Semua berjalan begitu cepat. Farrell merasa tubuhnya mulai melambat. Sesuatu menahan jatuhnya. Gerakan angin lembut dari bawah melawan gravitasi. Sekalipun dingin dan ringkih, angin itu menerimanya seperti tangan raksasa. Semakin ke bawah, Farrell makin melambat. Kemudian, sesuatu mengantuk sepatunya. Berikutnya, gelombang angin mendadak lenyap. Gravitasi menariknya jatuh ke tanah. Untung dia sempat menahan dengan tangannya dan untung saja dia mengenakan sarung tangan. Kalau tidak, permukaan tanah kasar itu pasti monggores telapak tangannya.
“Christo!” Farrell memanggil dalam kegelapan. Suaranya bergetar karena cemas bercampur lelah.
Farrell mengharapkan jawaban, tapi sambutan yang muncul jauh berbeda. Cahaya remang muncul di sekeliling. Mereka berasal dari obor yang tergantung pada dinding lorong atau gua, lebih tepatnya. Farrell mendapati dirinya berada dalam ruangan kubah dengan dinding tidak rata, dihiasi stalagmit serta stalagtit, dengan satu jalan saja di belakangnya. Dia menemukan sosok putih kelabu di atas salah satu stalagmit tumpul. Gizmo, si burung hantu salju, hinggap di sana.
“Tempat apa lagi ini?” ujarnya lirih.
“Kamu bisa menyebutnya ruang bawah tanah.” Suara Christo terdengar tak jauh.
Farrell mengedarkan pandangan. Mudah menemukan warna hijau neon dalam situasi seperti ini. Warnanya berkilau di tengah cahaya remang api obor. Entah bagaimana bisa warna tersebut terpilih sebagai warna seragam penginapan. Christo duduk di salah satu sudut ruangan dekat jalan keluar. Sama seperti Farrell, napasnya masih terengah-engah. Tangan kanannya memegangi lengan baju kiri yang kotor kecoklatan.
“Kamu terluka,” ujar Farrell. Dia tahu noda coklat di baju tersebut berasal dari darah.
“Hanya tergores.”
“Kalau begitu, kita harus segera pergi dari sini. Dua orang tadi bisa mengejar kita—”
“Kita aman di sini. Untuk sementara. Bahkan pamanmu nggak tahu soal jalan rahasia ini.”
Farrell terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Kejar-kejaran itu bukan hanya melelahkan secara fisik tapi juga mentalnya. Dia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tahu-tahu sekarang dia ada di ruang bawah tanah bersama Christo yang terluka. Farrell melirik luka Christo lagi. “Banyak darah yang keluar.”
“Mungkin lukanya lebar.” Christo menjawab singkat seolah tak mau membahasnya. Dia mendongak saat Farrell mendekat. “Luka ini bukan luka serius. Nggak perlu mencemaskanku.”
“Ya, tapi setidaknya kita perlu membebatnya.”
“Kamu benar.” Christo mengangguk. Saat Farrell berniat mengambil sapu tangan, Christo sudah melepas dasinya. Dia menggigit satu sisi dasinya dan berusaha melilitnya ke lengannya sendiri.
“Itu nggak akan berhasil. Biar kubantu.” Farrell berjongkok. Dia mengambil sapu tangan lalu menekannya pada luka. Darah membasahinya dengan cepat. Farrell meninggalkan sapu tangannya di sana dan membelitnya dengan dasi. “Semoga pendarahannya cepat berhenti.”
“Aku baik-baik saja. Bukan masalah besar. Ini hanya cedera kecil,” kata Christo lagi.
Farrell beralih dan duduk di samping Christo. Matanya melayang ke atas. Dia tak mampu melihat apa yang ada di atas sana. Hanya ada dinding yang menjulang tinggi ke atas. Sinar obor tak mampu menggapainya. “Christo, kurasa aku berhutang padamu. Terima kasih.”
“Nggak usah dipikirkan.”
“Dan kamu berhutang penjelasan padaku.”
“Penjelasan seperti apa yang kamu mau?”
“Semuanya.”
Christo mendengus. “Itu akan makan waktu sangat lama.”
“Nggak masalah. Kupikir kita punya banyak waktu sekarang.”
“Kamu salah. Kamu nggak punya banyak waktu.”
“Kalau begitu, ceritakan padaku semuanya secara singkat, dimulai dari tempat apa ini. Kamu bilang, sisi penginapan ini adalah dunia lain. Apa itu sebabnya kenapa ada perbedaan waktu?” Farrell ingat jelas meninggalkan kamarnya siang hari. Tapi, begitu melintasi pintu bersama Milo, dia melihat malam menaungi penginapan.
“Ini memang dunia lain. Dunia sihir. Perbedaan waktunya dua belas jam persis. Di sini, semua diatur menggunakan sihir. Kami punya supplier untuk berbagai macam hal. Peralatan makan yang bisa mengatur diri mereka sendiri, bahan makanan langka, lukisan yang bisa membawamu melihat ke lokasi sesungguhnya, gembok yang bisa bicara, kertas dan pena transparan, banyak hal. Orang-orang yang menginap di sini memang kebanyakan penyihir.”
Farrell menarik napas dalam-dalam. “Oke. Jadi, ini dunia sihir. Pintu di lantai tiga, yang tadi kulewati bersama Milo menghubungkan dunia biasa dengan dunia sihir. Begitu? Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Kedua dunia ini memang terhubung secara paralel. Untuk berpindah, seseorang harus melewati portal. Beberapa penyihir yang luar biasa kuat bisa membuat portal sendiri. Tapi, penyihir biasa tidak. Mau tidak mau, mereka harus mencari portal yang sudah terbentuk dengan sendirinya. Portal alami. Eden’s Lodge punya satu. Para penyihir membuatnya berupa pintu biasa.”
Farrell ingat soal asap menari pada prisma di depan pintu. Menurutnya, prisma ini tidak membuat pintu tadi berada dalam kategori pintu biasa. “Jadi, itu yang membuat Eden’s Lodge berbeda dari penginapan biasa?”
“Tepat.”
“Aku pernah mendengar dari ayah mengenai masa lalu Eden’s Lodge. Penginapan itu dulu merupakan pondok liburan kakek. Saat kakek meninggal, ayah dan paman ke sana untuk beres-beres. Lalu, entah bagaimana kelanjutannya hingga mereka merombaknya jadi penginapan,” gumam Farrell pelan. “Itu pasti karena mereka menemukan pintu ke dunia sihir.” Farrell terdiam. Dia tak pernah menyangka kalau penginapan yang dulu dikelola ayahnya punya keistimewaan seperti itu. Selama ini dia mengira penginapan mereka hanya penginapan terpencil di bukit bersalju.
“Ayahmu sering berkunjung ke dunia sihir. Dia tertarik dengan dunia ini dan akhirnya memutuskan berbisnis memanfaatkan pintu itu. Di kalangan penyihir, Eden’s Lodge cukup populer. Sejak pertama kali buka, kami selalu kedatangan tamu. Banyak tamu. Semua kamar hampir selalu terisi. Benar-benar masa kejayaan.” Christo membiarkan tatapannya melayang ketika membayangkan.
“Bagaimana dengan sekarang? Aku melihat banyak tamu kemarin.”
Christo tersenyum tipis. “Sisi penginapan di dunia sihir ini jauh lebih besar dari bayanganmu. Kami bahkan membaginya jadi dua bagian. Utara dan Selatan. Kami punya lima puluh kamar dan ruang makan di setiap bagian. Yang kamu lihat kemarin hanya bagian Selatan saja. Bagian Utara sudah nggak pernah digunakan karena pengunjung menurun.”
“Lalu lintas ke dunia satunya berkurang?”
“Mungkin. Tapi, kalau ditanya alasan utamanya, aku akan menyalahkan pamanmu.”
“Pamanku? Kenapa?”
“Pamanmu hanya terfokus pada uang. Itu kesalahan besar seorang manager sekaligus pemilik hotel. Hotel seharusnya menawarkan keramahan. Pamanmu menaikan tarif kamar tapi mengurangi banyak servis. Saat ada komplain, pamanmu malah menyerang mereka. Dia tak mau mendengar masukan dari para staff. Asalkan tidak merugi, pamanmu menutup mata.”
“Bagaimana dengan Denise? Siapa dia?”
“Sejauh yang kutahu, dia teman pamanmu. Aku pernah mendengar percakapan pamanmu dengannya. Denise ingin membeli Eden’s Lodge dengan harga yang sangat tinggi. Beritu buruknya, pamanmu setuju.”
“Itu konyol. Aku nggak pernah dengar apa pun soal ini,” sahut Farrell. Dirinya memang tidak pernah ikut membesarkan atau mengelola Eden’s Lodge. Tapi, kalau memang paman ingin menjualnya, setidaknya dia harus minta pendapatnya serta adik-adiknya. Penginapan itu jelas bukan milik pribadi paman.
“Percayalah padaku, dia punya rencana jahat di balik tawarannya.” Christo menoleh pada Farrell, memastikan keseriusan ucapannya. “Denise bukan hanya memperlakukan semua orang dengan buruk. Dia juga rela meracuni kalian dengan ramuan agar menurut padanya. Denise memberikan serbuk ramuan pada Remy dan memerintahkan untuk mencampurkannya pada makanan kalian. Eksperimennya pada kudapan pertama kalian tergolong sukses besar.”
“Chocolate maple bar?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Nenek sihir
😈😈😈
2022-08-16
1