Maple Bar

Melihat paman melongo, Milo pun menimpali, “Libby nggak terpisahkan dari bonekanya, paman. Jangan diambil hati. Farrell sudah membelikan banyak boneka baru. Nggak satu pun pernah Libby ajak jalan-jalan. Toto tetap favoritnya. Biarkan saja.”

Paman pun hanya bisa mengangguk. “Ya, ya. Paman paham. Tapi, ini tetap pemberian paman untukmu. Jangan lupa dibawa, ya.”

Gantian Libby yang mengangguk.

Di atas meja sudah terhidang petit four. Mereka memenuhi rak kue tiga tingkat. Ada yang memiliki buah di bagian atas, ada yang berlumuran coklat, ada yang ditaburi keju, ada yang berisi vla, dan banyak lagi. Sebagai teman hidangan, ada teko berisi teh beraroma karamel lengkap dengan guci susu dan gula.

“Jadi, ceritakan tentang keseharian kalian,” pinta paman seraya menuangkan teh untuk Farrell dan Libby. “Milo baru selesai cerita soal kemenangannya di tingkat nasional. Kupikir itu cukup menarik.” Milo tersenyum ke arah paman sambil menyuapkan cake keju ke dalam mulutnya. Paman menoleh pada Farrell, “Bagaimana denganmu, Farrell? Katanya sekarang kamu mengajar di sekolah. Guru, eh?”

“Ya, aku mengajar di sekolah dasar. Aku punya teman yang jadi guru di sana. Dia bilang sekolahnya sedang butuh bantuan karena ada beberapa guru yang mengundurkan diri semester lalu Jadi, aku membantu di sana sambil menunggu proses beasiswa selesai.”

“Ah, akhirnya… Kamu jadi mengajukan program studi master?”

Belum sempat menjawab, Milo kembali menimpali. Kali ini didahului dengan batuk yang disengaja. “Ehem… Seorang gadis. Di sekolah.”

“Hoooo… Jadi, teman gurumu itu seorang gadis, eh?”

Farrell memutar bola matanya. “Milo, kamu tahu dia laki-laki. Namanya Maple, laki-laki bukan perempuan. Kamu pernah bertemu dengannya.”

“Hanya bercanda. Salahkan namanya.”

“Ah, itu mengingatkanku sesuatu.” Paman melirik ke meja bar dan memanggil, “Remy!”

Pemuda itu, Remy, menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari balik meja bar. Perawakannya kecil, pipinya berbintik. Sama seperti Emily dan William, Remy juga mengenakan jas hijau neon tanpa dasi. Tangannya terkepal erat ketika berjalan mendekat. Ketika berdiri di samping paman, lagi-lagi dia menarik napas dalam-dalam sebelum bicara. “Ya, pak Albert? Apa Anda membutuhkan sesuatu?”

Paman mulai dengan memperkenalkannya, “Anak-anak, ini Remy. Koki dan penanggung jawab di restoran. Kapan pun kalian merasa lapar, datang saja padanya. Dia bisa membuatkan apa pun.  Aku serius. Tinggal bilang saja.” Baru setelah itu, dia menatap Remy. “Remy, kamu masih punya chocolate maple bar di kulkas? Bawakan kemari. Biar anak-anak ini mencicipinya.”

“Ba— Baik, tuan. Eh… Maksudku… Baik, Pak.”

Setelah Remy pergi, pembicaraan pun berlanjut.

“Paman, kenapa jendela di sini punya dua penutup?” Farrell bertanya setelah memperhatikan kalau setiap jendela di penginapan memiliki daun jendela kayu tebal di bagian luar setelah daun jendela dari kaca. Sementara di rumah, mereka hanya punya daun jendela dari kaca. Sebenarnya Farrell sudah punya dugaan kalau ini berhubungan dengan badai, dia hanya ingin mendengar alasan langsung dari paman.

“Kita selalu mempersiapkan yang terburuk, Farrell.”

“Untuk menahan badai?” tebak Libby sambil mengambil kue dengan pencapit. “Sepertinya kami melewati badai salju tadi waktu aku tidur. Mobil kak Farrell penuh salju.”

“Serigala?” sahut Milo setelah mengingat artikel yang dia baca semalam. Ucapannya membuat Libby menatapnya dengan alis berkerut. “Kudengar di sekitar sini banyak serigala.”

Paman tergelak. “Darimana kamu dengar itu? Tidak ada serigala di sini, Milo. Kalau ada serigala, kami tak akan dapat tamu.”

“Ngomong-ngomong, paman, aku belum lihat satu pun tamu di sini,” kata Milo. “Bukankah ini sedang musim liburan? Kukira penginapan akan ramai.”

“Ah, benar juga! Mereka… Ehm… Mereka… ada di sisi lain hotel.”

“Oh? Mereka sedang bermain ski? Aku ingin sekali mencobanya!”

“Aku harus mengecewakanmu soal itu. Sayang sekali, Milo, kami sudah lama menutup lintasannya. Terlalu banyak perawatan. Ribet.” Paman menoleh ketika Remy keluar dari dapur di balik meja bar. “Ah, itu dia! Chocolate maple bar! Mari kita lihat reaksi anak-anak ini dengan inovasi terbarumu, Remy. Mereka pasti terkejut” Paman berkedip pada si koki.

Remy meletakkan nampan stainless steel di tengah meja. Ada potongan bar putih persegi berlapis coklat tersusun rapi di sana. Milo mengambil satu dan memasukkan seluruhnya langsung dalam mulut. Tak lama setelahnya, dia pun menunjukkan kedua jempolnya. Libby juga memakannya, mengunyah seraya mengangguk. Tapi, Farrell bergeming.

“Apa saja bahan-bahannya?” tanya Farrell.

“Ba— Ba— Bahan apa?” Remy gelagapan saat Farrell bertanya padanya.

“Farrell, itu rahasia koki,” sahut paman.

Farrell menggeleng. “Aku nggak berniat meniru resepnya, paman. Tapi, aku alergi kelapa dan sepertinya—”

Milo bergumam dengan mulut penuh tapi terkatup. Setelah menelan semuanya baru dia bicara lagi, “Benar, benar! Ada rasa kelapa di lapisan putihnya. Sayang sekali ya, sepertinya kamu nggak bisa makan ini. Padahal enak, lho...” Milo tersenyum simpul pada kakaknya.

“Terima kasih perhatiannya, tapi aku nggak mau liburanku diisi gatal-gatal. Jadi, aku makan yang lain saja. Maaf, ya,” katanya sambil melirik Remy. Di luar dugaan Farrell, Remy malah menghela napas lega. Wajahnya menunduk, tatapannya melekat pada piring Farrell yang masih kosong. “Aku coba fruit tart saja,” kata Farrell lagi seraya mengambil kue pertamanya.

“Remy, ingat itu! Tanpa kelapa! Jangan sampai kamu membuat keponakanku sakit. Buatkan menu yang aman!” pinta paman.

“Hah? Ha— Hah? I— I— Iya.” Remy pun pergi meninggalkan mereka.

Milo mengambil bar berikutnya, “Pelayan gagap yang lucu.”

Paman angkat bahu. “Ya. Aku sebenarnya berharap dapat orang lebih baik dan lebih dewasa. Dia masih tujuh belas tahun. Dua tahun lebih tua darimu.”

“Sungguh? Baru tujuh belas tahun sudah bisa membuat kue enak seperti ini? Dia hebat.” Milo terbelalak. “Oh, ya, paman. Apa di sini ada wifi? Aku ingin main game online dan browsing. Tapi tak ada sinyal di sini.”

Paman malah tertawa. “Ya ampun, anak zaman sekarang… Memang nggak ada sinyal yang bisa sampai kemari, Milo. Termasuk sinyal TV. Kalau kamu butuh menelepon keluar, kamu bisa pakai telepon di meja resepsionis. Tempat ini sempurna untuk mencari ketenangan.”

Mulut Milo menganga mendengar jawaban tersebut. “Aku butuh internet bukan telepon.”

Libby menyenggol lengan Milo. “Setidaknya mereka masih punya listrik dan jaringan telepon.”

“Itu terdengar mengerikan di telingaku. Apa yang bisa kita lakukan di sini tanpa sinyal, tanpa TV, tanpa game, tanpa internet, bahkan tanpa jalur ski?”

“Selamat datang di masa kecilku,”sahut Farrell. “Kamu bisa main petak umpet atau berkeliling.”

“Ya!” paman setuju dengan Farrell. “Ada banyak keajaiban tersebar di penginapan ini. Kalian hanya perlu membuka mata lebar-lebar dan mengamati sekelling. Coba saja, aku yakin kalian akan terpukau.”

Terpopuler

Comments

dyz_be

dyz_be

Ada apa ya?
Ada sesuatu kah di kuenya?
Yg malah membuat Remy tenang karena Farrel batal memakannya...

2022-08-14

1

dyz_be

dyz_be

Ah... Sesuatu gg "tersembunyi"
😮😮😮

2022-08-14

1

dyz_be

dyz_be

😟😟😟

2022-08-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!