Di balik pintu, Farrell menjumpai sebuah lorong pendek yang sedikit berbeda. Lorong ini memang masih bernuansa kayu. Separuh ke bawah dindingnya tertutup panel kayu sementara separuh ke atas dicat warna hijau muda. Lantainya menggunakan parquet coklat kemerahan. Pada sisi kiri lorong, disusun kursi dan meja kecil dengan pot di atasnya. Di seberangnya, ada lukisan pemandangan. Secara interior, memang tak nampak perbedaan jelas. Tapi, nuansa ini entah kenapa membuat Farrell merasakan perubahan drastis. Ada semacam perasaan rindu bercampur senang dan sedikit kesedihan.
Detik berikutnya, Farrell tersentak. Satu dari dua lukisan di dekatnya bergerak. Bergerak dalam arti sesungguhnya. Daun pohon tersebut bergoyang seolah tertiup angin. Cahaya mentari di atasnya membuat bayangan pohon menari. Ini terjadi selama beberapa detik. Selama beberapa detik itu pula, Farrell memandangnya tanpa berkedip. Dia tahu beberapa trik untuk semacam ini misalnya menggunakan pigura digital. Namun, lukisan ini terlalu nyata. Farrell bahkan bisa merasakan hembusan angin keluar darinya. Padahal permukaannya kasar seperti lukisan cat minyak biasa.
Berikutnya, gantian lukisan di sebelah. Lukisan itu menggambarkan laut. Sama seperti lukisan pertama, lukisan ini sepintas nampak seperti lukisan biasa. Beberapa bagian ombaknya menonjol, menutupi sebagian badan kapal. Ombak tersebut bergerak, menghantam badan kapal, membuat cipratan air di sekeliling. Samar-samar, Farrell mendengar suara ombak diselingi suara burung camar. Layar kapal bergoyang saat angin meniupnya. Terlalu nyata. Farrell mengulurkan jari untuk memegang. Namun, belum sempat melakukannya, lukisan tersebut kembali mematung seolah tak ingin disentuh.
Berikutnya, telinga Farrell menangkap suara-suara. Suara campuran antara dentingan alat makan dalam alunan musik dan riuh rendahnya percakapan. Dia menyadari kombinasi suara seperti itu biasa terdengar di pesta, jamuan makan, atau semacamnya. Kalau makan malamnya diadakan di sini, kenapa William tidak mengatakan apa pun dan kenapa ada makanan juga disediakan di restoran depan?
Farrell bergerak maju. Dia menemukan dirinya berada di balkon lantai dua dengan tangga mengapit di masing-masing sisi. Di bawah, dia melihat banyak orang berlalu lalang di atas lantai marmer coklat. Mereka membawa piring berisi makanan, ngobrol berdiri bersama teman mereka, berkelompok-kelompok. Orang-orang itu datang dari pintu di sebelah kanan. Farrell menangkap kesan kalau orang-orang ini baru mengambil makanan di dalam ruangan lalu keluar untuk menikmatinya karena tak ada tempat duduk lagi di dalam.
Farrell pun melangkahkan kaki dan mulai menuruni tangga. Kini, dia menyadari keanehan lainnya. Jendela tinggi berderet di seberang tangga. Mereka menunjukkan cahaya mentari cerah. Cahayanya membanjiri seluruh ruangan. Di balik jendela, pemandangannya sedikit berbeda. Tidak terlihat lintasan ski, tidak terlihat pohon satu pun. Sebagai gantinya, ada jurang-jurang curam di dekatnya tertutup salju dengan latar langit kelabu. Ketika menengok ke bawah, nampak tebing dalam tak berujung.
Sesuatu membuatnya bergidik. Bukan karena melihat jurang dalam, tapi karena banyaknya keanehan. Semua yang dilihatnya saat ini terlalu nyata. Dia tak tahu trik apa yang dipakai pamannya untuk menghasilkan pemandangan seperti itu.
Farrell tiba di dasar tangga. Dia memutar pandangannya berkeliling. Beberapa orang di sana mengacuhkan kehadirannya. Beberapa lagi hanya meliriknya sebentar. Tak seorang pun menyapanya, tak seorang pun dia kenal. Tak ada paman, tak ada Milo dan Libby, juga tak nampak satu pun pegawai penginapan. Dia melangkah lagi menuju ruangan besar di sisi kanan, di mana orang-orang tersebut mendapatkan makan malam mereka atau makan pagi mereka — mengingat ini adalah pagi cerah.
Ruangan tersebut jauh lebih besar dari restoran di samping lobby. Langit-langitnya menjulang hingga ke lantai dua. Pilar kayu besar menempel di tepi. Dindingnya dipenuhi jendela-jendela tinggi, polos tanpa ornamen, berbingkai kayu hitam, berhias tirai coklat tebal. Meja-meja bulat berbaris rapi bersama empat kursi. Para pengunjung menikmati makanan mereka di sana setelah mengambil makanan di meja saji. Meja saji merupakan meja panjang dari potongan tengah batang pohon. Berani bertaruh kalau kayu yang dipakai usianya ratusan tahun karena sangat panjang dan lebar. Ada dua meja seperti ini. Diletakkan di tepi ruangan dekat jendela. Mereka memuat beragam makanan. Mulai dari sup, roti, daging, buah, dan jamuan lainnya. Persis seperti sebuah pesta.
Farrell terdiam di bawah pintu masuk. Matanya bergerak-gerak menyapu sekeliling dengan mulut terkatup rapat. Tempat itu dipenuhi orang. Semua sibuk menikmati makanan atau sekedar ngobrol sambil minum kopi. Pemandangan di balik jendela sama seperti yang dia lihat tadi. Langit kelabu tak berawan dengan sinar matahari. Seolah-olah pagi baru menghampiri penginapan yang menempel pada tepi jurang.
“Kamu mencari sesuatu, anak muda?” Seorang nenek menyapa.
Farrell nyaris melompat karenanya. Nenek itu tersenyum padanya. Rambutnya putih termakan usia, digelung ke atas. Badannya agak bungkuk. Scarf merah kotak-kotak menutupi punggung. Tangan kanannya memegang tongkat sementara tangan kirinya memegang piring kotor.
“Piringnya ada di sana,” kata nenek lagi sambil menegok ke bagian kanan ruangan. “Kalau minumannya ada di depan situ.”
Farrell tak mampu menjawab jadi dia hanya mengangguk.
“Jangan diam saja seperti itu, nanti kamu kelaparan, lho. Hehehe…” Nenek itu pergi meninggalkannya.
Setelah beberapa meter pergi darinya, Farrell memutuskan mengikuti si nenek. Dia melewati meja-meja penuh orang. Salah satunya sedang makan sup bola-bola hitam putih. Sepintas, bentuknya seperti bola mata. Farrell mengalihkan pandangan, tak mau menebak. Di meja lain, seseorang pria sedang sibuk menulis. Sendoknya melayang sendiri, menyuapkan makanan ke mulut. Ada pula seekor kucing mengenakan topi. Makhluk ini duduk di kursi dengan piring di depannya. Mata si kucing mengamati ketika Farrell melangkah.
Farrell melihat hewan lain. Burung hantu putih. Burung tersebut hinggap pada tiang kayu hitam di ujung ruangan. Ketika tatapan mereka bertemu, hewan ini menatapnya lekat-lekat seolah ingin mengatakan sesuatu. Kemudian, dia terbang begitu saja menuju lorong di sisi lain ruangan. Separuh dirinya bersyukur karena burung itu tidak bicara. Semua keganjilan membuatnya mulai berpikir aneh-aneh.
Farrell berbelok ke meja saji. Dia melihat aneka makanan yang baru pertama kali dilihatnya. Misalnya, sup bola mata tadi. Sendok sup bergerak berputar ketika Farrell mendekat. Seolah mau menawarkan makanan padanya, sendok itu melayang naik dengan isi penuh lalu berhenti di tengah udara.
Farrell menggeleng. “Tidak, terima kasih.” Itu pertama kali buatnya bicara pada peralatan makan.
Sendok sup pun kembali ke dalam kualinya, berputar sekali, dan diam. Ketika mendekat pada kuali berikutnya, hal sama terjadi. Bahkan setiap kali dia mendekat pada satu jenis makanan, alat sajinya bergerak sendiri. Mereka seolah ingin melayani dirinya. Alih-alih kagum, Farrell dipenuhi rasa penasaran bercampur ngeri. Di ujung meja, ada satu menu membuatnya lebih terkejut lagi. Nama makanan tersebut ‘Volcano Pie’. Pie tersebut berdiameter sepuluh centimeter. Pinggirnya seperti pie biasa dan bentuknya membubung di bagian tengah dengan lubang kecil seperti gunung berapi. Seolah menyambut kehadirannya, asap menyembul dari tengah pie. Persis seperti gunung berapi siap meletus.
“Oke. Ini baru,” gumam Farrell pada dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
dyz_be
Wow wow wow...
Tak terungkap dengan kata2
selain "Keren"
😎😎😎😎😎
2022-08-14
1