Road Trip

Ketika masuk ke jalan tol, suasana mobil mendadak jadi sangat sepi. Farrell tidak salah soal kebiasaan kedua adiknya. Begitu tadi masuk ke mobil, Milo mengeluarkan ponsel, menancapkan headset, lalu menutup kepalanya dengan tudung jaket, dan tidur. Tak lama kemudian, Libby sudah selonjor di bangku tengah, terlelap sambil memeluk boneka. Adik perempuannya nampak nyaman dengan bantal dan selimut. Farrell melanjutkan kebiasaan kedua orang tuanya saat pergi keluar kota.

Jalan menuju keluar kota cukup padat seperti dugaan Farrell. Dia menyupir dengan tenang, nampak tak terganggu kepadatan. Teman-teman memang menyebutnya sangat sabar kalau soal menyetir. Dia sendiri menganggap ucapan mereka tak lebih dari sekedar lelucon. Setelah menyetir cukup lama, Farrell akhirnya keluar dari jalan tol. Mobilnya melewati jalan aspal menanjak.

Deretan pohon cemara tinggi berbaris rapi di sisi kanan kiri jalan seperti prajurit penjaga. Ujung pepohonan dihiasi warna putih salju. Begitu pula pada bagian bawah, ada tumpukan salju tipis. Jalanan nampak berkilau karena basah oleh salju yang mencair. Beberapa mobil masih nampak berlalu lalang, entah itu searah dengannya atau di jalur berlawanan. Semakin naik, kondisi semakin sepi.

Keheningan masih menaungi mobil. Dia yakin kondisi di luar sama heningnya. Kalau pun berbeda, pasti hanya suara deru mobilnya dan desiran angin. Terkadang angin bertiup cukup kencang. Butiran salju terbawa berputar-putar sebelum menerpa mobil, mengotori kaca depan serta kap depan. Farrell pun mulai sering menggunakan wiper untuk menjernihkan pandangan.

Jalan begitu monoton. Lurus menanjak tanpa persimpangan. Farrell bahkan tak ingat kapan terakhir kali mereka berbelok. Dia hanya membiarkan mobilnya mengikuti arus jalan. Matanya mengamati pinggir jalan, masih mencari papan petunjuk. Perjalanan terasa lama dan membosankan apalagi tanpa adanya teman bicara. Pemandangan terhampar hanya mengandung warna putih dan kelabu. Udara makin dingin. Jarak pandang juga makin terbatas. Angin menderu lebih kencang dan serpihan salju lebih banyak. Mereka menabrak kaca tanpa ampun.

Hanya salju biasa, Farrell menenangkan hatinya. Dia pernah merasakan yang lebih buruk, tapi tidak menyetir, dan tidak bersama adiknya.

Farrell melihat lewat kaca spion tengah. Tak ada mobil lain di belakang atau di depan. Mereka sendirian. Meski tak mau mengakui, ada rasa gelisah dalam hatinya. Dia menoleh ke atas, berharap cahaya matahari mau datang. Sayangnya, dia tak menemukannya. Alih-alih cahaya keemasan mentari, dia menemukan cahaya perak cenderung kelabu. Itu pun terganggu salju. Tahu-tahu, tangannya sudah mencengkram erat kemudi. Dia pun mendengus, menertawakan kecemasannya sendiri. Untuk mengusir kejenuhan, dia menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, tetap dengan mata menghadap ke depan.

Ini bukan pertama kalinya dia menyetir jauh keluar kota. Tapi, dirinya merasa tak tenang kali ini. Mungkin karena pertama kali menyetir sendiri ke penginapan milik keluarga. Baiklah, tidak benar-benar seorang diri. Dia ditemani kedua adiknya yang terlelap bahkan tak peduli kemana kakaknya akan membawa mereka.

Tidak, mereka tidak tersesat. Farrell bicara lagi pada dirinya sendiri. Dia memang tidak ingat jalan yang dulu dia lalui, tapi menurut sistem navigasi arahnya sudah benar. Jalanan terus menanjak. Semakin jauh, semakin naik, semakin dingin. Salju turun makin deras. Mereka menampar mobil tanpa ampun. Udara dingin menderu di luar, mengalahkan mesin mobil. Suara mereka terdengar sangat tak ramah. Farrell kini kesulitan melihat jalan di depan apalagi melihat papan petunjuk. Sekali lagi dirinya memeriksa alat navigasi. Mereka masih berada di jalan yang benar.

Kegelisahan tak lantas  meninggalkan Farrell. Dirinya masih merasa seolah ada beban berat di bahu. Punggung dan lehernya lelah. Dia berharap bisa menemukan seseorang untuk diminta bantuan atau sedikit kepastian mengenai jalan yang benar.

“Wow! Coba cek ini!”

Farrell tersentak. Dia tak menyangka kalau Milo sudah bangun.

“Tidak ada bar sinyal sama sekali!” Mata Milo terbelalak menatap ponselnya. Tangannya melepas tudung jaket serta headset. “Tunggu sebentar… Kita tidak sedang tersesat, ‘kan?” Milo sekarang mengernyit menatap alat navigasi yang terpasang di tengah mobil.

“Mode offline.” Farrell menjawab singkat, masih berusaha menenangkan hatinya.

“Saljunya gila!” Milo melirik keluar lewat jendela samping. Butiran salju bahkan sudah menumpuk di tepi bawah jendela. “Ini persis seperti berita yang kubaca kemarin malam.”

“Perkiraan cuaca?”

“Bukan. Soal Octorino.” Milo menyebutkan tempat di mana penginapan mereka terletak. “Katanya sekarang tempat itu selalu dihujani salju deras. Belum lagi banyak serigala berkeliaran. Ada kru TV yang mencoba meliput keadaan di sana. Mau tahu bagaimana akhirnya? Mereka pulang dengan tangan kosong. Badai salju menghadang mereka. Sekumpulan serigala bahkan nyaris menerkam si fotografer.”

“Itu berlebihan.”

“Mereka mencantumkan beberapa foto di situs.”

“Kamu percaya berita mereka?”

“Nggak juga.” Milo membuang tatapannya keluar jendela lagi. Sesaat kemudian, dia menatap kakaknya. “Apa yang akan kita lakukan kalau bertemu serigala di tengah badai salju? Maksudku… Kita sedang berada dalam badai salju, bukan?”

“Bukan. Ini hanya hujan salju biasa.” Farrell berusaha tetap tenang menghadapi pertanyaan Milo.

“Ini nampak seperti badai salju buatku.”

Farrell memutar bola matanya, tak ingin melanjutkan percakapan. Milo membuatnya lebih gelisah bukan tenang. Sama sekali tidak membantu. Mungkin dia malah berharap kalau Milo kembali tidur saja. Saat Milo gelisah, dia akan cenderung membuat gelisah orang lain juga untuk mendapat teman. Farrell selalu berusaha keras agar tak terjebak dalam pusaran kegelisahan adiknya.

“Kita tidak tersesat?” Milo bertanya lagi. Kali ini terdengar seperti ucapan pada dirinya sendiri.

“Tidak, Milo.”

“Kamu tahu kemana arah yang benar?”

“Aku tahu.”

Seolah setuju dengan Farrell, salju dan angin mulai mereda. Mobil bergerak konstan di jalanan lurus. Tak lama setelahnya, Farrell mendapati kalau jalanan beraspal di depan mereka habis digantikan jalanan berbatu. Pepohonan lebih rapat. Mereka tumbuh berhimpitan dengan semak-semak. Jalanan di depan mereka nampak bagai seperti lorong.

“Kita nggak akan masuk ke sana, ‘kan?” Milo mengernyit.

“Kenapa tidak?”

Farrell mengurangi kecepatan mobil. Jalan tak rata membuat mobil sedikit berguncang. Libby di belakang tidak terganggu sama sekali. Milo menjulurkan kepala ke depan, berharap bisa melihat lebih jelas di balik pepohonan. Farrell menyuruhnya mundur karena menghalangi spion samping. Milo menurut, meski hanya sebentar. Untung saja jalanan melengkung tersebut singkat.

Jemari Farrell menunjuk warna coklat kusam tak jauh di depan mereka.  Warna coklatnya sedikit lebih cerah dari warna batang pohon yang cenderung hitam dan bentuknya lebih lebar. Farrell memacu mobil berjalan mendekat. Rupanya benda tersebut adalah plang petunjuk penginapan. Plang tersebut sudah tua. Batang besinya berkarat. Kayunya lapuk bahkan berlubang di beberapa bagian. Tulisannya tak mudah terbaca. Hanya bagian ‘ED’ di bagian atas dan ‘L’ di bagian bawah yang masih jelas.

“Wow…” Milo hanya bisa ternganga ketika salju berhenti turun sempurna dan menunjukkan bangunan di belakang plang nama.

“Kita sampai.” Farrell menghentikan mobil. Tangannya bertumpu di atas kemudi dan matanya memandang kagum ke depan. Dia tak bisa menahan diri dari tersenyum. “Selamat datang di Eden’s Lodge.”

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Kakak yg baik, berusaha tetap tenang ditengah badai hati yg gelisah
😏😏😏

2022-08-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!