William mengajarkan mereka beberapa trik lagi. Setelah selesai bicara, gantian Denise bicara.
“Kurasa kita harus mulai serius. Benda itu nggak akan segera ketemu kalau kalian hanya bermain ski untuk bersenang senang. Farrell, Milo, Libby, mulailah berpencar. Perhatikan sekeliling kalian. Beritahu aku keanehan apa pun yang kalian temukan. Oke?”
Farrell mengernyit. Dia tak paham satu pun dari ucapan Denise. Tapi, Milo dan Libby sepertinya paham. Mereka mengangguk pelan kemudian meluncur di atas lintasan ski menuju arah berbeda. Milo bergerak cukup cepat. Libby meluncur perlahan. Keduanya sudah menghilang dari sisinya saat Farrell baru mau bertanya apa maksud Denise.
“Kenapa kamu masih di sini?” Denise menatapnya, cemberut.
Farrell balas menatap wanita di depannya dengan bingung. “Benda apa maksudmu?”
Denise melipat tangannya ke depan dada. “Tidakkah kamu merasa harus menemukan sesuatu?”
“Sesuatu? Apa?”
Farrell memutar bola matanya berusaha mengingat sesuatu. Dia menatap lintasan salju dan sesekali kepada Denise. Wanita tersebut berambut keemasan dengan beberapa helai dicat hitam. Rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya dirias dengan baik. Kemarin Farrell menganggap wanita ini menawan namun barusan kesan tersebut berubah drastis. Entah kenapa dia merasa kalau Denise agak menyeramkan.
Denise melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke dekat wajah Farrell. “Kamu seharusnya merasa bersemangat sekarang. Seharusnya kamu dihantui rasa penasaran. Seharusnya kamu ingin menemukan keajaiban-keajaiban yang ada di sini. Ayolah, Farrell, jangan menggodaku.”
Farrell menggelengkan kepala. “Maaf, tapi aku sama sekali nggak mengerti apa maksudmu.”
Denise mengalihkan pandangannya pada William.
William langsung mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Jangan lihat aku. Aku bukan koki di sini.”
Denise mendekatkan lagi wajahnya hingga jaraknya hanya terpaut beberapa centimeter dari wajah Farrell. Farrell spontan menahan napasnya. Bukan karena grogi, lebih karena ada kengerian terpancar di mata Denise. Apalagi saat wanita itu bicara lagi. “Ada banyak keajaiban tersebar di penginapan ini. Kalian hanya perlu membuka mata lebar-lebar dan mengamati sekelling. Coba saja, kalian akan terpukau.”
Farrell mengenali ucapan tersebut. Itu persis ucapan paman saat mereka minum teh bersama. Sekarang Denise mengucapkannya bagai mantra.
Denise menoleh pada William lagi.
William menggelengkan kepala. “Aku nggak ngerti apa pun. Tanya saja pada Remy.”
Tatapan dan raut Denise berubah. Matanya terbelalak mengamati Farrell dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mulutnya masih cemberut dan alisnya menekuk. Dia sepertinya sedang berusaha memahami apa yang terjadi.
Farrell mendapat firasat kalau sekarang Denise sama bingungnya. “Aku nggak paham apa pun di sini. Apa ada yang bisa menjelaskannya padaku? Kenapa aku harus menemukan sesuatu? Benda apa maksudmu? Keajaiban seperti apa yang ada di sini?“
Mendengar pertanyaan tersebut, wajah Densie memucat. “Aku… harus mencari Remy.” Dia pergi tanpa bicara apa-apa lagi.
Farrell pun menatap William, “Sekarang—”
“Tunggu! Kurasa ada hal buruk terjadi.” William menengadah ke atas. Farrell mengikutinya. Keduanya melihat burung hantu putih terbang rendah di atas mereka. Dia terbang berputar beberapa kali lalu terbang menuruni lintasan salju. “Kurasa Gizmo ingin kita mengikutinya.”
“Gizmo?”
“Itu namanya,” William menunjuk si burung hantu. “Ayo cepat!”
Farrell belum sempat bereaksi, kini William ikut pergi meninggalkannya. Dengan lincah, William menuruni lintasan salju mengikuti si burung. Farrell sendiri berusaha melaju stabil agar tak terjatuh. Lintasan itu lebih curam dari lintasan bagian atas. Sekarang, dia mulai ragu apakah bisa berhenti tepat pada saatnya. Farrell pernah membaca beberapa artikel kecelakaan saat main ski. Dia jelas tak mau itu terjadi pada dirinya.
Ketakutannya berubah jadi kengerian saat dia melihat warna merah jambu di atas tumpukan salju. Dia mengenali scarf merah jambu yang diberikan bibi pada Libby tadi. Dia juga ingat benar kalau Libby memakai scarf itu hari ini. Dia bisa menebak dengan betul apa yang tergolek di atas salju itu.
“Libby!” seru Farrell memanggil adiknya.
Libby tergeletak di atas lintasan ski. William sudah berhenti di dekat Libby . Farrell perlu usaha ekstra untuk berhenti. Dia sendiri nyaris menabrak pohon saat melakukannya. Buru-buru, dia menyeimbangkan badan. Setelah melemparkan ski pole, melepas kacamata serta helm, dirinya bergegas menghampiri Libby.
“Libby, Libby!” Farrell bersimpuh di sebelah Libby dan memanggil lagi. Adiknya bergeming tak sadarkan diri. Farrell tak melihat cedera luar atau pun darah. Namun, itu tak lantas membuatnya tenang. “Libby…” Farrell mengguncang bahu adiknya pelan sambil memanggil namanya. “Libby.”
Dari balik kacamata ski, Farrell melihat mata adiknya bergetar.
“Libby…” Farrell memanggil namanya lagi selembut mungkin.
“Kakak…” suara Libby bergetar. “Aku takut.”
“Tenanglah, aku di sini.”
Libby bergerak pelan untuk bangun lalu duduk. Dia melepas kacamatanya. Air mata mengalir turun dari mata ke pipinya. Wajah dan hidungnya merah. “Tadi… Aku… Aku terpeleset…” Libby terisak.
“Apa ada yang sakit?”
“Lenganku…”
William berjongkok di samping Farrell. “Apa sakit kalau kamu gerakkan sekarang?”
Libby menggerakkan lengan kirinya perlahan. Dia menatap William dan menggeleng.
“Mungkin hanya memar,” kata William diakhiri senyum. “Kamu akan baik-baik saja.”
“Aku takut…” Libby terisak dan menjatuh diri dalam pelukan Farrell. “Aku… Aku mau pulang…”
Farrell mendekap adiknya. “Kita akan pulang. Tenang saja. Jadi, jangan menangis lagi, ya?”
Libby tak menjawab, dia masih menangis. Farrell tak mau memaksa adiknya berhenti menangis. Dalam pelukannya, dia merasakan badan Libby gemetar ketakutan. Badannya sendiri sekarang terasa tidak enak karena diserang rasa cemas. Sekalipun kelegaan mulai hadir pula di sana.
Farrell menoleh saat Christo datang mendekat, terengah-engah. “Apa yang terjadi?”
“Kurasa Libby jatuh.” William memberikan jawaban.
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu nggak menjaganya?” Christo protes pada rekan kerjanya. “Dan di mana Milo? Bukankah kalian seharusnya main ski bertiga?”
“Whoa, whoa, whoa… Sabar, sabar. Tadi Denise minta mereka berpencar. Jadi, Milo ke sana, Libby ke sini, dan… Farrell tetap di tempatnya,” kata William sambil melirik Farrell. “Jadi aku menemaninya bersama Denise. Kamu ingin aku membelah diri dan menemani mereka satu per satu?”
Christo kelihatan siap memberikan protes susulan, tapi dia mengurungkannya. Si burung hantu, Gizmo, terbang rendah lalu hinggap di pohon dekat dirinya berdiri. Christo menoleh ke arahnya datang tadi. Milo sedang meluncur ke sana. Sama seperti dirinya, Milo juga kaget.
“Libby kenapa?”
Tak menghiraukan pertanyaan Milo, Farrell malah balik bertanya. “Dari mana kamu?”
“Aku ke sana… Mungkin… Sepertinya begitu. Aku nggak begitu ingat. Yang kuingat hanya burung hantu itu menyerangku saat berhenti!” Milo menunjuk Gizmo di atas pohon. Si burung balik menatapnya dengan kepala miring. Milo mengepalkan tinju padanya. “Awas saja nanti!”
Farrell tahu ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sekitarnya. Tingkah laku Milo dan Libby, ucapan Denise, semuanya. Dia harus segera kembali untuk minta penjelasan. Dalam hal ini, paman dan bibi harus bisa memberi jawaban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Aku ikut penasaran
2022-08-16
1