Sebuah piring melayang mendekat dan salah satu pie naik ke atasnya. Piring ini membawakan dirinya pada Farrell. Tak mampu menolak, Farrell pun menerima dengan canggung. Berikutnya, sebuah garpu ikut datang padanya dan mendarat di atas piring. Sajian ini membuatnya membisu dan mematung di tempat. Setidaknya hampir semenit.
“Permisi, aku juga mau ambil itu.”
Farrell tersentak kaget.
Melihat reaksi Farrell, pria muda di belakang Farrell ikut terkejut. Dia mengedarkan pandangan sebelum bertanya, “Apa ada yang salah?”
“Ng— Nggak. Aku hanya… baru pertama kali… melihat yang seperti ini.” Farrell terbata-bata mengungkapkan perasaannya saat itu.
Si pria muda tertawa geli. “Aku punya satu saran untukmu. Berhati-hatilah saat memotong pie, kamu nggak mau lava di dalamnya melompat keluar dan melubangi bajumu.”
Farrell mengernyit. “Lubang?”
“Mungkin mereka menggunakan lava sungguhan saat membuatnya agar dapat rasa pedas yang khas. Aman dan enak untuk lidah tapi nggak untuk baju. Potong saja pelan-pelan.”
“Oke. Terima kasih infonya.” Farrell menekan pinggiran pie dengan sangat pelan. Ketika garpu mengiris pie tersebut, ada letupan kecil muncul dibarengi dengan suara desis pelan. Cairan merah kental mengalir keluar. Bagian dalamnya berisi daging cacah dan jagung juga wortel. Farrell memasukkan garpu bernoda cairan tersebut ke dalam mulutnya. Sangat pedas. Lidahnya merasakan campuran rempah-rempah serta panas. Panasnya naik ke hidung dengan cepat.
“Pedas, kan?”
Farrell mengecap. “Ya. Sangat pedas, tapi enak.”
“Jangan coba-coba makan ini di cuaca panas. Hahaha…”
“Kamu menginap di sini?” Farrell melanjutkan percakapan.
“Ya, kamar 207. Aku melihatmu saat datang kemarin.” Lawan bicaranya juga sudah mengambil pie dan mulai memotongnya.
“Kamu menyetir ke sini?”
“Benar sekali. Mobil SUV putih persis di sebelahmu. Oh ya, aku Vincent Elioscavea.” Pemuda tersebut mengulurkan tangan. Dia memiliki rambut coklat gelap dicat biru terang pada bagian ujungnya.
“Ya ampun, di mana sopan santunku.” Farrell buru-buru menyambutnya. “Farrell Eden.”
“Eden? Kamu…” Vincent membiarkan kalimatnya mengambang.
“Pamanku yang menjalankan hotel ini,” sambung Farrell.
“Oh, kebetulan sekali! Aku kemari untuk—”
“Permisi, tolong jangan ngobrol di depan sini! Kalian menghalangi tamu yang lain.” Pria lain datang pada mereka. Dia mengenakan jas hijau di atas vest senada dan kemeja hitam. Plakat namanya bertuliskan ‘Christo’. “Ada meja kosong di sana.” Christo melambai pada meja pada bagian lain ruangan. Orang sebelumnya baru pergi meninggalkannya. Kini piring-piring kotor sedang menumpuk diri satu sama lain untuk terbang bersama-sama ke belakang.
“Ups, maaf.” Vincent pun mulai beranjak pergi.
Sebelum Farrell bergerak, Christo menangkap lengannya dan berbisik, “Kamu nggak seharusnya ada di sini, Farrell Eden.”
“Aku—”
“Ikut denganku.” Christo melepaskan pegangannya dan melangkah pergi. Dia tak sekalipun menoleh ke belakang atau membiarkan Farrell merespon. “Ikut aku!” pintanya lagi ketika sadar kalau Farrell belum berjalan di belakangnya.
Farrell menoleh ke arah pemuda yang baru berkenalan dengannya. Vincent sepertinya tak keberatan kalau percakapan mereka terputus. Jadi, dia bergegas mengikuti Christo. Tangannya masih memegang piring berisi pie. “Bisa kamu jelaskan apa yang—”
“Terus jalan.” Christo tak berniat menjawab. Dia melangkah keluar dari ruangan tanpa menghiraukan siapa pun di sekelilingnya. Seperti sudah terbiasa, dia menunduk ketika ada sendok terbang lewat dan menghindar saat piring-piring mendekat.
Farrell hanya memperhatikan pegawai hotel itu dari belakang. Christo lebih tinggi darinya. Jemarinya kurus tapi terasa begitu kuat ketika mencengkram tadi. Tebakan Farrell, Christo berusia lebih tua darinya, mungkin sekitar tiga puluh bahkan lebih. Potongan rambutnya rapi, terpangkas habis pada bagian bawah. Dia bisa melihat anting perak polos di telinga kiri.
Christo memimpin menaiki tangga. Farrell mulai tak menyukai ide ini.
“Tunggu—”
“Kita sampai.” Lagi-lagi Christo tak memberinya kesempatan bicara. Dia berhenti pada lorong tempat Farrell masuk tadi.
“Tunggu sebentar…” Farrell mau melanjutkan protes. Namun, dia mendadak lupa kalimat awalnya ketika melihat wajah Christo. Wajah itu pernah dia lihat di suatu tempat sekalipun dia tak ingat di mana. Kalimatnya pun berubah, “Apa aku mengenalmu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Farrell tak yakin apakah dia pernah bertemu Christo di penginapan, sekalipun itu jawaban yang paling memungkinkan. Terakhir kali ke sana, Farrell masih di sekolah dasar. Dia tak yakin bertemu Christo saat itu. Kalau sekalipun benar, berarti Christo sudah bekerja saat usianya masih muda. Farrell mengamati Christo secara seksama dan mulai menerka-nerka bagaimana wajahnya saat muda. Mungkin dengan begitu, dia bisa mengingat di mana pernah bertemu Christo.
“Kupikir kita pernah bertemu sebelumnya,” ujar Farrell lagi.
Namun, bukannya ingat, mata Farrell malah menemukan hal menarik lain. Christo tak mengancing jasnya, jadi Farrell bisa melihat jelas aksesoris di baliknya. Ada rantai menggantung dari kancing vest menuju ke dalam kantung. Farrell penasaran apakah itu jam saku. Dia belum pernah melihat yang asli secara langsung.
“Kupikir ini saat yang tepat bagimu untuk pergi dari sini. Ini bukan tempatmu!”
“Hah?” Farrell tak menyangka Christo bicara seperti itu. Kalimat tersebut bukan hanya terdengar tak ramah, melainkan sebuah pengusiran. “Apa maksudmu? Aku menginap di sini. Bahkan, pamanku pemilik hotel ini. Aku hanya sedang mencari adik-adikku.”
“Mereka ada di restoran bagian depan. Di bawah situ. Kamu juga seharusnya berada di sana.”
“Aku nggak melihat mereka tadi.”
“Percayalah, mereka sudah ada di sana sekarang. Menunggumu.”
Farrell merasa kalau Christo mulai menyebalkan sekarang. Dia bukan hanya mengusir Farrell, dia mendesak Farrell menyetujui omongannya. Itu jauh lebih menjengkelkan. Christo mungkin tak benar-benar paham sedang bicara dengan siapa, pikir Farrell. Dia mungkin bukan pengadu, tapi paman harus tahu kalau salah satu pegawainya bersikap tidak sopan. “Biar kuluruskan, kamu ingin aku pergi?”
“Ya!” Christo mengambil piring dari Farrell dan lagi-lagi menarik lengannya.
“Tunggu—” Farrell tak berniat melawan sekalipun mungkin dia bisa. Itu hanya akan membuat keributan. Christo bersikap sangat kasar dan dia tak suka. Farrell menelan kejengkelannya. “Tunggu! Tidak bisakah kamu bersikap lebih baik? Kurasa pegawai hotel seharusnya bersikap ramah,” protesnya.
Christo membukakan pintu untuk Farrell. Separuh mendorong, dia melepaskan Farrell di depan pintu. Sebelum ada protes susulan, Christo pun bicara untuk terakhir kali sebelum membanting pintu. “Percayalah padaku. Aku melakukan ini untuk kebaikanmu.”
BLAM!
Farrell melongo beberapa detik di depan pintu. Ketika pikirannya selesai menyusun rangkaian kejadian, dia hanya bisa mendesah. “Ada apa dengannya?”
CKLEK!
Farrell terkejut lagi. Pintu kembali terbuka. Christo di sana. Tangannya masih membawa piring Farrell. Tanpa banyak bicara, dia menyodorkan piring Farrell, masih lengkap dengan pie dan garpu.
“Sekarang apa?” sahut Farrell cepat sebelum Christo memotong ucapannya.
“Membuang makanan itu nggak baik. Jadi, kamu seharusnya menghabiskan ini!” Christo menanti sampai Farrell menerimanya. “Jangan khawatir, akan kubereskan nanti. Letakkan saja di mana pun.”
“Meletakkan ini di mana pun?”
“Kalau kamu merasa terlalu pedas, ucapkan saja pialovovi.”
“Hah? Bilang apa?”
“Dan… jangan coba sekali-sekali melewati pintu ini lagi! Aku memperingatkanmu!”
BLAM!
Ini kedua kalinya Christo membanting pintu di depan Farrell. Farrell bisa merasakan kejengkelan naik ke ubun-ubun. Dengan tangan kanan memegang piring dan tangan lain terkepal, Farrell bersumpah. “Paman akan dengar soal ini!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
👍👍👍👍👍👍👍👍👍
😀😀😀😀😀😀😀😀😀
😎😎😎😎😎😎😎😎😎
2022-08-14
1