Other Side

Di kamar, Farrell melihat lebam di lengan adiknya. Bukan berita bagus, tentunya. Tapi, Farrell cukup bersyukur kalau adiknya hanya mendapat luka ringan saja. Tak ada tulang retak atau patah. Dia tak bisa membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu lebih buruk pada adiknya. Milo pasti merasakan kecemasan yang sama. Tanpa disuruh, Milo meminta teh hangat untuk Libby. Sementara Libby sendiri sepertinya masih trauma. Dia hanya diam sedari tadi tanpa berani bicara apa pun.

“Hei, Toto merindukanmu.” Milo mengambil boneka kelinci dari ranjang dan membawakannya pada Libby.

Libby meraih boneka itu dari kakaknya dalam keheningan. Dia duduk di sofa sementara Farrell sedang mengompres lengannya.

“Apa rasanya masih sakit?” Milo bertanya lagi, berharap adiknya mau bersuara. Libby menggeleng tanpa bicara apa pun. “Apa ada yang kamu inginkan? Kue atau chocolate maple bar, mungkin? Kak Farrell masih punya beberapa. Iya ‘kan?”

Farrell mengangguk. “Akan kuambilkan kalau kamu mau,” katanya pada Libby. “Tapi, nggak untukmu. Suaramu masih serak,” katanya lagi pada Milo. Farrell mengira Milo akan protes. Sebaliknya, Milo tak bereaksi apa pun. Sepertinya mereka masih terfokus pada Libby.

“Jangan melihatku terus,” protes Libby setelah beberapa saat. “Aku nggak apa-apa sekarang.”

Milo tersenyum lebar. “Jadi, apa yang kamu mau lakukan sekarang? Bermain bersama Toto atau tidur? Tidur selalu mencerahkan hari, bukan begitu? Kita bisa tidur siang tanpa perlu mencemaskan PR di sini.”

“Itu kedengarannya ide bagus.”

Libby pun beranjak ke ranjang, membenamkan dirinya bersama Toto, tertidur dengan cepat. Melihatnya, Milo ikut merasa mengantuk.

“Berniat menyusul?” tanya Farrell.

Milo menangguk. “Kedengarannya ide bagus. Hahaha… Ayo, tidur siang.”

Farrell hanya mendesah. Dia berdiri dan, saat Milo mengiranya mau ke ranjang, Farrell malah menuju pintu.

Milo mengernyit dibuatnya, “Hei, kamu mau ke mana, Farrell? Makan siang belum selesai disiapkan.”

“Sebenarnya ada yang aneh di sini.” Farrell mengenakan scarf yang sempat dia lepas tadi.

“Contohnya? Suara lolongan serigala dan badai salju?” Milo teringat lagi pada artikel yang dia baca sebelum ke Eden’s Lodge.

“Bukan. Aku menemukan ruang makan besar di sisi belakang penginapan dan banyak orang di sana tapi di sini sepi. Christo mengusirku dari sana bahkan menyuruhku pulang pagi ini. Lalu, Denise, dia menyuruh kita mencari sesuatu yang bahkan nggak dia sebutkan namanya. Anehnya, kamu dan Libby langsung menurut. Kalian seperti… seperti… dihipnotis?”

Milo tergelak. “Dihipnotis? Yang benar saja! Aku nggak merasa sedang dihipnotis—”

“Justru itu,” sahut Farrell. Dia ingat saat adiknya protes pada raut wajahnya ketika sarapan tadi. Lebih tepatnya, Farrell memasang wajah demikian karena merasakan hal buruk sedang terjadi. Seperti saat ini. “Justru karena kamu nggak merasakan apa-apa, itu berbahaya. Kamu sendiri lupa saat kutanya.”

“Oh, mungkin karena aku terlalu banyak makan coklat.”

Farrell mendengus geli dan menggeleng. “Alasan yang bagus, Milo. Aku mau menemui paman dan bertanya padanya.”

“Soal ruang makan besar atau soal mencari sesuatu?”

“Semuanya. Bukan cuma itu. Kalau kuingat, ruang makan itu juga sedikit aneh. Aku ke sana waktu kita seharusnya makan malam, tapi kondisi di sana malah pagi hari. Awalnya kukira paman memasang layar TV di jendelanya. Lalu, ada juga piring-piring melayang dan sup bola mata—”

“Piring melayang?” Milo terbelalak. “Kamu pasti bermimpi. Kupikir kamu sekarang yang sedang berada di bawah pengaruh hipnotis.”

“Nggak, Milo. Itu semua terlalu nyata untuk sebuah mimpi.”

Milo melipat tangan, sedikit sangsi dengan pernyataan kakaknya. “Kalau begitu, kenapa kita nggak ke sana lagi? Kalau Christo berani mengusir kita, tinggal laporkan saja pada paman. Dia pasti lupa berhadapan dengan siapa. Nama belakang kita juga Eden, lho.” Senyum simpul terbentuk di wajahnya.

Farrell tak bisa menolak, dia malah ikut tersenyum seperti adiknya.

 

 

Farrell membimbing Milo naik ke lantai tiga. Entah kenapa, instingnya waspada. Matanya mengamati sekitar seolah tak mau kalau ada orang yang melihat mereka ke sana. Ketika memastikan semua aman, barulah mereka berdiri di depan pintu. Farrell tak tahu apa yang dia harapkan saat membukanya. Semua nampak normal secara interior kecuali suasana remang di lorong apalagi setelah pintu ditutup.

“Jadi itu pintu anehnya dan ini lorong ke ruang makan?” Milo membuka percakapan.

“Ruang makannya ada di bawah kita. Tunggu di sini sebentar.” Farrell memintanya menunggu sampai lukisannya bergerak.

Milo terbelalak saat lukisan tersebut bergerak luwes. “Ini luar biasa. Aku bahkan bisa mendengar suara dan merasakan angin dari sini. Seperti sihir saja!”

Sihir? Kata itu terdengar familiar di telinga Farrell. Dia memilih tidak membahasnya dan mengajak untuk melangkah lagi. Mereka tiba di balkon dengan tangga pada masing-masing ujung. Dari sana mereka bisa melihat keluar lewat jendela tinggi. Gelap, tentu saja. Bulan sabit menyembul dari balik awan. Cahayanya tak mampu menerangi sekitar. Hanya sanggup sedikit menunjukkan wujud padang salju di bawahnya.

“Wow! Seingatku tadi masih pukul sepuluh pagi… Atau sebelas… Kenapa di sini gelap?”

“Sudah kubilang padamu tadi.” Milo bertanya tepat seperti yang ada dalam kepala Farrell. “Tempat ini seperti kebalikan dari sisi penginapan satunya.” Farrell tersadar karena ucapannnya sendiri. “William bilang kalau Eden’s Lodge dibangun menyesuaikan dengan sisi satunya. Apa maksudnya sisi bangunan ini? Sebenarnya tempat apa ini?”

Milo angkat bahu. “Entahlah. Ayo turun.”

Farrell dan Milo menuruni tangga. Mereka melihat ke dalam ruang makan di sisi kanan. Ruangan tersebut sepi. Hanya ada beberapa pelanggan saja. Pelanggan terdekat dengan mereka adalah dua pria berjenggot yang sedang menikmati bir. Botol bir melayang mengisi gelas saat isi gelas berkurang.

“Oke. Bukan piring melayang tapi botol?” Milo terbelalak.

Salah seorang pria mendengar ucapan Milo dan melempar senyum lebar padanya, hampir seperti seringai. “Kamu baru di sini? Sihir melayang sudah ada sejak ratusan tahun, nak!”

“Sihir? Kurasa dia mabuk,” bisik Milo.

“Mabuk atau nggak, nggak ada yang bisa menjelaskan itu.” Farrell menoleh arah meja counter panjang. Milo di sebelahnya ikut melongo. Piring, gelas, sendok, garpu, peralatan makan menyusun diri mereka sendiri. Ada yang menumpuk di atas meja, ada pula yang masuk ke dalam lemari di belakang counter.

“Apa menurutmu kita sedang tidur?” tanya Milo.

“Tidur dan bermimpi yang sama?” balas Farrell. “Sepertinya nggak.”

Dari pantulan kaca lemari di belakang counter, Farrell mendapati masalah sedang mendatangi mereka. Dia bisa melihat Christo berjalan cepat dari belakang. Farrell pun berbalik. Christo memang sedang berjalan padanya. Kebetulan sekali, dia bisa bertanya padanya. Christo membuka mulut untuk bicara tapi Farrell lebih cepat.

“Tempat apa ini? Sisi penginapan ini seperti dunia lain.”

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Dunia sihir

2022-08-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!