Serena menatap tak percaya sahabat yang kini berada di depannya. Kristal bening yang terasa hangat tanpa ia sadari lolos dari manik indahnya. Tanpa pikir panjang Serena berlari memeluk sahabat yang amat dirindukannya.
"Momo aku senang, sangat senang bisa bertemu dirimu lagi. Ayo kita pulang bersama."
Momo membalas pelukan itu dengan senyuman kebahagiaan. Namun senyum itu berubah sendu saat mendengar kalimat Serena.
"Maaf," ucap Momo dengan nada pelan lebih seperti berbisik.
"Kau bicara sesuatu Momo?" Serena tidak cukup jelas mendengar kata kata sahabatnya itu.
"Maafkan aku tak bisa pulang. kita... hiks... tak... bisa... bersama... lagi." Momo ikut menangis.
"Dunia kita sudah berbeda kau dan aku tak di izinkan untuk bersama." Momo mengeratkan pelukannya.
"Apa yang kau katakan Momo?"
"Di dunia kita kau sudah tiada Rena. Kau sudah meninggal karena bencana alam. Kau di temukan meninggal karena tertimpa lemari saat gempa terjadi." Momo menangis sejadi jadinya.
"Maaf... aku... tak... hiks... bisa... hiks... melindungi mu." Momo menangis sejadi jadinya.
"Bukan salahmu Momo."
Entah mengapa Momo tersenyum mengerikan. Karena posisi mereka Serena tak dapat melihat wajah itu.
"Jadi kenapa kita tidak tinggal disini saja? Kita bisa tinggal disini bersama selamanya. Aku tidak akan berpisah dengan kamu lagi Rena."
Momo mengatakan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan dan diartikan.
"Jangan dengarkan dia."
Serena melepas pelukannya dan menoleh kebelakang tempat suara tadi berasal. Betapa terkejutnya ternyata itu juga Momo.
"Sadarlah Serena ini bukan tempat mu. Duniamu sudah tidak seperti yang dulu lagi. Aku mohon pulanglah mereka membutuhkanmu."
"Tidak Serena jangan dengarkan dia. Dia ingin memisahkan kita. Bukankah bagus kita bisa tinggal bersama."
"Bukalah mata dan telingamu Serena. Dengarkan suara orang orang yang memanggilmu. Mereka semua membutuhkan dirimu Rena."
Serena terdiam dia bingung harus apa yang harus dia lakukan? Siapa yang harus ia percayai? Dua duanya sama sama berwujud sahabatnya. Sahabat yang benar benar ia sayangi.
...☆☆☆...
Arianda menatap punggung Berlin yang kembali asyik dengan mawar di depannya.
'Serena. Serena dan Serena. Apa tak ada sedikitpun namaku di keluarga bibiku ini?'
"Berlin!"
Seseorang memanggil Berlin membuat sang pemilik nama dan Arianda menoleh mencari sumber suara. Berlin buru buru berdiri dan membungkukkan badan ketika melihat sang pemilik suara.
"Berlin memberi hormat pada pangeran ke dua dan ke tiga"
Mendengar kata pangeran Arianda langsung ikut menunduk memberi hormat pada Herlis dan Dean yang kini berada di hadapannya.
"Hormat pada pangeran kedua dan pangeran ketiga nama saya Arianda Idrus putri bungsu Baron Idrus."
Arianda memberikan senyuman terbaik di wajah yang memang dasarnya cantik dan manis miliknya. Namun Herlis dan Dean tak terlalu menggubrisnya.
"Tidak usah terlalu formal kalian berdirilah."
"Terimakasih pangeran."
"Aku ingin bicara denganmu Berlin. Hanya denganmu." Dean langsung to the point. Berlin paham maksud Dean.
"Ria bisa kau masuk dulu?” Arianda mengangguk dan tersenyum lalu dirinya pergi menjauh dari ketiganya.
"Mari pangeran kita bisa bicara di taman."
Kedua pangeran itu mengikuti Berlin tanpa membawa pengawal lain. Semua pengawal mereka suruh menunggu di kereta. Mereka mengambil tempat duduk di depan Berlin.
"Apa yang bisa saya bantu pangeran?"
"Sebenarnya hanya masalah kecil sih. Tapi ini menyangkut adikmu jadi kurasa menemui mu pilihan yang bagus."
"Tutup mulutmu Herlis. Aku sama sekali tak ingin basa basi. Dimana Serena dua minggu terakhir."
"Dia masih berlatih dengan saya sampai seminggu yang lalu pangeran."
"Apa seminggu yang lalu dia ada mengirim surat ke kerajaan untuk Dean?" Berlin menggeleng lemah. Pandangannya berubah sendu.
"Seminggu terakhir saya sama sekali tidak berhubungan dengan Serena pangeran."
Herlis dan Dean menautkan alisnya mendengar kata kata Berlin dan melihat ekspresi yang di tampilkan wajah cantik bawahannya itu.
"Apa kalian sedang ada masalah?"
"Aku sih tidak heran kalian bertengkar mengingat sifat Serena."
"Dean cukup. Mau bagaimanapun Serena masihlah tunangan mu."
"Cih! Menyebalkan."
Berlin hanya tersenyum yang kentara sekali kalau dipaksakan. Dia tak tau harus berekspresi seperti apa lagi untuk menanggapi perselisihan kecil kedua pangeran di hadapannya itu.
Mungkin mulut Dean mengatakan dia membenci Serena tapi tak biasa dipungkiri dia sebenarnya mengkhawatirkan Serena. Dirinya rindu akan semua sikap Serena yang selalu merecokinya dulu.
"Itu memang benar pangeran Herlis. Serena memanglah gadis kecil yang egois dan sulit diatur. Hanya saja masalah kali ini bukan antara saya dan Serena."
"Lalu?"
Entah mengapa hati Berlin terasa perih hanya untuk mengungkapkan kebenaran tentang Serena. Sekali lagi cairan bening meluncur tanpa aba aba dari kedua kelopak mata birunya.
Dean dan Herlis sedikit kelabakan dibuatnya. Ini pertama kalinya mereka berhadapan langsung dengan seorang wanita yang menangis. Jika melihat gadis yang menangis biasanya mereka akan meninggalkan atau menghindar dari gadis itu.
Tapi kali ini situasinya berbeda. Terlebih selama mereka berdua mengenal Berlin, ini kali pertamanya mereka melihat Berlin menangis perlu di garis bawahi PERTAMA KALI.
"Ya... ya... ada apa sebenarnya ini?"
"Serena dia..."
"Dia kenapa?"
"Cepat katakan Berlin." Tak bisa sudah Dean menutupi wajah panik dan khawatirnya.
"Dean tenanglah." Berlin yang tersadar langsung mengusap air matanya.
"Semenjak seminggu yang lalu Serena tak sadarkan diri."
"Bagaimana bisa?"
"Dia terkena racun akar Lotus Kembar pangeran."
"APA?"
...☆☆☆...
Drap
Drap
Drap
Tiga orang berjubah sedang memacu kuda. Mereka adalah Alex, Ane dan Jesica. Mereka memacu kuda menuju arah selatan tepatnya kearah kerajaan Prezia berada. Mereka berjalan dengan keadaan mulut terkunci rapat. Tak ada satupun yang berniat membuka suara. Hanya derap langkah kuda yang terdengar jelas.
Matahari sudah tenggelam sedari tadi. Langit biru cerah sudah di gantikan dengan langit malam penuh bintang yang tak tertutup awan satupun.
Akhirnya Alex yang berada di depan Ane dan Jesica menghentikan laju kudanya sehingga mau tak mau mereka berdua ikut berhenti.
"Ada apa Alex? Kenapa berhenti?"
"Kita perlu istirahat Jes. Perjalanan mungkin tak jauh lagi tapi kita perlu stamina yang bagus. Kalau kita paksakan sampai hari ini kita bisa kelelahan nantinya."
Tanpa suara Ane turun dari kuda. Semenjak dirinya mendapat hukuman lebih tepatnya ancaman dari tuan mereka Ane menjadi pendiam.
"Yang dikatakan Alex benar. Kita juga perlu rencana yang benar benar matang. Waktu kita tak banyak ingat itu." Jesica akhirnya ikut turun. Mereka mengikat kuda di salah satu pohon dekat mereka menyalakan api untuk menghangatkan badan.
"Besok kita akan sampai Prezia. Jangan mengecewakan tuan lagi ok?"
Ane dan Jesica mengangguk. Mereka tau dan sangat paham beberapa aturan tak tertulis organisasi mereka. Tidak mematuhi ketua, mengusik milik ketua, berkhianat, atau gagal dalam tugas maka hanya ada satu konsekuensinya yaitu mati.
Seseorang yang sudah masuk dalam Silver Moon jangan harap dapat lepas dari cengkeramannya. Jadi sebaiknya tidak tau dan tak ingin tau dari pada hidup dalam bayang ketakutan hanya karena awalnya penasaran.
Jesica dan Ane mengambil posisi dan bersiap untuk tidur. Sedangkan Alex masih memandangi api unggun mereka dengan tatapan kosong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Secret Admirers
berarti ane ngasih suratnya ke tuannya dong? wadidaw
2020-04-13
8
Lenha oks
🆙🆙🆙🆙
2020-01-20
1
Zeka Ainur Rizki
Semangat up thorrr.... Like bgt critanyaaaa.... 😍😍😍😍
2020-01-20
3