Farrell menyusuri jalan kembali ke ruang makan. Ketika masuk ke ruangan, dia melihat Remy baru saja kembali ke dapur melalui lorong dekat meja bar. Sementara, masih sama seperti tadi, dia tak menemukan seorang pun. Farrell pun mengikuti Remy ke dapur.
Di sana, Remy membelakanginya. Dia nampak sedang menyiapkan pie buah. Remy menyusun aneka potongan buah di atas pie. Dimulai dari strawberry, kiwi, lalu jeruk. Setelahnya, dia mengambil sebuah tempat kecil seperti tempat garam dari kaca transparan. Di dalamnya berisi serbuk warna magenta menyala seperti glitter. Remy menaburkannya ke atas pie. Kilau magenta berpendar sebentar lalu lenyap tak bersisa seolah tak pernah jatuh di atas buah. Barulah Remy menaburkan gula halus di atasnya. Demikian pula dia lakukan pada pie berikutnya.
Sampai akhirnya Remy sadar akan kehadiran orang lain di sana. Dia buru-buru berbalik, langsung tersentak kaget ketika melihat Farrell di ujung dapur. Matanya lebih terbelalak lagi saat mendapati volcano pie di tangan Farrell. Mulutnya terkesiap, seolah hendak mengatakan sesuatu tapi dia telan lagi. Sebagai ganti, dia mencengkram meja dapur di belakangnya.
“Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu,” kata Farrell duluan. “Aku hanya penasaran di mana semua orang. Tadi, William bilang kalau makan malam sudah disiapkan. Sayangnya aku nggak melihat siapa pun di sana.”
Mata Remy berputar ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.
“Kamu tahu di mana paman dan adik-adikku?” tanya Farrell lagi.
Remy menelan ludah sebelum bicara, “Mu— Mungkin… Ehm… Mungkin… Mungkin sedang jalan-jalan dengan Nyonya De— Denise.”
“Denise?” Farrell ingat jelas kalau itu bukan nama bibinya.
“Ehm…” Remy terdiam lagi.
“Salah seorang tamu di sini?”
“I— I— Iya. Te— Teman pak Albert,” Remy tergagap menjawab. Nampak ketakutan karena menyembunyikan sesuatu.
Farrell mengangguk. “Mereka jalan-jalan ke mana?” tanyanya sambil melirik ke luar. Salju mulai turun lagi. Mereka mengotori bingkai jendela dan menodai hitamnya langit malam. Nuansa ini jauh berbeda dengan ruang makan besar yang dilihatnya beberapa saat lalu.
“E— E— Entahlah. Mu— Mungkin— Mungkin— Mungkin sedang mencari di— di— di tempat parkir?” Remy menelan ludah lagi saat Farrell mengernyit. “Me— Mereka pasti se— segera kembali. Ja— Jangan khawatir. A— Apa ada… sesuatu yang ingin kamu makan sambil menunggu mereka?”
Farrell menggeleng. “Akan kuhabiskan ini saja sambil menunggu,” katanya seraya menunjukkan pie. Farrell berbalik. Dia yakin sekali mendengar desah lega dari Remy.
Farrell kembali ke ruang makan. Dia menempati meja di bagian ujung. Matanya mengamati pemandangan di luar. Dari posisinya, dia bisa melihat dengan jelas posisi tempat parkir. Dia bisa melihat air mancur, mobilnya sendiri, juga mobil SUV putih tepat di sebelah. Sementara itu mobil jeep hitam paman menghilang dari tempatnya. Farrell menebak mungkin pamannya pergi menjemput bibi atau jalan-jalan bersama Denise. Lalu, di mana Milo dan Libby? Mungkinkah mereka juga bersama paman? Seandainya ada sinyal di sini, Farrell pasti sudah menelepon mereka.
Muncullah William di depan pintu restoran. Dia menghampiri Farrell dan melempar senyum ramah khas pegawai hotel, “Maaf, baru saja ada pesan dari Pak Albert. Dia memintamu menunggu sebentar karena mereka sedang dalam perjalanan kemari.”
“Mereka sedang pergi keluar? Bersama Denise?”
Raut wajah William sedikit berubah ketika mendengar nama Denise. “Oh, kamu sudah bertemu dengannya? Ya. Tadi Milo ingin pinjam beberapa peralatan ski untuk foto. Sayang sekali, kami nggak menyimpannya lagi. Jadi, sebagai ganti, Pak Albert dan Denise mengajaknya keliling untuk foto pemandangan.”
“Oh. Ngomong-ngomong, bagaimana paman bisa memberitahu kalau dia sedang dalam perjalanan? Kukira nggak ada sinyal di sini?”
“Memang. Jadi, kami menggunakan burung. Ya, sekalipun sebenarnya Pak Albert punya telepon satelit.”
Kepala Farrell membayangkan sosok putih burung hantu. “Baiklah, akan kutunggu mereka sambil menghabiskan pie ini.” Farrell kembali memotong pie. Lidahnya masih mengecap rasa pedas bercampur kelezatan olahan daging. William memperhatikan dengan seksama, bukan memperhatikan dirinya, melainkan memperhatikan pie di piring. “Ya? Apa ada lagi?” Farrell balik menatapnya.
William menggeleng. “Selamat menikmati.”
Farrell melihat kedatangan tamu lain setelah dia menghabiskan pie pedas tersebut. Dua pria bertubuh besar seperti binaraga. Keduanya datang ketika dia meletakkan piring dan mengambil air minum sebagai gantinya. Mereka sama-sama gundul tapi satu di antaranya punya kumis tebal. Mereka mengenakan kacamata hitam dan jaket puffer coklat. Meski hanya sebentar, Farrell bisa merasakan tatapan intimidasi dari keduanya. Acuh, Farrell kembali ke mejanya sendiri dan tak memedulikan kedua orang tersebut yang mulai mengambil makanan.
Dia menghabiskan waktu beberapa menit mengamati interior restoran. Dinding ruang makan dibuat dengan baik dari potongan-potongan kayu besar. Sebagai hiasan, ada sebuah tanduk rusa di satu sisi dan kulit beruang di sisi lainnya. Secara pribadi, Farrell lebih suka kalau restoran ini menambahkan beberapa lukisan atau foto.
Berselang sepuluh menit kemudian, sebuah sinar dari luar menarik perhatian Farrell. Sinar kuning tersebut berasal dari mobil jeep hitam. Mobil itu melewati air mancur dan berhenti tepat di depan penginapan. William bergegas keluar untuk menyambut. Keluarlah Millo dan Libby dari pintu belakang. Juga seorang wanita asing dari pintu depan. Lalu, setelah mobil parkir di tempat semula, keluarlah paman. Paman separuh berlari menuju ke pintu masuk karena tak mau kedinginan.
Begitu masuk ke dalam restoran, Milo dan Libby langsung menghampirinya. Pandangan Farrell beralih dari adiknya pada si wanita. Wanita itu bertukar pandang pada kedua pria bertubuh besar sambil tetap berjalan ke arahnya.
“Kamu seharusnya ikut bersama kami tadi,” sahut Libby sambil menarik kursi.
“Ke mana?” tanya Farrell.
“Paman mengajak kami berkeliling untuk membuka mata lebar-lebar dan mengamati sekeliling-”
“-untuk menemukan hal-hal luar biasa!” Milo menyambung ucapan adiknya.
“Dan apa yang kalian temukan?” tanya Farrell lagi. Libby menggeleng. “Kamu nggak menemukan hal menarik?” lanjut Farrell.
“Kami melihat lintasan ski, jalan bersalju, pohon bersalju. Seluruh tempat ini dipenuhi salju,” sahut Milo. “Oh, aku bertemu burung peliharaan paman. Mereka kelihatan galak tapi lebih ramah dari kelihatannya. Paman bahkan membiarkanku memegang mereka setelah memakai sarung tangan.”
“Burung hantu, ya?”
“Bukan. Kata Denise, itu burung elang jenis goshawk. Ada dua, Bailey dan Barney. Paman melatih mereka agar bisa mengirim pesan. Mereka pintar.”
Wanita itu pun tiba di sana dan ikut bergabung. “Hai, kamu pasti Farrell Eden. Adikmu banyak cerita tentangmu. Aku Denise, sahabat pamanmu,” katanya memperkenalkan diri.
Merasa tidak sopan, Farrell pun berdiri. “Hai,” katanya sambil menjabat tangan Denise.
“Kuharap kamu nggak keberatan kalau aku bergabung.”
“Tentu saja nggak, silahkan.” Farrell mempersilahkan Denise bergabung makan malam di meja itu. “Kurasa kita butuh kursi tambahan.” Farrell menarik kursi di sebelah, menyiapkannya untuk paman. “Apa kita perlu menambah meja juga?”
“Nggak perlu. Menambah meja, menambah jarak antara kita. Padahal aku ingin dengar banyak cerita kalian. Benar ‘kan Libby?”
Libby mengangguk pelan, seolah enggan menjawab.
Ketika paman datang, mereka pun mulai makan malam bersama. Seperti biasa, Milo dengan semangat menceritakan tentang kemenangannya pada pertandingan beberapa saat lalu. Farrell berani bertaruh kalau adiknya sudah menceritakan itu di mobil. Sementara dirinya dan Libby memilih banyak diam. Paman banyak menceritakan soal Denise. Bagaimana mereka bertemu di sebuah acara seminar dan betapa ahlinya Denise mengatur bisnis.
Selesai makan malam, Denise pamit kembali ke kamarnya, 304, persis di atas mereka. Farrell dan kedua adiknya juga kembali ke kamar. Dia ingin tidur cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Inikah penjelasan soal burung hantu itu..?
2022-08-14
1