Farrell terbangun lagi. Langit mendung masih menutupi cahaya matahari. Hanya ada sedikit cahaya berhasil menembus masuk kamarnya. Deru angin tak lagi terdengar. Badai sudah berhenti. Meski begitu, dia perlu cukup banyak waktu untuk menyesuaikan diri dan tidur lagi sebelumnya. Tidurnya tak bisa dibilang nyenyak. Sekarang pun, dia yakin hari masih subuh. Dia mengulurkan tangan keluar dari selimut. Melawan rasa dingin, Farrell meraih handphone di meja samping tempat tidur untuk melihat jam. Masih pukul enam kurang. Tidak mengejutkan kalau rasa lelah masih menempel di badannya. Sayang sekali, rasa kantuk sudah lenyap.
Farrell menarik dirinya keluar dari ranjang. Sambil tetap menjaga ketenangan agar tak membangunkan kedua adiknya, Farrell mengenakan jaket dan scarf, lalu keluar ruangan. Kali ini, gilirannya mencari camilan. Mungkin lebih tepatnya bukan camilan melainkan minuman hangat. Karena tak ada telepon di kamar, dia terpaksa turun langsung ke lobby untuk minta dibuatkan sesuatu. Coklat hangat akan sangat nyaman di saat seperti ini. Apalagi saat dia tak bisa tidur lagi.
Ketika turun tangga ke lantai satu, dia berpapasan dengan teman barunya, Vincent. Kebalikan darinya, Vincent kelihatan sangat lelah. Mereka saling melempar senyum tanpa ada niat melanjutkan percakapan lalu berpisah.
Di lantai dasar, Farrell melihat wanita yang tak asing di ruang tunggu. Gerakannya lincah sekalipun badannya cukup gemuk. Tingginya rata-rata. Rambutnya ikal pendek hitam dengan beberapa helai kelabu. Coat tebal merah gelap senada dengan sepatu boot yang dikenakannya. Di sekelilingnya, ada dua koper dan banyak kantung belanja. Dia memandang keluar, ke arah mobil jeep hitam milik paman, di mana William sedang menurunkan lebih banyak lagi kantung belanja.
“Bibi Melanie,” sapa Farrell menghampiri wanita tersebut.
“Farrell! Ya ampun, kamu makin tampan saja.” Bibi memberikan pelukan dengan kecupan di setiap pipi. “Astaga, badanmu dingin sekali.”
“Ya, udaranya dingin. Apalagi semalam ada badai.”
“Benar sekali. Bandara juga dilanda cuaca buruk sejak kemarin sampai penerbanganku terpaksa mundur hari ini. Padahal aku sudah menantikan bertemu kalian, anak-anak manisku. Mana Milo dan Libby? Apa mereka masih tidur?” Paman dan bibi tidak memiliki anak. Jadi mereka menyebut Farrell dan adik-adiknya sebagai anak-anak mereka. Keduanya membiayai seluruh keperluan hingga sekarang termasuk mobil couble-cabin biru.
Farrell mengangguk. “Ini bahkan belum jam enam.”
“Dan kenapa kamu sudah bangun, sayang? Tidak bisa tidur? Kedinginan?”
“Adaptasi cuaca.”
“Oh, aku tahu!” Bibi mengambil salah satu kantung belanja dan mengeluarkan tiga buah topi rajut. Hitam, biru, dan merah jambu. “Kamu mau yang mana? Bibi membawakan kalian masing-masing topi dan scarf. Ah, juga jaket! William sedang membawakannya ke mari.”
“Kurasa hitam bagus. Terima kasih.”
“Tentu!” Bibi meminta Farrell menunduk dan memasangkan topi itu padanya. Bibi juga mengambil scarf hitam dengan aksen putih di ujungnya, lalu memasangkannya di leher Farrell tanpa memedulikan kalau sudah ada scarf di sana. “Sangat serasi! Bagaimana? Lebih hangat?”
Farrell tertawa kecil, “Sebenarnya, agak sesak.” Bibi tertawa. Farrell melepas scarf hitam tersebut beserta topinya. “Bibi mengecat rambut lagi?”
“Pamanmu akan mengomel kalau melihat rambutku kelabu. Warnanya sama kusamnya dengan salju di luar sana. Biasanya aku memilih warna coklat, ini pertama kalinya aku mencoba warna hitam. Kenapa? Tidak cocok, ya?”
“Nggak masalah. Cocok, kok.” Farrell menoleh saat melihat bayangan orang lewat di dekat resto. Pria kurus dan setinggi dirinya, itu Christo. Awalnya, Farrell berniat minta pada pegawai hotel untuk menyiapkan minuman hangat. Tapi, mungkin lebih baik menunggu William selesai menurunkan barang atau menunggu pegawai lain lewat. Siapapun asalkan bukan Christo.
“Ada apa, sayang? Kamu butuh sesuatu?” tanya bibi ketika melihat keponakannya menoleh.
“Aku hanya berpikir soal minuman hangat.”
Bibi ikut menoleh. Begitu melihat Christo, dia langsung memanggil. “Christo, buatkan coklat hangat untuknya. Cepat!”
Christo mengangguk dan lenyap ke dalam penginapan.
“Dia sedikit… kaku, bukan begitu?” ujar Farrell pada bibinya.
Bibinya mengajak Farrell duduk di sofa. “Berdedikasi, disiplin, rajin, mungkin juga sedikit kaku. Beda sekali dengan William.” Bibi melirik William yang baru memasukki lobby. Si pemuda membawa kantung-kantung belanja di kedua tangan.
“Oh, selamat pagi Farrell. Tidur nyenyak semalam?” sapa William ketika melihat bibi dan keponakannya.
“Lebih nyenyak kalau tidak ada badai.” Farrell bicara jujur.
“Itu agak mustahil. Badai adalah pelanggan tetap kami. Lihat saja jendela-jendela di sini. Beberapa pernah pecah saat ada badai salju. Kami sampai terpaksa memasang daun jendela tambahan untuk pengaman. Kayu lebih tahan dari serangan salju.”
“Aku yakin semalam bukan yang terburuk.”
William tersenyum. “Dari level satu sampai sepuluh, mungkin badai semalam hanya level enam. Kami berkali-kali lolos dari cuaca buruk.”
“Ehem!” Bibi berdehem.
“Ups…” William menoleh pada bibi. “Sudah semuanya, bu Melanie. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan?”
“Mungkin kamu bisa bantu Christo. Dia sedang membuat coklat hangat,” jawab bibi.
“Coklat hangat dengan bumbu spesial, eh?”
Farrell yakin melihat mata bibi membesar saat mengatakan, “Benar sekali! Coklat spesial dari Eden’s Lodge. Sekarang pergi dan bantu Christo!”
William terkekeh dan memberi hormat ala militer, “Siap, nyonya!”
Sekarang gantian paman yang masuk ke dalam lobby. Namun, dia tak bergabung dengan istrinya dan Farrell. Dia hanya menyapa mereka sebentar dan langsung berpamitan lagi. Katanya, ada banyak urusan. Farrell paham itu. Sebagai pemilik sekaligus pengelola hotel, tidak heran kalau banyak yang harus dia atur. Mungkin sebentar lagi, paman akan mengadakan briefing atau semacamnya.
“Berapa banyak pekerja di sini?”
“Empat.” Bibi mengambil sebuah kaleng kue dari salah satu kantung belanja. Jemarinya menarik plastik pembungkus serta selotip.
“Empat orang saja?” Farrell mengulang ucapan bibi.
Bibi buru-buru menoleh dan meralat. “Tidak, tidak. Maksudku aku hanya kenal empat orang pegawai di sini. Hafal. Kenal, maksudku. Aku nggak tahu berapa jumlah persisnya. Aku hanya membantu saat diperlukan. Aku orang baru di sini. Oh, konyolnya aku.” Bibi pun angkat bahu dan tertawa pada leluconnya sendiri. “Pamanmu yang paham seluk beluknya. Kamu tahu sendiri kalau dulu paman dan ayahmu yang mengurus penginapan ini. Aku hanya beberapa kali kemari.”
“Itu sudah lama.”
Bibi menyodorkan kaleng kue yang sudah terbuka. “Soft cookies, sangat enak,” katanya seraya mengambil satu. Farrell ikut mengambil. “Bagaimana keadaan ibumu?” Bibi bertanya seraya menggigit kuenya.
“Sama seperti biasa. Diam. Tertidur.” Farrell memaksakan dirinya tersenyum. Itu jelas bukan topik favoritnya. Tidak hari ini dan tidak kapan pun.
Bibi mengangguk pelan, membiarkan keheningan datang melanda. Tapi, tak lama. Christo menghampiri mereka. Baki bulat dengan sebuah cangkir hijau terang berada di atas tangan kanannya. Dia menurunkan cangkir berisi coklat hangat tersebut di atas meja kopi. Krim kocok menutupi bagian atasnya dengan sebutir permen peppermint putih merah.
“Satu cangkir coklat hangat. Ada lagi yang kalian perlukan?” tanya Christo. Farrell dan bibi sama-sama menggeleng. “Baik, kalau begitu, selamat menikmati.”
Setelah Christo pergi menjauh, Farrell pun menyeletuk, “Tidakkah bibi merasa dia agak nggak ramah?”
Bibi tak lantas menjawab, hanya menggulirkan bola matanya ke sana kemari. “Dibandingkan yang lain, Christo bekerja paling lama di sini, bersama ayahmu dulu. Waktu itu dia masih kecil, mungkin masih belasan tahun. Dia paham banyak soal penginapan ini dan bisa diandalkan. Kenapa? Apa dia bersikap nggak ramah padamu?” Bibi malah balik bertanya.
“Nggak juga.” Farrell belum menceritakan kejadian kemarin pada siapa pun. Bergabungnya Denise ke makan malam kemarin membuatnya membatalkan niat mengadu pada paman. Farrell tidak mau Denise mendapat kesan buruk terhadap penginapan keluarganya.
“Kalau ada masalah apa pun, tindakan mencurigakan para pegawai, atau mungkin kamu perlu sesuatu, beritahu saja aku atau pamanmu. Oke?”
“Oke.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
😞😞😞😞😞
2022-08-16
1