Outside

Tak berapa lama kemudian, mereka menemukan pintu keluar. Keduanya berhenti beberapa meter dari mulut gua. Dari posisi saat ini, raungan angin bercampur hujan salju deras sangat terasa. Mata mereka tak bisa melihat jauh ke depan. Hanya nampak hempasan salju kelabu dengan latar belakang hitam pekat. Kontras dengan kondisi tempat mereka berdiri saat ini. Setidaknya masih ada cahaya remang kuning dari obor. Sekalipun hangat, tetap saja api mereka tak berdaya melawan hawa dingin badai. Api-api itu harus berjuang sekuat mungkin untuk tetap menyala. Sayangnya, obor di bagian mulut gua harus menyerah kalah. Mereka tak mampu menyala lagi karena diserang badai salju bertubi-tubi.

Farrell hanya bisa mendesah pelan. Napas putih menyembul dari bibirnya. Kondisi seperti ini pasti tak memungkinkan untuk penerbangan malam. Kecemasan menggerogoti makin cepat setiap kali dia mengedarkan pandangan.

“Aku yakin badainya nggak akan berlangsung lama,” ujar Christo. Dia menarik diri ke samping, menyandarkan dirinya ke dinding, lalu duduk di dekat salah satu obor.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Aku sudah lama berada di sini. Percayalah. Aku tahu.”

Farrell masih bergeming di tempatnya. Tatapannya terarah lurus ke mulut gua. Pikirannya mengelana ke berbagai tempat. Dia penasaran apa yang akan dilakukan Denise pada Milo dan Libby setelah dirinya tidak ada. Dia juga ingin tahu bagaimana reaksi paman. Hatinya sulit percaya kalau paman berbeda dengan bayangannya semula. Benarkah paman ada di sisi Denise? Benarkah paman punya rencana tidak baik untuk mereka? Bagaimana kalau sebenarnya Christo yang memutar balikkan fakta? Farrell melirik Christo. Kalau Christo benar mengarang cerita, apa dia akan rela melindunginya sampai seperti ini? Christo terluka menerima serangan Denise yang ditujukan padanya.

“Hei…” Christo balas menatapnya. “Kupikir kita bisa keluar sekarang.”

Farrell tak sadar berapa lama dia mematung di sana. Dia sampai tak menyadari kalau salju mulai mereda. Bintik kelabu turun pelan di depan pemandangan hitam. Deru angin terdengar sayup. Sekalipun udaranya masih menggigil, tapi tak ada hembusan dingin masuk ke gua lagi.

Christo memimpin jalan ke depan. Gizmo yang sedari tadi hinggap di dekatnya, terbang duluan ke mulut gua. Farrell pun mulai melangkah. Detik berikutnya, Farrell merasakan bulu kuduknya berdiri karena mendengar suara pekikan aneh. Suara itu seperti suara pekikan burung hantu.

“Gizmo!” seru Christo sambil berlari keluar.

Pilihan salah. Belum mencapai ujung gua, Gizmo terbang kembali dengan panik. Kepakannya tak beraturan dan arahnya ngawur. Dia hampir menabrak Christo. Gizmo terbang ke belakang Farrell. Kala kecemasan mulai merambat, keduanya mendengar suara lain. Lolongan serigala.

Farrell terkesiap sebelum sempat bicara apa pun. Beberapa meter di depan Christo, tepat di mulut gua, dia berdiri di sana. Serigala besar berwarna kelabu dan ujung ekor merah.

“Tenanglah,” kata Christo separuh berbisik sambil menatap serigala itu lekat-lekat. Serigala menggeram padanya. Tangan Christo gemetar, tapi dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. “Farrell, merapatlah ke dinding gua dan terus berjalan. Nanti akan kuberi aba-aba… untuk lari.”

Farrell tak bisa berpikir saat ini, jadi dia menuruti perintah Christo. Beruntung bagi mereka, serigala tidak berada tepat di tengah mulut gua.  Serigala terus menggeram pada Christo. Namun tak lama, hingga akhirnya hewan ini memilih melompat pada mangsanya.

“Sekarang!” seru Christo. “Lari!” Christo bertolak, menghindari si serigala, dan berlari.

Farrell berlari keluar sekencang yang dia bisa tanpa arah. Salju memperlambat langkahnya. Kakinya berulang kali terbenam dan bukan hanya sekali dia hampir jatuh. Mendadak, dia menghentikan langkahnya. Farrell melihat serigala lain di depan. Dua serigala. Gizmo hinggap di cabang pohon dekat Farrell dan hanya mengamati. Christo berhenti di belakangnya dan langsung memunggunginya agar bisa saling menjaga. Tangannya menggenggam sebuah obor dari gua. Christo menyempatkan diri mengambilnya saat lari tadi. Farrell melihat ada satu serigala lagi ikut bergabung dari sisi kiri.

“Kita terkepung. Ada ide?” tanya Christo.

“Berapa lama yang kamu perlukan untuk merapal mantra?” bisik Farrell.

“Hanya beberapa detik.”

“Serigala ini suka darah, kan? Lepaskan saputangannya dan berikan padaku,” kata Farrell sambil menunduk perlahan tanpa melepaskan pandangan pada serigala. Tangannya meraih potongan dahan pohon yang tergeletak di tanah.

“Apa maumu?” Christo menarik saputangan berdarah dan menyerahkannya.

“Mengulur waktu. Sekarang kamu yang ikuti aba-abaku. Larilah ke Gizmo dan jadikan ukurannya berkali lipat. Jadikan dia raksasa!”

“Tapi—”

“Sekarang!”

Christo tak sempat protes. Begitu mendengar Farrell berteriak, Christo mengayunkan obornya lalu berlari melewati celah antar serigala untuk menghampiri Gizmo. “Gizmo, kemari!” Dia memilih satu area yang agak kosong agar Gizmo mau terbang padanya.

Sementara itu, Farrell melempar saputangan berdarah. Satu serigala terkecoh dan meninggalkannya. Tiga serigala menghampiri dirinya. Farrell menanti. Begitu ada serigala yang melompat padanya, dia memukul badan serigala dengan tongkat. Lalu, lagi. Sayangnya, serigala terakhir menggigit tongkatnya dan mematahkannya jadi dua. Farrell pun terpaksa kabur dari mereka. Dia tahu kalau sudah membuat kesalahan saat berlari melewati pohon di sisi kiri. Tanahnya menurun. Farrell pun tergelincir. Untung saja, turunan itu dangkal. Namun, ketika hendak berdiri, matanya melihat satu serigala sedang melompat padanya.

BLAAAR!

Farrell terpana. Sebuah bola api menghantam lawan. Si serigala mendarat darurat ke salju. Namun, apinya tak langsung padam. Dia berseru kesakitan dalam raungan. Serigala yang lain memilih mundur setelah melihat temannya terkapar.

Lalu, Farrell mendapati hal lain. Dirinya berada di bawah bayang-bayang besar, sangat besar. Dia mendongak. Gizmo ada di sampingnya. Badannya kini berkali-kali lipat dari ukuran semula. Tanpa sayap terkembang, ukurannya dua kali lebih besar dari helikopter. Beberapa pohon di dekatnya rusak karenanya. Gizmo sekarang bisa mengintimidasi para serigala hanya dengan ukuran tubuhnya.

“Hei, butuh tumpangan?” Christo muncul dari belakang Gizmo. Dia membawa tali tampar tebal dan besar. Sambil melemparkan senyum pada Farrell, dia mengikat tali tersebut pada kaki si burung hantu.

Farrell bangun sambil membersihkan salju dari bajunya. “Tunggu! Apa bola api tadi berasal darimu?”

Christo tak menoleh, masih sibuk membuat simpul. “Tepat sekali.”

“Kupikir—  Tadi—  Kamu tadi bilang nggak bisa sihir, ‘kan?”

“Memang. Aku payah soal itu.” Christo tersenyum simpul sekarang. Apa menurutmu tadi aku merapal mantra bola api?”

“Entah kenapa, sekarang aku malah menyesal bertanya.”

Christo memberikan ujung tali pada Farrell di mana ujung satunya sudah terikat ke kaki kiri Gizmo. “Ikat ini di badanmu, lalu berpegangan ke kakinya.”

Farrell mengadahkan tatapannya ke atas. Gizmo balik menatapnya. “Setahuku, burung hantu itu pemakan daging. Apa Gizmo vegetarian?”

Christo mendengus geli. “Jangan khawatir, dia nggak akan memakanmu kecuali kamu menyakiti hatinya. Dia sensitif. Apa aku sudah bilang kalau Gizmo ini betina?”

“Entah kenapa, sekarang aku menyesal memberi ide ini.”

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Burung hantu betina berwarna putih...
Auto kangen Hedwig
😢😢

2022-08-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!