Rafkha benar-benar menunggu gadis itu di lobi, lebih dari sepuluh menit. Hingga saat Dira tiba disana, Rafkha mengajaknya keluar gedung, berjalan kaki sekitar lima puluh meter dari gedung perusahaan.
Dira hanya pasrah saja, entah apa yang direncanakan Rafkha. Berjalan pelan tepat dibelakang lelaki itu, bolak balik menata rapi rambutnya yang sesekali diteroa angin. Kacamata sudah terpasang manis di wajahnya, meski sedikit merepotkan, Dira lebih memilih mengenakan kacamata daripada softlens yang lebih banyak resikonya.
“Ki-kita mau kemana sebenarnya, Pak?” Dira memberanikan diri untuk bertanya. Apalagi, ini sudah malam. Angin malam menembus menusuk kulit lengannya apalagi saat ini ia hanya mengenakan blouse berbahan tipis, meski lengan panjang, tetap terasa dinginnya.
Pandangan Dira tak terlepas dari tubuh tegap yang ada di depannya, tubuh yang sejak dulu ingin selalu ia rasakan bagaimana jika berada didalam dekapannya. Gadis itu ingin tersenyum, tapi tak tahu sebenarnya ini situasi seperti apakah? harus bahagia, tapi juga dirundung ketakutan.
“Makan sate, saya... aku dengar dari karyawan lain daerah sini ada rekom sate enak,” mengingat bahwa perempuan yang ada dibelakangnya itu adalah junior dikampusnya, dan saat bukan jam kerja, Rafkha tak ingin terlalu formal, maka ia mengubah sebutan dirinya. Ia menjawab sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Mendengar kata ‘makan’ Dira menyimpul senyum tipis. Pas banget gue laper.
“Sebentar,” Rafkha berhenti dan berbalik secara tiba-tiba, hingga tubuhnya bertabrakan dengan Dira yang saat itu terus berjalan. “Maaf,” ucap mereka bersamaan.
“Kamu nggak lagi diet atau semacamnya kan? Ini udah malam banget, biasanya cewek kan takut makan di jam segini,” Rafkha mengingatkan. Dira menggeleng cepat. Apa itu diet? Dira tak kenal itu, apalagi di suasana seperti ini, nafsu makannya justru meningkat.
Mungkin itu berlaku untuk cewek-cewek yang kamu kenal, Bang. Tapi enggak buat aku, aku nggak pernah diet. Dira hanya berani menjawab dalam hati.
“Oke kalau begitu kita lanjut,” Rafkha kembali berjalan. Tak lama kemudian tampaklah gerobak pedagang sate kaki lima di kacanya bertuliskan sate padang dan jawa. yang hanya menyediakan empat kursi plastik dan dua meja.
“Sebentar,” lagi-lagi Rafkha menghentikan langkah dan berbalik. Tapi kali ini Dira lebih sigap agar mereka tak lagi bersentuhan, sungguh Dira tak kuasa jika itu terulang, apalagi tadi bagian depannya benar bersentuhan dengan perut rata lelaki itu.
“Kamu nggak masalah makan di tempat kayak gini?” tanya Rafkha, dan Dira masih menggeleng. “Aku rasa kamu termasuk orang yang pelit kata-kata, ya?”
“Ng-nggak juga Pak,” jawab Dira sekedarnya. Itu karena kamu orangnya, kamu. Lebih baik aku banyak diam Bang dari pada salah ngomong, dan ujung-ujungnya malu sama kamu. Ucap Dira dalam hati.
Mereka sudah duduk berhadapan, Rafkha sudah menentukan pesanannya. “Kamu?” ia bertanya pada gadis dihadapannya. “Sate ayam, dicampur aja Padang-Jawa, nggak usah pakai tulang-tulangnya ya Mas!” seru Dira pada tukang sate.
“Nggak suka tulang berulang juga?” Rafkha bertanya, saat menyadari ternyata Dira memiliki satu kesamaan dengannya.
“Nggak Pak.”
“Oke, sambil tunggu pesanan... aku mau tanya sama kamu, yang pertama. Kenapa kamu pura-pura nggak kenal aku?”
Saat ini, Dira merasa tersudutkan, senang, gugup dan takut bercampur baur menjadi satu. Mendengar perntanyaan itu, Dira menelan ludahnya kasar. Tak berani menatap Rafkha.
“Halo halo, aku ngajak kamu ngomong loh, kenapa diam?” lanjutnya.
“Maksud Bapak pura-pura nggak kenal gimana ya?” Dira mulai curiga apa benar Rafkha mulai mengingatnya? Tapi Dira akan menguji ingatan atasannya ini sekali lagi.
“Foto aku ngerangkul kamu, di hari ospek kamu yang terakhir, jelas masih kamu simpan di flashdisk kamu, jangan kura-kura dalam perahu,” Rafkha menjelaskan, sangat detil dan tepat sasaran.
Mata Dira membulat mendengar pernyataan Rafkha barusan, oke gue ketahuan.
“Ehm... jadi Bapak meriksa isi flashdisk saya? itu ‘kan udah melanggar privasi,” Dira berkerut kening, karena kaget dengan pernyataan Rafkha barusan, dan sedikit meninggikan nada bicaranya. Bisa-bisanya Rafkha melakukan itu.
“Permisi, mas...mbak, silahkan,” dialog mereka terhenti saat pesanan mereka tiba.
“Salah sendiri, kenapa make flashdisk pribadi buat keperluan kantor.” Mata Rafkha masih tak terlepas dari wajah perempuan dihadapannya.
Ditatap seperti itu, Dira justru kehilangan kata-kata untuk menjawab.
“Dira... Dira... Dira... Andira Faranisa, aku berusaha mengingat nama kamu, aku yakin kalau kamu itu nggak asing dan ternyata benar, sekali lagi aku tanya kenapa kamu pura-pura kita nggak kenal?” Lanjutnya.
“Karena... Bapak atasan saya, bos besar di perusahaan tempat saya bekerja, lantas saya harus gimana?”
“Ini bukan jam kerja Dira, kamu boleh manggil aku dengan sebutan lain selain Bapak. Aku risih dengarnya. Aku ingat dulu kamu manggil aku...”
“Abang,” sahut Dira cepat.
“Ya, bisa kan sekarang kamu manggil begitu aja?”
“Aneh, kita sudah kama nggak ketemu. Dan posisi Bapak sekarang beda, walaupun Bapak pernah jadi senior saya—“
“please, bisa nggak?” entah apa yang membuat Rafkha memaksa hingga memohon pada Dira mengubah panggilan terhadapnya. “Tapi saat di kantor ya tetap profesional, kecuali posisi kita cuma berdua,” lanjutnya.
“Ya udah,” Dira tak bisa menolak, ia pasrah saja. Anggap saja ini jalan takdirnya untuk lebih dekat dengan Rafkha. Mengingat itu tanpa sadar menyimpul senyum manis, matanya sedikit menyipit apalagi kini tengah sembab karena menangis tadi. Rafkha yang baru saja menyaksikan senyuman gadis itu, hampir saja tersihir dengan senyumnya. Tapi buru-buru ia menyadarkan diri.
“Senyum sambil ngeliatin sate, memang satenya lucu?”
“Bukan, keadaan ini yang lucu,” Dira, harus mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Mengikuti kemana arus takdir membawanya, juga mengikuti kemauan lelaki itu, tidak akan ada yang tahu bagaimana kedepannya. Terlebih nantinya akan selalu ada saja hal yang membuat Dira harus berurusan dengan Rafkha. Itu sudah pasti.
“Maksud kamu? keadaan ini lucu?”
“Aku lapar, kita makan dulu ya.” Dira mulai berani jujur dan apa adanya, perlahan kegugupannya memudar saat berdekatan dengan Rafkha.
Harus terbiasa Ra! Dira membatin.
Mendengar kejujuran gadis dihadapannya, kini Rafkha yang menyimpul senyum.
polos dan lugunya ternyata belum berubah.
“Ya udah, kita selesaikan makan dulu, nanti aku mau nanya-nanya lagi sama kamu!” ucap Rafkha.
🌸🌸🌸
Jangan lupa dukungan ya kalau senang sama ceritanya, makasih. hihi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
ada angin menyejukan... serasa bunga bunga dalam hati berterbangan... asal jantung jgn copot aja Dira...sehat sll thor
2023-08-08
0
Sunarti
wiiiih Rafkha yg suka maksa
2023-04-23
0
Mulyanthie Agustin Rachmawatie
Duuuh...bhgia nya dekat dg org yg di cinta diam2....
2023-03-16
0