Mia terbangun, menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Jam empat, Mia mengucek matanya. Melihat kembali jam itu. Ya, memang masih jam empat. Mia menarik kembali selimutnya, berusaha memejamkan matanya kembali. Kamarnya terlalu bagus, rasanya Mia masih ingin menikmati suasana tidur di kamar itu. Namun karena Mia sudah terbiasa bangun subuh, matanya tak bisa terpejam dengan nyenyak.
Mia menyingkirkan selimutnya dan terbangun. Duduk menyandarkan diri pada sandaran ranjangnya. Memejamkan matanya sebentar. Mia merasa sangat bersyukur dengan jalan hidupnya. Meskipun tidak ada rasa cinta dalam hatinya selain untuk kedua orang tuanya, Mia masih bisa tersenyum. Bahagia karena bisa tinggal di rumah mewah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Mia segera turun dari ranjangnya dan membersihkan diri. Kemudian Mia segera membereskan rumah yang luas itu. Mia yang sudah mandi, kini sudah bau keringat lagi. Sesekali Mia memegang pinggangnya, merasa lelah karena ukuran rumah yang sedang dibersihkannya itu tiga kali lipat dari rumahnya.
Haji Hamid mengamati semua yang dilakukan Mia. Matanya berkaca. "Masih kecil, tapi bebanmu sudah banyak, Mi."
Melihat rumahnya sudah sangat rapi, Haji Hamid turun dan pura-pura tidak tahu kalau Mia yang membereskan semua pekerjaan di rumahnya. "Kau yang mengerjakan semua ini Mia?"
"Iya, Pak Haji. Maaf ya kalau tidak terlalu beres dan kurang bersih," ucap Mia.
Haji Hamid acungkan jempol dan tersenyum pada Mia, kemudian berlalu menuju ruang makan.
"Mau di buatkan kopi, Pak Haji?" tanya Mia.
"Boleh," jawab Pak Haji.
"Ini, Pak Haji kopinya!" Mia menyerahkan secangkir kopi pada Haji Hamid.
"Terima kasih," ucap Haji Hamid kemudian menyeruput kopi yang masih mengepul asap panasnya. "Ini, kau pergi ke pasar beli bahan makanan." Haji Hamid menyerahkan uang sebesar lima ratus ribu rupiah pada Mia.
"Banyak sekali, Pak Haji."
"Beli yang banyak biar seminggu tidak perlu ke pasar lagi. Tapi saya tidak bisa mengantarmu."
"Mia bisa sendiri, Pak Haji."
Mia menyipkan roti dan selai coklat pada sebah piring. Jaga-jaga kalau Haji Hamid ingin sarapan saat dirinya sedang di pasar.
Layaknya seorang anak yang pamit pada orang tuanya, Mia mencium tangan Haji Hamid. Sekali lagi, Haji Hamid mengusap kepalanya. "Hati-hati di jalan!"
Mia mengangguk dan berlalu meninggalkan rumah yang besar itu. Ia berniat naik ojeg di perempatan depan. Langkah kakinya, dilihat oleh beberapa ibu-ibu gosip yang ada di sana.
"Tuh, daun muda Pak Haji."
"Ih, kok mau ya sama aki-aki?"
"Kalau urusannya udah duit sih, sama yang udah pakai tongkat juga mau."
Mia menelan ludahnya dengan sulit.
"Permisi, ibu-ibu." Mia selalu membalas ucapan ibu-ibu itu dengan sopan. Tidak ingin membalas apa yang sudah mereka lakukan. Mia tak mau ambil pusing. Hidupnya sudah banyak beban, tak mau menambah bebannya dengan menanggapi omongan ibu-ibu gosip itu.
Mia berlalu pergi ke pasar dan membeli beberapa bahan makanan. Menghabiskan uang yang diberikan oleh suaminya. Kembali ke rumah setelah menghabiskan waktu hampir satu jam.
"Pak Haji..." panggil Mia.
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai empat kali masih saja tak ada sahutan dari suaminya.
Mia mulai panik, kemana dia? Mia menyimpan barang belanjaannya di dapur kemudian menemukan sebuah kertas di atas meja makan.
'Saya keluar dulu! Kamu istirahat, jangan terlalu cape!'
Akhirnya Mia bisa bernapas lega. Rasa nyaman yang diberikan oleh Haji Hamid secara tak sadar membuat Mia merasa sangat takut ditinggalkan oleh Haji Hamid.
Mia membereskan sayuran yang sudah dibelinya dari pasar. Selesai. Namun Haji Hamid belum juga pulang. Mia memilih untuk duduk santai menonton tv pada sebuah ruangan yang terdapat sofa empuk di sana. Mia duduk dan bersandar, terlihat sangat nyaman. Menyalakan tv dan menonton beberapa acara yang ditayangkan di beberapa chanel. Semakin lama, semakin tak fokus. Mia mengganti chanel tv itu berkali-kali. Ia sampai ketiduran di atas sofa warna biru itu.
Saat terbangun, yang pertama Mia lakukan adalah melihat jam. Jam dua? Mia segera mematikan tv dan mencari Haji Hamid. Beberapa kali Mia memanggil namanya, namun masih sama. Tak ada sahutan. Belum pulang.
Mia segera memasak, jaga-jaga kalau suaminya pulang sore hari. Selesai masak, Mia mandi dan bersantai sambil menunggu suaminya. Hari sudah semakin gelap, namun suaminya masih juga belum pulang. Pikiran buruk sempat singgah di kepala Mia. Jangan-jangan A, jangan-jangan B. Tapi akhirnya Mia menepis semua pikiran buruknya. Mia tak ingin pikirannya menjadi doa untuk suaminya. Meskipun Mia tidak mencintai pria tua itu, namun Mia belum siap menjadi janda di usia tujuh belas tahun.
Mia menatap jam dinding, sudah semakin malam. Mia keluar dari kamarnya dan menunggu suaminya di sofa. Semakin lama, semakin ia merasa ngantuk. Sekeras apapun menahan matanya agar terus terbuka, namun akhirnya kalah juga. Mia ketiduran di sofa.
Pukul sepuluh malam Haji Hamid baru pulang. Ia melihat Mia tertidur di sofa. "Mia, pindah ke kamarmu." Haji Hamid mengguncang pelan tubuh Mia.
"Eh, Pak Haji." Mia melihat jam. Jam sepuluh? "Dari mana saja Pak Haji?" tanya Mia penasaran.
"Sudah malam, kau tidur dulu sana! Besok akan ku ceritakan semuanya." Haji Hamid berlalu meninggalkan Mia yang masih menatap punggungnya. Semakin lama semakin menjauh dan tak terlihat dalam pandangannya.
Haji Hamid memang sudah berusia 47 tahun. Namun tidak setua pria lain yang seusianya di kampungnya. Mungkin karena Haji Hamid punya banyak uang, jadi tak telalu banyak beban dalam hidupnya.
Padahal kenyataannya, Haji Hamid adalah pria kesepian. Seumur hidupnya, ia tak pernah menikah. Bahkan selama ia tinggal di sana, ia tak pernah dikunjungi oleh keluarganya. Haji Hamid memang bukan asli orang sana. Namun kebiasannya untuk mudah berbaur dengan masyarakat sekitar membuat ia betah di sana.
Mia bangun dan pindah ke kamarnya. Meskipun rasa penasarannya masih sangat besar, namun rasa kantuknya jauh lebih besar.
Tak perlu menunggu lama, saat tubuhnya terbaring di atas ranjangnya maka dengan segera Mia masuk ke alam mimpinya.
Sementara di kamarnya, Pak Haji sedang membuka beberapa kertas-kertas yang sudah penuh dengan tanda tangannya dalam setiap lembarnya.
Haji Hamid melepas kacamatanya dan segera membereskan kertas-kertas itu dan menyimpannya kembali dalam tempatnya semula. Ia merebahkan tubuhnya. Sesekali tangannya mengusap pinggangnya dan menggosoknya dengan balsem. Usianya yang tak muda lagi, membuat ia merasa sangat lelah setelah membereskan beberapa hal dalam seharian ini.
Aroma balsem malam ini, mewarnai kamar Haji Hamid. Ia Memejamkan matanya untuk beristirahat, karena besok sudah ada beberapa kegiatan yang harus ia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Sery
pak haji perjaka Ting tong
2022-06-03
0
Imam Aja
👍👍
2021-11-12
0
Imam Aja
👍👍
2021-11-12
0