Ski

Farrell tak menggubris ucapan tersebut. Dia meninggalkan Christo tanpa bicara apa pun. Selagi Christo membereskan piring yang sudah selesai mereka gunakan, Farrell bergabung dengan paman dan bibinya juga Denise. Ternyata bibi punya hadiah untuk mereka selain scarf, jaket, dan topi.

“Libby sudah dapat boneka kemarin, tapi kalian belum dapat apa-apa. Jadi, ini untukmu dan satu untukmu,” kata bibi sambil menyerahkan masing-masing satu kotak pada keponakan laki-lakinya. Kotak tersebut tidak begitu besar. Berwarna hitam dan terbuat dari plastik.

“Terima kasih.”

Keduanya membuka kotak tersebut tapi Farrell bisa menebak apa isinya. Jam tangan.  Sebuah arloji bundar dengan rantai stainless steel hitam. Bagian tengahnya berwarna hitam dan punya tiga lingkaran kecil. Jarum jamnya besar, putih di bagian ujung. Arloji Farrell sedikit berbeda dari milik adiknya. Punya Milo lebih besar dengan warna jarum jam kuning. Farrell dan Milo langsung mengenakan jam tersebut atas permintaan bibi.

“Sangat cocok! Bagaimana menurutmu, Libby?” tanya paman.

“Bagus,” gumam Libby pelan.

“Oh, sayang. Bibi nggak lupa padamu, kok. Aku hanya sedang menggodamu.” Bibi tertawa kecil sambil mengeluarkan kotak yang lain. “Ini untukmu. Ayo coba dipakai.”

Libby tersenyum sembari membuka kotaknya. Di dalam kotak ada jam tangan merah jambu. Talinya dibuat dari kulit. Ada gambar kelinci di bagian tengah agak ke pinggir. “Terima kasih, bibi.”

“Nah, semua sudah dapat hadiah mereka. Sekarang cepat habiskan makanan kalian dan kita akan mencoba peralatan ski!” pinta paman. “Denise berbaik hati merekam aksi kalian nanti.”

 

 

Selesai sarapan, mereka meninggalkan restoran. Farrell melihat beberapa orang turun dari tangga. Dua wanita dan satu pria. Kelompok ini mengacuhkan mereka dan keluar lewat pintu depan. Di belakangnya, ada kelompok lain. Seorang kakek dan nenek. Farrell mengenali nenek tersebut. Mereka bertemu di ruang makan besar. Namun, nenek tak melihatnya. Pasangan ini pun keluar dari pintu depan. Sebuah mobil van hitam yang parkir di depan memuat mereka semua dan meninggalkan penginapan.

“Sayang sekali mereka melewatkan sarapan padahal makanannya enak,” celetuk Libby.

“Mereka sarapan di tempat lain,” kata Farrell lebih kepada dirinya daripada Libby.

Mereka pergi ke lintasan ski bagian belakang. William dan paman membantu mereka mengenakan pakaian ski. Jaket, sarung tangan, helm, kacamata, dan banyak lagi.

“Sayang sekali ya, pakaian ini hanya dipakai untuk foto,” desah Milo sambil mengenakan jaketnya.

Paman tertawa. “Kamu pikir aku membawakan kalian semua peralatan ini untuk foto? Tentu saja tidak!” Paman mengajak Milo mendekat ke lintasan ski. “Aku sudah memperbaiki lintasannya untuk kalian agar bisa langsung mencoba.”

“Wow! Bagaimana paman bisa—”

“Ssst… Rahasia perusahaan. Tak usah dipikirkan,” sahut paman. “Aku akan melakukan apa pun untuk kalian, keponakan kesayanganku. Menyiapkan liburan, membuatkan makanan favorit kalian, bahkan memperbaiki lintasan ski. Ini hal mudah. Hahahaha…”

Farrell mengernyit. Dia tak percaya apa yang baru didengarnya. Setelah mengenakan boot ski, dia pun berjalan perlahan ke sisi Milo. Benar kata paman, lintasan tersebut seperti baru. Tak ada kotoran, tak ada sampah, tak ada potongan kayu. Hanya ada lintasan ski seperti sutra perak jatuh dari langit berhiaskan guratan-guratan teratur.

Paman tersenyum sambil melirik William. “Paman bahkan punya instruktur bertaraf internasional, William. Dia akan membantu kalian dan mengajari bagaimana dasar-dasar bermain ski.”

“Instruktur bertaraf internasional?” Gantian Milo mengernyit.

William tergelak dari belakang. Dia menghampiri mereka sambil membawakan ski pole untuk Milo dan Farrell. “Pak manager terlalu memuji. Aku hanya pernah ikut pelatihan atlet ski lokal bukan internasional. Hanya sebentar. Aku tereliminasi.”

“Bukan, bukan,” sahut paman. “Dia lebih memilih bekerja di sini karena suka dengan penginapan ini.”

William tak berniat menyatakan persetujuan. Dia tertawa lagi. “Aku nggak akan melarang Anda berpikir seperti itu. Silahkan saja.”

Paman terbelalak. Farrell tersenyum geli. William terlalu santai. Dia memperlakukan dirinya dan adik-adiknya seperti teman bukan tamu apalagi pemilik. Dia tak mendukung perkataan paman hanya karena paman adalah atasannya. Ramah dan apa adanya. Bibi tepat ketika bilang William beda sekali dengan Christo. Insting Farrell mengatakan kalau mereka musuh alami.

Paman beralih pada Libby. “Kenapa kamu belum pakai peralatan ski?”

Libby menggeleng. “Haruskah?”

Denise tersenyum pada Libby dan menunduk, menyamakan tatapan mereka. “Apa kamu takut?” Libby mengangguk. Masih tersenyum, Denise bertanya, “Apa kamu nggak mau membantu kakak-kakakmu mencarinya?”

Hal ganjil terjadi lagi. Libby menatap Denise tapi matanya tidak terfokus pada wanita itu. Dia seolah menerawang jauh di belakang Denise. Libby mengangguk. Dia berjalan pelan pada William dan mulai mengenakan pakaian ski.

Setelah semuanya mengenakan perlengkapan mereka, barulah William mengajarkan mereka cara bermain ski. Hal pertama yang dia ajarkan adalah cara berhenti. William menekankan itu salah satu hal krusial. Dia juga mengajarkan bagaimana caranya bangun seandainya mereka jatuh. Dengan pole dan sepatu ski, bangkit dari jatuh butuh cara khusus. Lalu, dia mengajarkan bagaimana caranya bergerak di atas salju. Dia memberikan mereka teorinya lebih dulu barulah memberikan memberikan contoh.

William meluncur di atas lembah landai dan berhenti setelah beberapa meter. Dia pun meminta ketiganya mencoba. Milo yang pertama kali mencoba. Seolah sudah terbiasa melakukannya, Milo meluncur mulus di lintasan ski dan berhenti di sampingnya. William berdecak kagum. “Pendaratan sempurna.”

“Kamu bisa bilang itu lagi.” Milo tersenyum bangga. “Aku bisa memikirkan jadi atlet ski kalau gagal jadi atlet basket.”

Libby yang kedua. Tidak semulus Milo, tapi termasuk bagus. Sekarang dia ikut bersemangat seperti Milo. Farrell terakhir. Sama seperti adiknya, dia juga melakukannya dengan baik. Paman dan bibi tidak ikut dengan mereka. Keduanya menunggu di atas. Hanya Denise dan William yang memandu mereka. Melakukan tugasnya, Denise mengambil foto mereka bersama juga merekam beberapa video.

“Bagaimana cara kita naik lagi?” tanya Milo sambil melihat ke lintasan ski. Lintasan itu terbentang panjang ke bawah. Dia tak bisa melihat di mana ujungnya. Hanya tumpukan salju diapit dengan pepohonan bersalju dan salju lainnya.

“Christo sudah bersiap di bawah. Dia menyalakan ski lift. Kita bisa kembali ke penginapan dengan itu. Jangan khawatir.”

Milo mengedarkan pandangan setelah membuka kacamata ski. Dia melihat tiang-tiang kokoh melintang agak diagonal di tepi lintasan. Tiang tersebut memuat kabel tebal ski lift. Kalau Christo ada di bawah, harusnya ada tempat menunggu di bawah sana. Seperti bilik ski lift atau bangunan yang lebih besar. “Apa ada pondok lain di bawah sana?” tanya Milo.

William menggeleng. “Dulu ya, sekarang tidak. Kami dulu menyajikan minuman hangat di sana. Tapi, memperbaiki pondok dan lintasan ski dalam semalam ternyata mustahil. Jadi kami fokus pada lintasannya saja. Tidak ada apa-apa di bawah sana.”

“Kukira biasanya penginapan ada di bawah lintasan ski.”

“Eden’s Lodge memang berbeda dari penginapan biasa. Bangunan ini dibangun dengan menyesuaikan sisi satunya. Kalau kalian mengerti maksudku. Hehehe,” William melirik ke penginapan. “Nah, siap untuk level selanjutnya?”

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Sisi yg membuat penasaran
😕😕😕

2022-08-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!