Bangunan di depan mereka berbeda jauh dari foto yang ada di rumah. Jauh lebih besar, jauh lebih indah, dan jauh lebih megah. Bukan penginapan berupa pondok kayu kecil tapi bangunan tiga lantai di atas fondasi susunan batu dipotong persegi. Dindingnya terbuat dari kayu. Jendelanya menggunakan kaca bening berbingkai kayu coklat muda. Tirai putih transparan menyembul dari sisi samping jendela namun tak mampu menutupi indahnya interior dalam balutan cahaya kuning hangat. Kontras dengan papan plang nama jelek tadi.
Farrell memarkir mobil di bagian kiri, di samping dua mobil lain. Dia turun dari mobil diikuti Milo yang melompat dengan girang. Mereka berjalan di atas jalan paving. Jalanan ini memutar, mengitari bangunan air mancur bulat. Ornamen bunga menghiasi badan kolam. Dua patung naga kecil berjaga pada dua sisi sementara satu naga besar ada di tengah. Mulutnya menggigit sebuah bola. Di baliknya, nampak ujung selang. Milo yakin airnya akan mengalir keluar dari sana kalau menyala. Namun, tidak saat ini. Isinya bukan air melainkan salju juga lapisan es tipis.
“Kenapa harus naga?” tanya Milo.
Farrell mengedikkan bahu.
Bayangan hitam melintas di atas mereka. Saat menengadah ke atas, Farrell menangkap wujud burung dengan warna putih dan bercak hitam. “Elang? Di sini?” Matanya mengikuti kemana burung terbang hingga hilang di balik penginapan. Berikutnya, Farrell menyadari kalau burung tadi lebih mirip burung hantu daripada elang. Burung hantu putih yang biasanya diam di daerah bersalju.
“Lihat itu!” Milo menemukan hal lain yang lebih menarik. Di balik bangunan air mancur, ada tempat parkir lain. Sebuah mobil jeep hitam terparkir. Dia tahu siapa pemiliknya.
“Hei, hei! Lihat siapa yang datang!” Seorang pria berusia lima puluhan keluar dari dalam penginapan. Dia mengenakan jas hijau neon dan dasi di balik jaket hitam. Terlihat tulisan Eden’s Lodge pada dada bagian kiri. Kakinya mengenakan boot berbulu, menuruni tangga dengan lincah. “Keponakan-keponakan terbaikku!”
“Paman Albert!” Milo menghambur padanya dan mendapat pelukan.
Paman juga memeluk Farrell. Dia mengamatinya dengan seksama sebelum menepuk bahu keponakan sulungnya. “Wow, Farrell. Sekarang kamu sudah lebih tinggi dariku. Sekalipun aku dulu lebih tampan darimu. Hahaha… Jadi, siapa pacarmu sekarang?”
Farrell hanya tertawa dan menggeleng.
“Tidak ada? Belum ada? Jangan khawatir, paman akan mengajarimu bagaimana agar gadis-gadis tergila-gila padamu.” Paman melanjutkan kalimat berikutnya separuh berbisik, “Dulu bibimu salah satu dari mereka. Dia beruntung.”
“Aku nggak yakin bibi senang mendengar itu,” sahut Milo.
“Hahaha… Ngomong-ngomong soal perempuan, aku nggak melihat Libby.”
Farrell melirik mobil, “Dia masih di mobil, sedang tidur. Aku berniat membangunkannya setelah memastikan nggak salah penginapan.” Ada sedikit kejujuran dalam ucapannya.
“Bilang saja kalau kamu nggak tega membangunkannya,” tukas paman. “Kakak yang baik, seperti biasa.”
“Kelewat baik, kelewat cerewet. Sampai cewek-cewek curiga padanya,” sahut Milo lagi sambil melipat tangan.
Paman tertawa. Kemudian, dia melihat seorang pemuda berjalan di samping penginapan. Pemuda itu punya rambut hitam sebahu, bagian tepinya diikat ke belakang. Sama seperti paman, dia juga mengenakan jaket hitam di atas jas hijau tapi tanpa dasi. Salah seorang kru hotel. “Hei, Will!” paman memanggilnya. “Bantu anak-anak ini membawa barang.”
“Nggak banyak. Kami bisa membawa barang kami sendiri,” ujar Farrell cepat.
“Apa yang kamu katakan? Porter itu fasilitas yang disediakan penginapan mana pun. Biarkan orang-orang di sini melayani kalian. Kalian tamu. Kalian di sini untuk bersenang-senang. Bukan begitu, Milo?” Paman mengedipkan satu matanya pada Milo dan mendapat senyuman lebar.
Farrell mengangguk pelan. “Oke. Akan kubangunkan Libby.”
“Akan kusiapkan teh dan kue untuk kalian.”
Paman berbalik untuk masuk, Milo mengikuti di belakangnya. Farrell menuju mobil. Kru hotel — yang tadinya berniat menghampiri mereka di pintu masuk — kini melihat Farrell. Saat kontak mata terjadi, Farrell menunjuk mobil. Keduanya pun bertemu di bagian belakang mobil.
“Halo, aku William. Selamat datang di Eden’s Lodge. Sekalipun itu rasanya agak aneh. Maksudku, ini hotel keluarga kalian, bukan?” ujar pemuda tersebut sambil mengulurkan tangan. Wajahnya bentuk hati dengan mata coklat. Tatapannya ramah.
Farrell menjabatnya dan tersenyum. “Hotel keluarga? Ya. Dulu memang ayah memang mengelolanya, tapi sekarang paman.” Dia membuka bagasi. Ada tiga tas koper di dalamnya. Dua koper besar berwarna hitam dan satu koper warna merah terang. Setelah menurunkan ketiganya, Farrell bertanya. “Kamu nggak membawa… ehm… kereta atau semacamnya untuk membawa ini?”
William menggeleng. “Kami nggak menyediakan semacam itu. Biasanya koper-koper terbang masuk sendiri.”
“Hah?”
“Hanya ungkapan.” William menggeleng lagi, cepat. “Keseleo lidah. Lupakan saja.” Tanpa bicara lagi, dia mengangkat satu koper hitam di tangan kiri dan satu koper merah di tangan kanan. “Aku akan kembali untuk yang satu itu.”
“Nggak usah, biar kubawa sendiri.”
“Oke.” William beranjak pergi.
Farrell menutup pintu bagasi dan ganti membuka pintu belakang mobil. Libby masih di sana, terlelap bersama bonekanya. Rambutnya berantakan di atas bantal.
Libby merasakan kehadiran kakaknya. Dia membuka mata dan duduk. “Apa kita sudah sampai?”
“Benar sekali. Kamu masih ngantuk?”
Libby menggeleng. Dia mengucek mata lalu mengedarkan pandangannya. “Di mana kak Milo?”
“Sudah masuk ke dalam.”
Libby bergerak ke pinggir bersama bonekanya lalu keluar dari pintu yang dibuka Farrell. Ketika menjejak ke tanah, tingginya hanya dua per tiga dari Farrell. Dia senang dengan hal ini. Libby selalu merasa aman berdiri di samping kakaknya. “Aku lapar,” katanya.
“Berita bagus untukmu, paman sedang menyiapkan teh dan kue untuk kita.”
Sambil membawa kopernya sendiri, Farrell menggandeng Libby memasuki penginapan. Suasana lobby berbeda dari bayangan Farrell. Meja resepsionis ada di seberang pintu masuk. Mejanya terbuat dari kayu dengan aksen batu, menjulang tinggi menutupi siapa pun yang ada di baliknya. Di sebelah kiri, terdapat sejenis ruang duduk berisi satu set sofa besar dilengkapi meja kopi. Ada pula jendela kotak besar menghadap ke depan dan ke samping penginapan.
William menjumpai Farrell lagi. “Biar kubawakan ke kamar.”
“Terima kasih.”
Seorang perempuan muda muncul dari balik meja resepsionis. Dia mengenakan jas hijau neon pula. Rambut merahnya diikat ekor kuda. Sambil menggigit bibir, dia mendekati Farrell. Nama ‘Emily’ terpasang di seragamnya. “Permisi,” sapanya pelan. “Tadi pak Albert minta kalian menemuinya di restoran.”
“Oke.”
Farrell melihat ruang lain di sisi kanan lobby. Kedua daun pintunya terbuka keluar, memperlihatkan papan kayu bulat di bagian dalam. Tulisan ‘Resto’ terukir di sana.
Restoran memiliki jendela tinggi menjulang hingga ke atas. Jendela ini memenuhi dinding bagian depan dan samping. Meja bar lengkap dengan kursi tinggi ada di belakang ruangan. Jajaran meja bulat memenuhi sisanya. Paman dan Milo ada di sudut depan. Keduanya sudah melepas jaket mereka masing-masing. Ketika Milo melihat Farrell, dia langsung melambaikan tangan.
“Hei, Libby!” paman menyambut Libby dengan pelukan. “Ya ampun, kenapa bonekamu?” tanya paman menunjuk ke boneka kelinci. Bagian kupingnya berlubang dan ada jahitan di bagian kakinya. “Kasihan sekali. Bagaimana kalau paman berikan yang baru? Lihat ini, paman sudah menyiapkan hadiah untukmu.”
Paman mengambil tas kertas di lantai. Dia mengeluarkan sebuah boneka beruang kuning muda. Lehernya diikat pita merah. Matanya dari kancing hitam, mengilap saat terkena sinar lampu.
Libby tersenyum. “Wow, terima kasih paman.”
“Biar paman singkirkan itu untukmu, ya,” kata paman lagi sambil mengulurkan tangan untuk mengambil boneka kelinci dari pelukan keponakan perempuannya.
Spontan, Libby berseru, “Tidak! Toto tetap bersamaku!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Sepertinya bukan hanya ungkapan...
2022-08-14
1
dyz_be
Wow...
Weird 😶😶
2022-08-14
1
dyz_be
Adakah penjelasannya, nanti?
😞😞
2022-08-14
1