Selesai menikmati teh dan camilan, Emily menemui Farrell di lobby. Dia memberikan kunci kamar. Kunci tersebut, seperti hotel lainnya, berupa kartu magnetik. Sisi depannya putih dengan tulisan Eden’s Lodge warna hijau sementara bagian belakangnya memiliki garis hitam tebal. Emily menjelaskan kalau kamar mereka ada di lantai dua.
Milo memimpin saudara-saudaranya melewati ruang duduk menuju tangga di bagian ujung. Setiap sudut dalam hotel bernuansa coklat dan terbuat dari kayu atau batu. Ketika naik, mereka bisa melihat lampu gantung klasik menjuntai di atas ruang tunggu. Lampu ini tergantung langsung dari lantai tiga. Langit-langitnya jauh lebih tinggi dari kelihatannya. Sambil menaiki tangga, mereka bisa menikmati pemandangan melalui jendela di samping. Salju putih menutupi segala sisi. Bukan saja puncak pepohonan, tapi juga lembah di bawahnya. Rupanya penginapan ini dibangun di atas sebuah bukit.
“Apa itu?” tanya Milo sambil menunjuk ke bagian belakang penginapan. Ada sebuah bangunan dari bata berbentuk lingkaran. Bentuknya mirip sumur tapi lubangnya tertutup rapat. Lantai sekelilingnya ditutupi paving dan lagi-lagi salju.
Farrell berhenti. Matanya melirik apa yang ditunjuk Milo. “Mungkin tempat menyalakan api unggun untuk menghangatkan para pemain ski.”
“Dengan cuaca seperti ini, aku nggak mau keluar sana.” Milo melihat sekitar. Dia menemukan bangunan kecil dengan satu bagian terbuka tanpa dinding. Dari bagian terbuka ini, terlihat kabel besar nan tebal menjuntai ke bawah di atas lembah panjang. Kabel tersebut bertumpu pada tiang-tiang kokoh yang berjajar teratur. “Apa itu ski lift? Jadi itu lintasan ski? Besar juga… Sayang sekali mereka terpaksa menutupnya.”
“Kelihatannya berbahaya,” bisik Libby.
Milo setuju. “Berbahaya? Mungkin, tapi pasti seru! Padahal kukira bisa dapat foto waktu main ski. Teman-temanku pasti iri melihatnya.”
“Kalau cuma foto, mungkin kamu bisa pinjam peralatannya dari paman.” Farrell asal bicara.
“Ide bagus. Semoga mereka belum membuang peralatannya.”
Mereka tiba di lantai dua. Ruang duduk lain menunggu mereka. Ruang duduk ini tepat berada di atas meja resepsionis, jadi mereka tak bisa melihat Emily di bawahnya. Tapi, mereka bisa melihat ke pintu masuk dan ruang duduk di lantai satu dengan jelas. Apalagi dinding pengamannya hanya setinggi satu meter, terbuat dari potongan kayu, seperti selusur tangga.
Ruang duduk ini diapit dua lorong. Satu lorong menuju ke belakang dan lorong menuju ke sisi kanan. Petunjuk di dinding memberi tahu di mana posisi kamar mereka. Kamar 201-206 ada di sepanjang lorong ke belakang. Kamar 207-214 di lorong sisi kanan.
“204,” kata Farrell melirik amplop kunci kartu. “Kita ke sini.”
Mereka melewati dua kamar di sisi kanan dan dua kamar di sisi kiri. Kamar mereka ada di ujung lorong, tepat berseberangan dengan kamar 203. Selagi Farrell membuka pintu, Milo asyik melihat kondisi luar melalui jendela di ujung lorong. Dari sana, lintasan ski terlihat lebih jelas lagi. Mereka seperti selendang perak yang terbentang. Sayangnya, bagian tengahnya kotor. Sampah berupa batang kayu dan dedaunan berhamburan. Beberapa di antaranya cukup besar. Lintasan itu harus dibersihkan dulu kalau mau digunakan lagi.
“Mereka seharusnya melakukan perawatan. Sayang sekali kalau lintasan ski dibiarkan seperti itu.”
“Sudah kubilang itu berbahaya,” kata Libby, meninggalkan Milo dan bergabung dengan Farrell.
Kamar mereka merupakan kamar keluarga. Setelah melewati kamar mandi, ada dua ranjang ukuran single. Agak miring di seberang, ada satu ranjang king size. Di pojok, terlihat sofa merah dan meja kopi di atas karpet. Kabinet kayu membentang pada sepanjang dinding. Selain itu, ada juga lemari dan meja tulis. Ketiga koper mereka sudah ada di sana, diletakkan di dekat pintu masuk, di samping lemari sepatu.
“Wow… Bersih dan nyaman,” gumam Farrell sambil menyalakan pemanas melalui tombol di dinding. Dia melepas jaket sambil melihat ke dalam kamar mandi. Kalau lantai kamar terbuat dari kayu, lantai kamar mandi terbuat dari keramik kelabu sekalipun dinding dan wastafelnya bernuansa kayu pula. Ada shower di balik sekat dinding, bath tub, juga closet. “Ini bagus. Semoga air panasnya menyala.”
“Kamu bilang begitu karena ini hotel keluarga kita atau karena seorang lulusan arsitek?” sahut Milo.
Farrell hanya tersenyum. Dia tahu adiknya tak butuh jawaban, karena Milo sudah melepas jaket juga sepatunya lalu melompat ke ranjang terbesar. Libby ikut berbaring di sebelahnya. Keduanya menatap langit-langit putih dengan lampu gantung sederhana.
“Ini surga. Aku bisa tidur seharian di sini,” gumam Milo.
“Bu guru bilang, itu namanya hibernasi. Beruang melakukannya. Apa kamu sejenis beruang?”
Milo bangkit dan menggelitiki adiknya. “Kalau aku beruang, berarti kamu adik beruang, dong!”
Libby tertawa geli dan balas menggelitik Milo. Usia lima tahun antara keduanya tak membuat mereka kesulitan akrab. Farrell? Kadang, dia selalu merasa terlalu tua untuk permainan adik-adiknya. Dia memilih melihat mereka dari jauh sambil melakukan pekerjaannya sendiri.
“Hei, kakak berung!” seru Milo pada Farrell. “Kamu serius mau melakukan itu? Di sini? Di tengah liburan?” tanyanya ketika melihat Farrell mengeluarkan tas laptop dari dalam koper.
“Aku cuma mau mengecek beberapa desain saja.”
“Oke, terserah kamu saja. Aku mau ke bawah. Siapa tahu mereka masih menyimpan peralatan ski. Libby, mau ikut denganku?” Milo turun dari ranjang. Libby pun mengangguk. “Hei Libby, tinggalkan saja Toto di sini. Farrell nggak akan menyakitinya.”
Libby mengangguk lagi. Namun, sebelum keluar dari pintu, dia berbalik pada kakak tertuanya. “Kamu harus menjaganya untukku. Oke?”
“Bagaimana dengan boneka baru dari paman?” tanya Farrell melirik tas kertas di samping koper.
Libby menggeleng. “Dia bisa menjaga dirinya sendiri.”
Keduanya pun keluar, meninggalkan Farrell seorang diri bersama Toto dan boneka baru tak bernama. Farrell menyalakan laptop putihnya, membuka program, melihat denah dan gambar-gambar tiga dimensi. Beberapa teman memintanya mendesain apartemen mereka. Awalnya, dia sempat menolak karena interior sesungguhnya bukan keahliannya. Namun setelah beberapa pertimbangan juga rasa ingin belajar, Farrell menerima permintaan mereka.
Tak ada salahnya belajar banyak hal baru selagi menanti proses program beasiswa master. Dia bisa membantu mengajar di sekolah pagi hari dan menyelesaikan gambar desain di malam hari. Itu kesehariannya sekarang. Sebenarnya dia sendiri tidak berniat bekerja selama liburan, tapi karena ada sedikit perubahan, Farrell memutuskan untuk membawa laptop agar dia bisa bekerja di penginapan.
Setelah satu jam berlalu, Farrell berdiri dari kursinya. Dia mendatangi balkon di samping ranjang besar dan membuka pintu kacanya. Berhenti sampai di situ. Farrell tak berniat keluar karena begitu pintu terbuka, angin dingin menerpa dan membuat menggigil. Buru-buru, dia menutupnya kembali. Ketika melakukannya, matanya melihat burung itu lagi.
“Ternyata itu memang burung hantu,” katanya pada dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Aneh, karena seperti bolak balik mengantar pesan
2022-08-14
1