TOK! TOK!
Ketukan di pintu mengejutkan Farrell. Dia bergegas ke pintu kamar dan membukanya. Di depan kamar, berdiri Remy, si koki. Dia tak lagi mengenakan jas hijau, tapi baju koki putih tetap dengan label nama di sebelah kanan. Tangan kirinya membawa baki dengan penutup setengah lingkaran, keduanya terbuat dari stainless steel. Perabotan itu pasti dibersihkan sedemikian rupa hingga mengilap. Farrell bisa melihat pantulannya sendiri di sana.
“Ma— Maaf. A— A— Aku— Aku nggak— Aku nggak berniat mengganggu.” Remy menelan ludah, Farrell hanya menatapnya sambil menunggu. “Aku hanya— hanya— hanya… Ehm…”
Farrell masih menanti lawan bicaranya melanjutkan.
“Hanya… Ha— Hanya mau membawakan ini.”
“Itu untukku?”
“Iya. I— Itu— pun kalau kamu mau.”
“Memang apa isinya?”
Remy pun membuka penutup. Isinya potongan persegi chocolate maple bar. Dari penampilan, bentuknya sama persis dengan yang disuguhkannya tadi ketika mereka menikmati afternoon tea. Farrell tak berani menebak dan Remy juga masih kebingungan mencari kalimatnya. Sesudah melewati beberapa detik penuh kecanggungan, Remy menarik napas dalam-dalam, menelan ludah, dan kembali bicara. “Ini nggak mengandung kelapa. Tanpa kelapa. A— Aman. Kujamin.”
“Kamu membuatnya lagi? Untukku?”
Remy menangguk. “I— Iya. Tadi… Maksudku… Kamu nggak bisa ma— makan yang tadi. Ja— Jadi… aku membuatkan yang baru.”
“Wow. Terima kasih banyak.”
“Ka— Kamu mau— Kamu mau memakannya?”
“Tentu saja.” Farrell mengambil satu dan langsung menggigitnya. Milo nggak bohong saat mengatakan kalau bar itu enak. Farrell setuju. Rasanya memang enak. Pahitnya coklat dan manisnya maple menari dalam mulutnya. “Hmm… Ini memang enak.”
“Be— Benarkah? Aku takut…” Remy terdiam.
“Takut? Kamu takut rasanya nggak enak? Ini sangat lezat. Kamu berbakat masak, ya?” Farrell tersenyum dan mendapat senyum balasan. “Kurasa aku bahkan bisa menghabiskan itu semua.”
“Si— Silahkan saja!” Remy tersenyum lebih lebar dan meyerahkan nampan beserta penutupnya pada Farrell. Kemudian, dia pamit untuk kembali ke dapur.
Farrell kembali pada pekerjaannya. Dia menghabiskan waktu cukup lama ditemani chocolate maple bar. Dia sudah makan lima, masih ada tujuh lagi. Ketika melihat jam, hari sudah malam. Matahari telah terbenam. Kegelapan menaungi penginapan. Saat mematikan laptop, terdengar ketukan di pintu lagi. Farrell membukanya. Kali ini dia menemukan William.
“Selamat malam, Farrell. Aku hanya mau memberi tahu makan malam sudah disediakan di restoran. Pak Albert menanti kalian di bawah.”
“Baiklah. Oh ya, kamu lihat adik-adikku?”
William menggeleng.
“Oke, aku akan mencari mereka sebelum turun ke ruang makan.” Farrell mengambil scarf hitam, melingkarkannya dua kali di leher, dan membiarkan ujungnya jatuh di atas sweater biru.
Suhu malam itu jauh lebih dingin lagi padahal tak ada salju turun. Dia tak bisa membayangkan seandainya badai datang. Mungkin mereka bisa jadi boneka salju di atas ranjang.
Hal pertama yang dilakukan Farrell begitu keluar dari kamar adalah mengecek jendela di ujung lorong. Pemikiran bodoh, dia tertawa pada dirinya sendiri. Mustahil melihat adik-adiknya dari sana. Hanya ada kegelapan dan cahaya-cahaya kecil di sekitar penginapan. Lagipula, dalam kegelapan dan udara sedingin ini, Farrell yakin Milo tidak akan mengajak Libby ke sana. Mungkin keduanya malah sudah turun ke ruang makan.
Ternyata pemikirannya salah. Restoran tersebut sepi. Makanan sudah tersedia di meja panjang yang disusun di tengah restoran. Sup, rolade daging, sayuran, roti, buah, dan banyak lagi. Hanya itu. Tak ada seorang pun di sana, tak ada paman, tak ada pelayan. Farrell baru teringat kalau dia belum bertemu bibinya. Paman tidak mengatakan apa pun soal bibi mereka dan tak seorang pun juga bertanya.
Farrell meninggalkan restoran untuk mendatangi meja resepsionis. Sama seperti restoran, tak ada seorang pun di sana. Dia pun memutuskan masuk ke lorong di belakang meja resepsionis berharap menemukan pegawai lain atau pamannya atau — lebih baik — adik-adiknya.
Dia menyusuri lorong. Pintu di sebelah kanan punya tulisan ‘Office’ di bagian depan. Farrell mencoba mengetuk tapi tak mendapat jawaban. Ketika mencoba membukanya, rupanya terkunci. Tentu saja. Ada pula pintu kembar di sebelah kanan, menuju dapur. Dia mengintip melalui kaca bulat. Tak ada Remy di sana. Hanya ada noda coklat dan bekas adonan putih di atas meja stainless. Mendadak, Farrell teringat cerita orang di pondok soal serigala. Dia pun membuang jauh-jauh firasat buruknya lalu beranjak lagi. Pintu berikutnya ada di sebelah kiri bertuliskan ‘Laundry’. Pintu itu terbuka dengan mudah saat Farrell membukanya. Namun, lagi-lagi tak ada seorang pun di sana. Hanya ada tumpukan kain dalam keranjang disertai aroma wangi lembut.
Pintu terakhir ada di ujung lorong, pintu belakang. Pintu itu dihiasi ornamen kaca warna-warni. Farrell bisa melihat bayangan salju di balik kaca. Tak terkunci. Farrell mengintip keluar. Dia melihat halaman paving dengan bangunan berlubang untuk api unggun di tengah. Sama persis dengan pemandangan dari atas kamarnya.
“Di mana semua orang?” tanyanya pada diri sendiri.
Farrell pun naik kembali ke kamar. Dia menyusuri lorong lain di lantai dua. Lorong itu memiliki banyak pintu kamar. Setiap pintu menunjukkan nomor kamar masing-masing. Farrell tak berniat mengetuk, jadi dia memilih opsi lain. Ada tangga di dekat ruang duduk. Dia menaiki tangga dan tiba di lantai tiga.
Sama seperti lantai dua, ada ruang duduk lain dengan susunan lorong sama persis. Kamar 301-306 di lorong sebelah kiri sementara kamar nomor 307-312 di sebelah kanan. Perbedaan jumlah kamar membuat Farrell penasaran. Dia pun menyusuri lorong sebelah kanan. Pintu-pintu kamar menyambutnya di kedua sisi. Dimulai dari pintu kamar 307 dan 312 di seberangnya. Berakhir dengan pintu 310 di sisi kiri berseberangan dengan lorong buntu. Lorong tersebut gemuk tapi pendek. Pintu besar menempel di sana.
Farrell melipat tangannya di depan dada. “Kenapa mereka nggak menggunakan ini untuk kamar sama seperti di lantai dua? Ruangan apa ini?”
Kini, dia mulai mengamati pintunya. Pintu selebar satu meter dengan ukiran pada tepinya. Ukiran itu menggunakan tanaman rambat sebagai motif dengan daun dan bunga. Ada pula bola-bola kaca bening berbagai ukuran menempel di sana. Farrell tak menemukan kenapa bola-bola tersebut disusun demikian. Mereka seperti diletakkan asal-asalan. Badan pintu terbuat dari kayu coklat pekat cenderung hitam. Ada lekukan sederhana dekat ukiran. Sementara bagian tengah pintu dihias dengan prisma segidelapan warna hijau terang.
Farrell menyipitkan mata. Dia berani bersumpah barusan melihat sesuatu dalam prisma tersebut bergerak. Seperti ada cairan di dalamnya, tapi lebih tipis. Mungkin sebutan asap terdengar lebih tepat. Asap putih bergeliat di dalam prisma, menari di tengah, berputar berkeliling, lalu lenyap. Penasaran, Farrell mendekatkan wajahnya. Asap itu muncul lagi. Menggeliat di dalam prisma seperti tertiup angin, berputar-putar, lalu lenyap. Hanya saja kali ini lebih lama. Kejadian ini berulang beberapa kali.
Rasa ingin tahu bergelut dengan rasa cemas dalam hati. Setelah semenit berpikir baik-baik, Farrell memutuskan membuka pintu. Disentuhnya gagang pintu berukiran dan didorongnya. Pintu itu jauh lebih berat dari kelihatannya. Seperti kata paman sebelumnya, Farrell hanya perlu membuka mata lebar-lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Apa ya?
2022-08-14
1