"Mia," panggil Dev.
"Iya, ada apa? Mau dibuatkan teh hangat?" tanya Mia.
Semakin lama tinggal bersama dengan Dev membuat Mia semakin tahu kebiasaan Dev. Tapi kali ini, dugaannya salah. Dev menggeleng saat Mia menawarkan teh hangat.
"Ikut aku ya nanti jam delapan!" pinta Dev.
"Mau kemana?" tanya Mia.
"Mandi saja dulu, nanti aku bawa ke tempat aman. Jangan takut!" ucap Dev.
Mia memang cerdas, namun akan sangat bawel ketika membahas sesuatu yang belum ia mengerti. Dan perihal kartu ATM, Mia belum mengerti. Dev tidak akan membiarkan Mia membuatnya pusing.
Mia hanya mengangguk dan menyelesaikan semua pekerjaannya. Tak lama, Haji Hamid duduk di meja makan. Sudah banyak menu sarapan. Dari roti sampai makanan berat sudah tersaji. Maklum, terbiasa di rumahnya dulu. Mia tidak pernah sarapan dengan roti, ia pasti mencukil nasi sampai nambah lagi. Padahal hanya dengan goreng tempe dan kerupuk saja. Itu baru sarapan. Tidak heran, karena tiap pagi Mia pasti akan bekerja sampai sore. Jadi selalu menyiapkan energinya sebelum peluh bercucuran demi menghasilkan rupiah.
Menikah dengan Haji Hamid membuat Mia merubah banyak hal. Satu yang tak bisa dirubahnya, menu sarapan. Mia selalu keringat dingin kalau tidak sarapan. Ya, meskipun sekarang porsinya tidak sebanyak dulu.
"Pak Haji, mau sarapan sekarang?" tanya Mia.
"Hemm," jawab Haji Hamid malas. Hjaji Hamid tak ingin banyak bicara dengan Mia. Takut kalau anak itu menanyakan lagi soal kartu ATM.
"Mau kopi?" tanya Mia.
"Boleh," jawab Haji Hamid singkat.
"Pak Haji marah ya sama Mia?" tanya Mia.
"Tidak," jawab Haji Hamid singkat.
Mia cemberut saat Haji Hamid mengacuhkannya.
"Bibirmu kalau di ukur bisa sampai lima senti, Mia." Dev terkekeh.
Mia tak menghiraukan ocehan Dev. Bisa-bisa bibirnya jadi 10 senti kalau meladeni ucapan Dev.
"Ini, Pak Haji." Mia menyerahkan secangkir kopi pada Haji Hamid.
Setelah itu, Mia sarapan sendirian. Masih nampak seperti anak kampung. Mia senang bisa makan dengan lauk yang bergizi. Bukan hanya goreng tempe dan kerupuk lagi.
"Mia, duluan ya!" ucap Mia sambil berdiri dari tempat makan dan langsung mencuci piringnya.
"Mandi, dan jangan lama. Aku nunggu di sini ya!" ucap Dev.
Mia mengangguk dan segera pergi ke kamarnya.
Dev dan Haji Hamid membicarakan banyak hal sebelum akhirnya Mia datang. Pakaian yang dipakai Mia memang sederhana. Tapi aura wajah Mia, membuat gadis itu terlihat sangat cantik.
Seandainya Haji Hamid dan Dev pria normal, mana kuat mereka tinggal satu atap tapi tak pernah menyentuhnya sama sekali. Ah, beruntunglah Mia.
"Ayo!" ajak Dev.
Mia mengangguk. Tak lupa izin pada Haji Hamid. Masih dengan wajah yang datar dan sangat dingin, Mia melangkah meninggalkan Haji Hamid yang masih memainkan ponselnya.
"Kita mau kemana Dev?" tanya Mia.
"Ke ATM," jawab Dev.
"Kartu? Aku sudah punya. Ini ada di tasku." Mia dengan polosnya menunjukkan kartu ATM pemberian Haji Hamid.
"Iya, aku tahu. Sekarang, kita akan ke mesin ATMnya. Belajar bagaimana cara menggunakannya. Ngerti?" tanya Dev.
"Jadi ini beneran bisa ngambil uang?" tanya Mia antusias.
"Yang bilang tidak bisa siapa?" tanya Dev.
"Tidak ada. Aku hanya berpikir aneh saja dari kartu ini bisa keluar uang." Mia membolak balikkan kartu ATMnya.
Ya Tuhan, pantas saja Hamid sampai darah tinggi. Anak ini sangat menguji kesabaran. Sabar Dev, sabar!
Dev memilih diam dan tidak memberi komentar apapun. Setelah dua puluh menit, Dev menghentikan mobilnya.
"Turun!" ucap Dev.
"Dev, jangan begitu. Mia tidak bawa uang." Mia merengek.
Dev mengerutkan dahinya. Drama apa lagi ini?
"Maksudnya?" tanya Dev penasaran.
"Jangan turunkan Mia di sini, nanti Mia pulang pake apa?" Mia hampir saja menangis.
Dev menghela napas cukup panjang untuk menjaga agar tubuhnya mendapat asupan oksogen yang banyak, untuk menjaga otaknya agar tetap waras saat menghadapi Mia.
"Mia, kita akan belajar menggunakan kartu ATM itu." Dev menunjuk kartu ATM yang masih dipegang oleh Mia.
Mia melihat ke arah luar. Nampak BANK sedang tutup. Hari ini hari minggu.
"Tutup!" Mia menunjuk ke arah BANK. "Kau jangan berbohong, Dev." Mia begitu panik.
"Mia ini hari minggu dan BANK memang tutup. Tapi kita akan ke sebelah sana." Dev menunjuk ke arah mesin ATM yang terletak di samping BANK yang bertulisakan TUTUP.
"Jangan banyak bicara! Ayo cepat turun!" Dev menyergah Mia saat mulutnya mulai terbuka untuk bertanya hal lain, yang pasti akan membuatnya semakin pusing.
Mia mengikuti Dev untuk masuk ke ruangan itu. Benar dugaan Dev, hanya dengan sekali memberikan contoh saja, membuat Mia langsung paham dan bisa. Dev tersenyum saat Mia bisa mempelajarinya dengan mudah.
Kartu ATM itu masih atas nama Haji Hamid. Saat akan membuat tabungan, KTP Mia belum selesai. Haji Hamid yang tak ingin pusing memberikan satu dari sekian kartu ATMnya untuk dipegang Mia sementara waktu. Setelah Mia membuat tabungan sendiri, Haji Hamid akan mengambil kembali kartu ATMnya.
Haji Hamid sengaja memberinya kartu ATM. Itu untuk memudahkan Mia saat sedang kuliah atau untuk membayar biaya kuliahnya sendiri.
Isi tabungan yang ada dalam kartu ATM Haji Hamid membuat mata Mia terbelalak. Mia berulang kali menghitung nol yang berderet mengikuti angka dua yang terletak di paling depan.
Delapan? Ya, nolnya ada delapan. Itu artinya dalam sebuah kartu kecil dan tipis itu tersimpan uang ratusan juta rupiah. Mia segera memasukkan kartu ATMnya dalam tas.
"Kenapa?" tanya Dev.
"Takut ada maling. Uangnya banyak Dev," ucap Mia.
Dev hanya tersenyum melihat kelakuan Mia. Itu belum seberapa dari harta milik Haji Hamid. Tanpa ingin berdebat, Dev mengajak Mia untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Dev memberi tahu rencana kepulangannya.
"Kenapa pulang, Dev?" tanya Mia.
Dev mulai menjelaskan tentang bagaimana pekerjaanya hingga mengharuskan dirinya untuk kembali.
Mia mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit saat mendengar Dev akan meninggalkan dirinya.
"Kenapa?" tanya Dev.
"Mia sedih Dev," jawab Mia sambil menyeka sudut matanya.
"Kau menangis? Apa yang membuatmu sedih?" tanya Dev.
Mia mengakui rasa keberatannya saat Dev memberi tahunya untuk pulang seminggu lagi. Setelah sekian lama bersama, membuat Mia merasa Dev adalah orang yang bisa membuat Mia tahu banyak hal. Mia yang tidak punya siapa-siapa kecuali ibu kandungnya, membuat Mia merasa nyaman di dekat Dev dan Haji Hamid. Mia benar-benar diperlakukan bagaikan manusia. Tidak seperti oleh pak Baskoro. Ah, sudahlah! Mia tak ingin mengingat pak Baskoro. Itu membuatnya semakin sakit.
Dev terharu. Ternyata anak polos itu menganggapnya sangat berarti. Akhirnya setelah hampir semua orang mencibir dan menjauhinya, ada orang yang justru sangat kehilangan ditinggalkan oleh dirinya.
"Mia sayang sama Dev, jangan lupakan Mia ya, Dev." Mia terlihat sangat sedih.
"Tentu," jawab Dev.
"Janji?" tanya Mia sambil mengangkat jari kelingkingnya.
"Janji," jawab Dev sambil mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Mia.
"Terima kasih Dev," ucap Mia.
"Aku yang harus berterima kasih. Sudahlah, jangan sedih! Ada ponsel. Kita bisa video call nanti ya!" ucap Dev mengusap kepala Mia.
"Oh iya, Mia sampai lupa." Mia tersenyum walaupun hatinya masih sedikit tak rela.
Mia, setulus itukah? Kau memang malaikat Mia. Hatimu sangat tulus dan sikap polosmu membuat aku menemukan dunia baru. Aku merasa benar-benar bahagia menjalani hidup ini.
##############
Titip jempol ya kak... Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Ana Ekawati
tetep nyimak walaupun no comen y thor
2021-06-14
1
Dadan Sungkawa
👍👍
2021-06-11
0
Gass Keunn
ketulusan seorang Mia..mudah mudahan bisa merubah Hamid dan dev
2021-06-11
1