ia akan berangkat ke kantor.
“Ya udah, ini aja. Yang penting nyaman. Lagian...” Dira menggelengkan kepalanya. Berusaha menyadarkan dirinya bahwa diantara mereka tidak ada apa-apa.
Selesai urusan baju, Dira beralih pada penampilan wajah dan rambutnya. Jika biasanya Dira lebih banyak memoles wajahnya, kali ini tidak. Ia biarkan wajah polos naturalnya terpampang. Hanya menambahkan foundation, bedak tipis dan lipstik saja. Tanpa eyeshadow, pensil alis ataupun blush on. Untuk bulu mata, Dira tak perlu repot-repot karena Tuhan sudah menganugerahinya bulu mata lebat nan lentik.
“Udah, okey.” Dira mengatup bibirnya, duduk ditepi ranjang. Meraih ponselnya, menunggu panggilan. Tadi, lelaki itu mengatakan akan tiba sekitar satu jam lagi. Dan saat ini, hanya kurang dari lima menit saja.
Ponselnya berdering, Dira langsung menoleh. Tapi bukan nama Rafkha yang tertulis disana, melainkan Papa. Membuatnya berekspresi kaget dan tidak menyangka.
“Ini gue nggak salah lihat?” sebelum menggeser ke tombol hijau, Dira menatap layar ponsel itu sekali lagi.
“Angkat, jangan?” Dira masih ragu.
“Hallo... Papa,” takut-takut Dira menjawab. Rasanya seperti mimpi, sudah lama sekali ia tidak dihubungi oleh sang Papa.
“Kamu dimana Dira?” tanya pria paruh baya di seberang sana.
“ Dira sekarang, di...” berhenti sejenak. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.
“Papa dengar dari Mamamu, katanya kamu pergi dari rumah Sophie? apa benar?”
Mata Dira membulat mendengarnya, ternyata tantenya itu memberikan laporan.
“Iya.” satu kata, menjelaskan dan menjawab semua.
“Terus kamu mau tinggal dimana? ikut Papa aja ya Nak?” tawar papanya. Entahlah Dira pun tak tahu itu sungguhan atau hanya basa-basi belaka.
“Nggak Pa, makasih. Ini Dira lagi nyari tempat tinggal baru.” Dira menolak cepat tawaran papanya itu.
“Bilang kamu dimana sekarang, Papa jemput kamu disana!” walau papanya setengah memaksa, tapi Dira tetap pada pendiriannya.
“Maaf Pa, Dira baru keluar dari kandang macan, sekarang papa minta Dira masuk ke kandang singa?” Bukan tanpa alasan gadis itu berucap seperti itu, jelas saja Dira menolak. Tinggal bersama papanya berarti juga tinggal bersama mama tiri. Tidak, Dira tidak siap akan hal itu.
Setahun yang lalu, Dira pernah datang kerumah papanya. Itu pun atas permintaan papa karena pria itu sedang sakit dan meminta Dira menjenguknya. Tiba disana, Dira mendapatkan perlakuan tak mengenakkan dari mama tirinya yang baru ia temui beberapa kali saja.
“Maksud kamu apa?” papanya balik bertanya dengan nasa tak suka.
“Udah Pa, Dira nggak mau. Dira aman tinggal sendirian, Dira bebas tapi masih tau batas. Papa nggak perlu khawatir. Maaf ya Pa.”
Tak mau berlama-lama, ia langsung mengakhiri panggilan. Saat ini ada yang lebih penting dari papanya. Dan benar saja, ada beberapa pesan singkat dari Rafkha.
Nomor kamu sibuk, aku udah dibawah. Pakrikan depan ya, bukan basemen.
Dira, are you okay?
Apa aku harus naik ke atas jemput kamu sampai di depan pintu kamar?
“Ya ampun, Rafkha.” Ia pun bersiap untuk keluar kamar, tapi sekali lagi ia memastikan penampilannya. Menyemprotkan parfum di beberapa titik. Dira tak bermaksud menggoda lelaki itu atau sejenisnya, hanya saja menurutnya, kesan pertama harus baik. Ya, ini pertama kalinya mereka akan pergi berdua.
Berjalan keluar kamar dan menuju pintu utama apartemen itu, Dira membuka pintu di kagetkan dengan sosok tampan yang entah sejak kapan sudah berdiri disana.
“Maaf, tadi aku nerima telpon, Bang.” ucapnya jujur, pada Rafkha yang kini tengah menatapnya.
Lelaki itu mengenakan kaos polos berkerah warna hitam. Di padu dengan jeans biru dongker. Penampilannya juga sangat berbeda dari biasanya. Jika setiap hari Dira melihatnya mengenakan kemeja, kali ini berbeda.
“Oh ya? udah siap?” ucap Rafkha. Menyadarkan Dira akan tatapan tanpa kedipnya terhadap lelaki itu.
“Udah.”
Rafkha mundur satu langkah, agar Dira bisa keluar.
“Maaf ya Bang, sampe kamu harus nyusul ke atas.” Dira merasa bersalah.
“Nggak masalah.” Rafkha menjawab tanpa ekspresi.
🌸🌸🌸
Ting**
Ting
Ting
Ting
Nada notifikasi khas salah satu merk ponsel terkenal di dunia, milik Dira. Berbunyi bertubi-tubi. Mengganggu pikiran Rafkha, penasaran tentunya. Ingin bertanya, tapi apalah daya. Dia bukan siapa-siapa.
Dira masih menatap lekat pada ponselnya, menghayati setiap kata yang mengukir kalimat, masuk ke ponselnya.
Papa
Setidaknya, carilah tempat tinggal yang layak. Papa rasa, itu cukup untuk beberapa bulan ke depan.
Dira baru saja menerima notifikasi sms banking, ada uang sejumlah dua puluh lima juta masuk ke rekeningnya. Setelah membaca pesan dari sang Papa, Dira tak perlu bertanya-tanya lagi uang itu dari siapa.
Harusnya Papa nggak perlu repot-repot sampe segitunya, tapi... makasih Pa.
Dira membalas sambil tersenyum penuh arti, siapa yang tidak bahagia mendapat donasi sebanyak itu. Jika ia pintar-pintar menggunakan atau mencari tempat tinggal yang sesuai, uang itu bisa untuk membayar hunian untuk setahun ke depan.
Lagi-lagi, Rafkha melirik ke arahnya dengan pikiran yang melayang-layang. Menebak-nebak dengan siapa Dira sedang berbalas pesan.
Faiz? tiba-tiba nama itu terlintas di kepalanya.
“Chatingan sama siapa?” nadanya datar.
merasa tidak tahu diri, lelaki disamping Dira membuka suara untuk bertanya. Lebih baik bertanya kan daripada tersesat dalam pikiran yang tidak karuan?
“Sama Papaku,” Dira menjawab, sambil menoleh. Senyumnya semakin lebar, bukan risih di tanyai seperti itu. Ia justru senang dan terkesan, Rafkha bertanya? itu artinya ia peduli, bukan?
Senyum yang baru saja Dira suguhkan, mengakibatkan para lelaki bisa terkena diabetes hanya karena melihatnya saja, apalagi menikmatinya. Rafkha yakin saat ini, otaknya sedang tidak beres.
Barusan itu apa? senyum atau gula? manisnya hampir mematikan. Rafkha membatin, tapi masih mencoba fokus menyetir. Berharap pikirannya saat ini masih waras seratus persen. Ia berpikir, sepertinya, minum kopi bersama Dira tak butuh gula, lihat saja senyumnya.
🌸🌸🌸
Maaf baru upadate, banyak kerjaan. hihi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
zeus
Gula alami lbh sehat... 😅
2025-02-14
0
Cicih Sophiana
wah gula ga laku dong bang...😄
2023-08-10
0
Benazier Jasmine
dira jgn tersenyum trs bisa2 sia bang rafka diabet🤣🤣
2023-07-02
0