The Way Back Home

The Way Back Home

Visit

“Hari ini kami akan berlibur ke Eden’s Lodge. Sudah lama sekali aku tidak ke sana. Terakhir kali saat Milo masih kecil.” Farrell Eden bicara lirih di samping ranjang ibu.

Keduanya sama-sama memiliki rambut coklat dan mata hitam, meski milik Farrell lebih gelap. Mata ibu menatap kosong ke depan, sementara mata Farrell menatap lekat sang ibunda. Farrell bisa merasakan wajahnya memanas dan bibirnya bergetar, mungkin matanya juga memerah.  Segala sesuatu mengenai ibu selalu membuat hatinya serasa dipilin. Hal ini terasa lebih kuat saat tak ada seorang pun di sana selain dirinya dan ibu. Tak ada paman, bibi, kedua adiknya, atau perawat. Farrell tahu dia seharusnya tak perlu menanti balasan. Namun dalam hati kecilnya, dia tak bisa berbohong kalau masih berharap ibu akan tersenyum atau setidaknya menatap dirinya. Terakhir kali ibu bicara padanya sudah lebih dari sepuluh tahun.

“Kuharap aku masih tahu jalan ke sana.”

Farrell mengulurkan tangan, menggenggam tangan ibu. Matanya tertuju pada jemari ibu, kurus dan dingin. Tubuh ibu memang makin kurus dari hari ke hari. Kulitnya pucat dan rambutnya terurai cenderung berantakan. Meski begitu, ibunya masih nampak jelita. Farrell membiarkan keheningan menaungi mereka selama beberapa saat sebelum dia bicara lagi.

Ketika menatap kembali wajah ibu, entah kenapa Farrell merasakan sedikit gerakan pada tangannya. Tangan ibu berkedut seolah ingin balas menggenggam tangannya. Bola matanya juga bergeser sedikit seakan ingin menatap wajah putra pertamanya. Namun, hanya itu. Tak ada pergerakan besar. Farrell tak berharap lebih. Dia memberikan kecupan di tangan ibunya dan berpamitan.

"Sampai nanti, ibu." Farrell melempar senyum pada sang ibu. Dirinya bangun menuju pintu. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, Farrell masih sempat berbalik pada sang ibu. “Sampai nanti.” Farrell mengulang ucapannya.

Suasana di luar kamar ibu terasa begitu berbeda. Kedua adiknya, Milo dan Libby sedang asyik bercengkrama dengan si perawat, Carla. Mereka berada di rumah paman. Sejak ayah menghilang dan ibu sakit, ibu dirawat di rumah paman. Di sana ada perawat juga pelayan. Mereka bisa memberikan perhatian pada ibu selama dua puluh empat jam.

“Kamu seharusnya melihat pertandinganku kemarin!” Milo bicara dengan penuh kesenangan. “Pelatih bilang kalau aku bisa jadi atlet kalau mau.”

“Kedengarannya sangat seru.” Carla punya badan gemuk dan rambut keriting. Dia selalu ramah pada siapapun. Ketika mendengar kalau mereka datang, dia langsung menyiapkan teh dan kue tanpa perlu diperintah bibi.

Paman dan bibi sudah pergi sejak beberapa hari yang lalu. Mereka berjanji untuk bertemu di penginapan milik keluarga, Eden’s Lodge. Sebelum menghilang, ayahnya pengelola penginapan. Sekarang, paman dan bibi jadi pengelola penginapan di gunung bersalju tersebut.

Milo melanjutkan. “Bayangkan saja… Atlet profesional. Milo Eden, MVP of the year! Orang-orang akan datang pada Farrell dan Libby untuk bertanya tentangku.”

Carla mengernyit. “Kenapa mereka nggak langsung datang padamu?”

“Karena aku terlalu sibuk untuk sesi foto. Jadi, mereka mewawancari saudaraku sebagai gantinya. Lalu, aku akan menarik Farrell dan Libby dari kerumunan. Aku mengajak mereka foto bersama di tengah lapangan. Kami akan menghiasi halaman depan koran.”

“Aku nggak mau foto denganmu sehabis pertandingan. Keringat. Bau.” Libby merengut. Tangannya memeluk boneka kelinci berpita pink, sama dengan warna bandonya saat ini.

Farrell mendengus geli. “Bagus, Libby.”

Jawaban Libby spontan membuat Carla tertawa. Milo dibuat cemberut karenanya. Berbeda dengan Farrell, Milo juga Libby punya rambut hitam legam serta mata coklat. Kulit Farrell juga cenderung lebih kuning dibanding kedua adiknya. Kalau Milo sudah duduk di bangku SMA, Libby masih di sekolah dasar kelas lima, Farrell sendiri sudah lulus dari universitas.

Milo melipat tangannya ke depan dada. “Hei, ayolah… Aku sedang senang karena kemarin baru memenangkan pertandingan tingkat nasional. Aku ini pemain inti termuda di tim basket sekolah. Maksudku, aku baru masuk sekolah enam bulan yang lalu dan langsung dipilih untuk pertandingan antar sekolah. Aku penyumbang angka terbanyak. Entah itu namanya berbakat atau apa.”

“Atau apa,” sahut Libby.

Farrell meninju pelan bahu adiknya. “Itu karena kaptenmu cedera di menit kesepuluh,” tukas Farell.

“Ya, ya, ya. Terserah.” Seolah tersadar akan hal lain, Milo berbalik pada sang kakak. “Bagaimana ibu? Dia bicara sesuatu?”

Farrell mengernyit. Itu bukan pertanyaan yang dia harapkan dari Milo.

Carla berdehem. “Kalian harus memberinya waktu untuk pulih.”

Farrell mengangguk pelan. Setiap hari Farrell selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi ibu. Kadang setelah dia mengantar kedua adiknya, kadang di jam kosong istirahat, atau kadang juga setelah makan malam. Dia tak peduli meski tempat ibu dirawat berbeda rute dari tempat kerja. Karena rindu dan kasih, Farrell tak pernah menganggap kebiasaannya ini sebagai beban. Jujur saja, sejauh ini, Farrell tak melihat perubahan signifikan pada kondisi ibu.

Carla melanjutkan percakapan, “Kalian sudah siap berangkat? Sepertinya kakak kalian sudah siap.”

Libby langsung melompat turun dari sofa. “Aku siap!” Mata lebarnya berbinar menatap sang kakak sulung. Rambut panjang Libby sama persis dengan milik ibu. Sangat halus juga mudah berantakan.

Milo menyabet tas ranselnya. “Aku juga. Aku sudah siap tidur sepanjang perjalanan.”

“Oh? Tidakkah kamu perlu mempelajari rute ke Eden’s Lodge dari kakakmu?” Carla mendengus. Kedua tangannya berada di pinggang. Dia nampak tak percaya dengan ucapan si anak kedua. “Ngomong-ngomong, kamu belum menghabiskan tehmu, Farrell.”

“Jangan khawatir, Carla. Aku bisa belajar dengan mata tertutup.”

“Sangat lucu, Milo. Aku penasaran apa itu yang kamu katakan pada pelatih basketmu.”

“Jangan iri. Aku ini jenius.”

Carla tersenyum geli sambil berdecak. Tingkah Milo berbeda jauh dari Farrell. Perbedaan tujuh tahun membuat Milo nampak begitu kekanakan dibanding Farrell. Saat ini, sang kakak bukan hanya seorang guru, dia juga sedang merencanakan studi lanjut.

“Jangan khawatir, Carla.” Kali ini giliran Farrell bicara. Dia baru saja selesai meneguk habis tehnya. “Aku lebih senang kalau Milo tidur sepanjang perjalanan. Tidak ada cerita. Hanya ada aku dan ketenangan.”

“Si kecil Libby juga tidur?”

“Mereka selalu menghilang saat mobil sudah melaju.”

“Mereka percaya pada kemampuan menyetirmu.”

“Anggap saja begitu.”

Milo dan Libby sudah menghambur ke pintu depan. Farrell masih sedang mengenakan tas selempangnya. Carla menemaninya ke pintu.

"Aku akan menjaganya, Farrell.” Carla bicara soal ibu.

“Aku tahu. Aku memang nggak khawatir kalau kamu bersama ibu.”

“Kuanggap itu pujian.”

“Itu memang pujian.”

Keduanya tiba di pintu depan. Milo dan Libby sudah siap keluar. Milo menggoda adiknya, seolah tak mengizinkannya keluar lebih dulu dari dirinya. Tangan besar Cara memutar kenop, membuka salah satu daun pintu kembar.

“Nikmati hari kalian, anak-anak!”

“Terima kasih, Carla!” Libby keluar pertama. Langkah kecil cepat membawa dia menuju ke mobil double cabin biru metalik yang terparkir di depan rumah.

Milo tak bicara apa pun, hanya memberi hormat bak tentara. Farrell menyusul di belakang, menggeleng dengan senyuman terkembang di wajahnya.

Sebelum ketiga kakak beradik masuk ke mobil, Carla sempat meralat ucapannya. “Oh, aku salah. Maksudku, nikmati liburan kalian, anak-anak!"

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Seolah Carla tahu ada "sesuatu" ditempat liburan nanti
😞😞😞

2022-08-14

1

miekuahkaldu

miekuahkaldu

bagus banget kayak baca novel cetakan.... gak ada niatan untuk nerbitin jd novel cetak kah?

2021-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!