Beberapa jam berikutnya, Farrell sedang membangunkan kedua adiknya. Libby nampak sangat enggan meninggalkan tempat tidur sampai Farrell bilang kalau bibi Melanie sudah datang. Barulah Libby mau keluar. Milo lebih mudah dibangunkan. Dia duduk di ranjang, mengucek mata, mengusir kantuk, memeriksa ponsel, berharap ada keajaiban terhadap sinyal.
“Apa sarapannya sudah siap?” Milo bertanya.
“Benar sekali,” jawab Farrell. Itu tujuannya membangunkan adik-adiknya. “Dan… Cuma perasaanku atau suaramu agak serak, Milo?”
“Mungkin aku kebanyakan makan coklat.”
“Kalau begitu hindari coklat hari ini dan jangan makan mereka.” Farrell melirik piring dengan tutup stainless di atas meja. Saat masuk ke kamar barusan, Farrell sempat mengambil sepotong chocolate maple bar. Isinya belum berkurang lagi sejak kemarin malam.
Milo menyunggingkan senyum simpul, “Akan kucoba semampuku.”
“Apa yang akan kita lakukan hari ini?” tanya Libby. “Nonton TV?”
“Coba tebak!” pinta Farrell. Kedua adiknya tak menjawab. Jadi, dia memberikan jawabannya. “Bibi membawakan beberapa peralatan ski untuk kita.”
“Serius?” Milo hampir melompat mendengarnya.
“Tidak…” desah Libby.
“Jangan buru-buru,” lanjut Farrell. “Kita nggak punya lintasan ski di sini. Bibi hanya menyewakan beberapa peralatan saja untuk sesi fotomu. Kamu harus berterima kasih padanya nanti, Milo.”
“Tentu. Bibi Melanie memang terbaik! Sekarang, saatnya sarapan!”
Milo dan Libby, seperti biasa, keluar lebih dulu dari kamar begitu selesai bersiap-siap. Farrell masih menutup pintu kamar. Mereka bergabung untuk makan pagi di restoran. Seperti makan malam kemarin, Farrell hanya menemukan keluarga mereka, Denise, bersama dua pria besar lagi.
“Kamu mencari seseorang?” tanya Milo ketika bersanding di sebelah kakaknya sedang mengambil sup.
“Hanya penasaran di mana tamu yang lain. Semalam aku menemukan ruang makan besar di bagian belakang hotel. Banyak orang di sana, tapi nggak ada satu pun di sini.”
“Mungkin belum bangun. Jangan pikirkan mereka.”
Farrell tak mau mengakuinya, tapi dia mulai merasakan firasatnya bergerak tak semestinya. Ada rasa takut di balik penasaran. Ada beberapa keanehan yang dia dapati kemarin dan hanya dipendam. Semua hanya kebetulan, kalimat itu biasanya berjalan baik dalam hatinya. Tidak kali ini. Bahkan dengan semua makanan lezat di atas meja di depannya saat ini. Setidaknya dia bersyukur hanya semeja dengan Milo dan Libby. Paman dan bibi duduk menemani Denise.
Entah kenapa ketika memikirkan mengenai penginapan, pikiran Farrell teringat lagi pada Christo. Bibinya tadi bilang kalau Christo sudah bekerja lama di sana sejak masih kecil. Berarti Farrell memang pernah bertemu ketika mengunjungi Eden’s Lodge dulu. Kira-kira itu terjadi dua belas tahun yang lalu. Milo tak ingat sama sekali soal penginapan, apa lagi Libby. Milo masih tiga tahun dan Libby bahkan belum lahir. Selama ini, mereka hanya mendengar dari cerita ibu, paman, atau dia sendiri dan mendapat gambarannya dari foto. Farrell sendiri terkejut dengan perubahannya. Penginapan itu bukan hanya berbeda dari yang ada di foto, penginapan itu bahkan nyaris tidak sama.
Kalau Christo ada di sana, mengamati perubahan Eden’s Lodge dari waktu ke waktu. Berarti dia juga ada di sana saat ayah mereka menghilang tanpa kabar. Itu terjadi setahun setelah Libby lahir.
Milo menyenggol bahu Farrell. “Jangan memasang wajah seperti itu. Raumu membuat makanan ini jadi nggak seenak seharusnya,” bisik Milo.
“Memang kenapa dengan wajahku?”
Milo spontan menunjukkan wajah jelek dengan mulut tertekuk ke bawah. Dia juga menarik ujung matanya ke bawah. “Wajahmu seperti ini. Kamu membuat rasa makanannya jadi mengerikan.”
“Aku hanya sedang berpikir tentang… tentang…” Farrell membiarkan kalimatnya menggantung. Dia melirik kedua adiknya di seberang. “Tentang… bagaimana cara memakai peralatan ski. Aku belum pernah sama sekali.” Farrell tergelak. “Dan… Tidak, tidak. Aku nggak berwajah seperti itu, Milo.”
Libby ikut tertawa. Toto berada di pangkuannya. “Aku juga nggak mau main ski. Menakutkan. Lagipula, aku dengar suara serigala semalam. Bagaimana kalau mereka ada di luar sana sekarang?”
“Benarkah?” Farrell mengira dirinya saja yang mendengar lolongan serigala. “Kamu juga dengar?”
Milo menggeleng. “Hei, itu nggak mungkin. Paman sendiri bilang nggak ada serigala di sini. Lagipula, kalau ada, pegawai yang lain pasti sudah kabur. Mungkin yang kamu dengar hanya suara mesin pemanas atau semacamnya. Kupikir cerobong membuat suara seperti itu juga.”
“Begitu, ya.” Libby mengangguk.
“Tentu saja.”
Farrell terdiam. Dia tak bisa bohong pada dirinya sendiri kalau mendengar suara lolongan serigala. Meski begitu, ada baiknya tak membicarakan hal ini di depan adiknya. Dia tak mau membuat Libby ketakutan dan merusak liburan mereka. Mungkin dia bisa menanyakannya lagi pada paman nanti.
“Pe— Permisi,” Remy muncul di sampingnya. “Sa— Saya… membawakan makanan penutup.” Remy memindahkan isi nampannya ke atas meja. Dia meletakkan tiga mangkuk putih kecil. Isinya merupakan puding roti dan kismis. Remy menelan ludah sebelum melanjutkan. “Tidak mengandung kelapa.”
Milo melirik kakaknya setelah Remy pergi, “Makanan penutup spesial, eh? Tanpa kelapa.”
Farrell hanya tersenyum. Dia mulai menikmati pudingnya. Puding itu lembut dan hangat. Selain kismis, sepertinya Remy juga mencampurkan pisang dan karamel. Remy mungkin koki spesialis makanan penutup yang baik. “Ini enak. Nggak membuat eneg sama sekali. Kurasa aku bisa makan dua.” Farrell mengharapkan reaksi sama dari adiknya.
Namun, Milo meletakkan sendoknya. “Kupikir lebih baik kalau kita segera bersiap-siap untuk main ski. Siapa tahu benda itu ada di lintasan ski di bawah.”
“Hah?” Farrell mengernyit. Dia melihat tatapan Milo menerawang ke luar. Bukan hanya Milo, Libby juga melakukan hal serupa sekarang. Keduanya menatap ke luar jendela di mana lapisan salju terbentang tak terbatas. “Lintasan ski apa? Tempat itu sudah ditutup, Milo. Kita nggak akan ke bawah sana.”
“Kita harus,” sahut Milo, masih dengan tatapan yang tidak fokus. “Mungkin—”
DUG!
Guci air mendarat tak mulus di atas meja. Air di dalamnya protes dan beriak ke luar, menuruni badan guci, membasahi sedikit taplak meja, bahkan sedikit terpercik ke puding. Farrell tersentak kaget juga tak percaya bersama kedua adiknya. Seolah tersadar dari mimpi, Milo menggelengkan kepalanya cepat. Libby mengerjap. Farrell sendiri melongo ke pembawa guci air, Christo.
“Apa ada yang mau tambah air minum atau mungkin mau kuambilkan teh hangat?” tanya Christo.
Farrell belum sempat menjawab. Paman memanggil mereka dari kejauhan. Milo dan Libby pun bergegas ke meja paman. Bibi sepertinya punya hadiah lagi untuk mereka. Farrell pun hanya bisa diam, tak berniat bercakap dengan Christo. Dirinya ikut berdiri, hendak meninggalkan si pegawai.
Tapi, belum sempat beranjak, lagi-lagi Christo memberikan kalimat ganjil. “Pulang! Cepat! Demi kebaikan kalian sendiri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Kenapa ya??
😓😓😓
2022-08-16
1