"Mia," panggil Haji Hamid.
Tak terdengar sahutan dari orang yang ia panggil, membuat Haji Hamid mencari Mia ke kamarnya. Terlihat Mia tidur membelakangi pintu.
"Rupanya kau tidur, Mia. Istirahatlah! Kau pasti cape, maafkan aku sudah merepotkanmu." Haji Hamid mengusap kepala Mia dan mengambil formulir yang ada di atas nakas kemudian keluar dari kamar Mia.
Entah sudah berapa lama Mia tertidur. Wanita itu baru bangun ketika mendengar suara orang yang sedang mengobrol di luar kamarnya. Mia menyingkirkan selimutnya dan turun dari ranjang. Perlahan jalan berjinjit, kemudian menempelkan telinganya pada daun pintu kamarnya. Mia berusaha mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa tamu itu? Lama Mia mendengarkan suara dari luar kamarnya, namun hasilnya nihil. Tiba-tiba suara itu tak terdengar lagi. Apa mereka sudah tak di sana?
Mia ragu untuk ke luar dari kamarnya. Mia memilih untuk mandi. Hari sudah hampir gelap. Mia menggunakan baju tidur doraemon. Mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang dililitkan di atas kepalanya. Duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang dipantulkan cermin.
Mengusap wajahnya pelan. Pipinya semakin gembil semenjak nikah dengan Haji Hamid. Mungkin karena sekarang sudah tak merasakan tekanan dari pak Baskoro.
Hatinya seketika merindu orang tuanya, terutama ibunya. Bu Ningsih, seorang ibu yang selalu menguatkan hati Mia yang sangat rapuh. Semenjak menikah Mia tidak pernah mengunjungi orang tuanya. Mungkin besok Haji Hamid akan mengizinkannya untuk pulang dulu. Tapi Haji Hamid sedang ada tamu. Tidak mungkin Mia meninggalkan Haji Hamid menjamu tamu sendirian. Apa guna dirinya sebagai seorang istri.
Meskipun usia Mia masih sangat muda, namun kedewasaan sudah melekat dalam dirinya. Hidup yang penuh dengan perjuangan, tak membuatnya mengenal apa itu malas. Selagi masih ada tenaga dan waktu, semua pekerjaan akan dibabat habis olehnya.
Mia keluar dari kamarnya. Langkah kakinya menuju dapur. Benar dugaannya, di dapur sudah ada piring kotor. Mia segera membereskan semua piring dan gelas kotor kemudian mencucinya. Merapikan kembali pada tempatnya dan mengepel ruang makan..
Setelah semua selesai, Mia mengambil piring dan mengisinya dengan makanan hasil pasakannya. Masih banyak sekali sisa masakan di atas piring. Meskipun badannya kecil, namun wanita itu selalu makan dengan lahap. Saat sedang asyik makan, Mia mendengar suara Haji Hamid. "Berhenti sayang! Jangan seperti itu,"
Mata Mia membulat sempurna. Mulutnya terkatup, tak kuasa berucap apapun. Hatinya bergetar. Jantungnya berdebar tak karuan. Dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak. Ia berusaha mengatur napasnya. "P-Pak Haji, Mia makan," ucapnya basa basi.
"Ah, Mia. Lanjutkan!" ucap Haji Hamid dengan menutupi segala kepanikannya.
Mia mengangguk dan melanjutkan makannya meskipun sangat canggung. "Mia," ucap Haji Hamid yang menghampirinya.
"I-iya Pak Haji," jawab Mia dan mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatap Haji Hamid bersama seseorang. Entah siapa dia. Yang pasti kebaradaan orang itu membuat Mia tak enak hati, tak enak makan, dan mengganggu pikirannya.
"Kenalkan dia David," ucap Haji Hamid. "Dev, ini Mia," lanjutnya.
Mia mengulurkan tangannya pada David. "Mia," ucap Mia menlmperkenalkan diri.
"David, kau panggil aku Dev saja. Biar lebih akrab, ya!" ucap David yang menyambut uluran tangan Mia.
Hati Mia bertanya-tanya. Siapa dia? Dev? Pria yang usianya tak jauh dengan Haji Hamid itu membuat Mia salah tingkah. Namun Mia berusaha agar sikapnya tak kaku. Walaupun dikepalanya segerombolan pertanyaan siap meluncur. Namun, apa daya. Nyalinya ciut, tak ada keberanian sama sekali.
Memilih untuk diam dan tak ingin tahu siapa tamu yang dianggap spesial itu. Mia berusaha menyingkirkan berbagai pertanyaan itu satu per satu dalam kepalanya.
Selain Mia, Haji Hamid juga terlihat sangat kikuk. Mia yang menyadari semua itu, segera menyelesikan acara makan malamnya dan ingin segera meninggalkan mereka.
"Jangan buru-buru, Mia. Pelan-pelan saja. Tidak baik makan dengan cepat seperti itu!" ucap Dev.
"Iya, Dev." Mia mengangguk sopan dan mengurangi kecepatan makannya. Meskipun rasanya makanan yang sudah dikunyah dan ditelan itu tak terasa masuk ke dalam perutnya, namun Mia berusaha menyelesaikan makan malamnya itu.
Selesai makan, Mia segera membereskan piringnya dan beranjak untuk mencuci piring kotor itu. Namun Haji Hamid menyergahnya. "Bisa bicara sebentar, Mia?" ucap Haji Hamid.
"Bisa, Pak Haji." Mia duduk kembali dan menggeser piring kotornya.
Haji Hamid menghela napas dalam-dalam dan menghempaskannya perlahan. Kerongkongannya terlihat jelas saat berusaha menelan salivanya dengan susah payah.
"Mia, kau harus tahu kalau aku adalah pacar Hamid." Dev yang kesal menunggu Haji Hamid lama sekali mengatakan semua kenyataan itu, akhirnya mengungkapkan fakta itu dengan mulutnya sendiri.
"APA?" Bola mata Mia membulat sempurna. Napasnya seakan berhenti. Lemas, gelap, dan akhirnya BRUUUUK..
Mia pingsan. Tak sanggup rasanya mendengar ucapan Dev. Meskipun tak ada cinta di hatinya, namun tak rela rasanya jika suami yang menikahinya adalah penyuka sesama jenis.
Pria yang dihormati dan dihargai di kampungnya, ternyata bukan pria baik. Mia kecewa, sangat kecewa. Mia takut hidup dalam lingkungan seperti itu. Mia ingin keluar dari sana. Mia ingin melepas hidupnya dari manusia-manusia laknat itu. Baginya, lebih baik hidup banting tulang demi kedua orang tuanya, dari pada hidup mewah di lingkungan seperti itu.
"Kau, sudah ku katakan. Pelan-pelan! Dia anak kemarin sore, Dev. Kau keterlaluan!" ucap Haji Hamid sambil menggendong Mia. Yang pasti dengan bantuan Dev, tepatnya mereka berdua menggotong Mia untuk direbahkan di kamarnya.
"Maafkan aku, sayang. Aku kesal kau lama sekali mengucapkan kenyataan ini. Apa kau malu mengakuiku sebagai kekasihku?" tanya Dev.
Hami Hamid tak ingin berdebat. Yang ada di kepalanya saat ini adalah bagaimana cara menjelaskan semua ini pada Mia. Haji Hamid akhirnya meminta Dev untuk keluar dulu. Pertama, menjelaskan semuanya pada Mia secara perlahan, kemudian nanti akan menyelesaikan masalahnya dengan Dev.
Meskipun kecewa, Dev keluar dan kembali ke kamarnya. Hanya Haji Hamid dan Mia yang ada di kamar itu. Pintunya sudah tertutup rapat. Haji Hamid mengusap kepala Mia. Sentuhan Haji Hamid ternyata mengusik Mia, hingga akhirnya membuka matanya.
"Pak Haji?" ucap Mia dengan terperanjat.
"Tenanglah, Mia! Duduklah! Aku akan menjelaskan semuanya." Haji Hamid menenangkan Mia.
Meskipun rasa takut dan jijik menyelimuti perasaan Mia, namun nyatanya Mia berusaha menghargai Haji Hamid. Mia mundur, menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang. Sementara itu, Haji Hamid yang menyadari ketakutan Mia beranjak dari tepi ranjang. Haji Hamid berjalan menjauh dari wanita yang terlihat sangat pucat itu, kemudian duduk di kursi yang membelakangi cermin.
"Maafkan aku, Mia! Maafkan aku melibatkan dirimu untuk menutupi aibku. Aku berpikir hanya kamulah wanita yang bisa membantuku. Maafkan aku," ucap Haji Hamid dengan suara bergetar.
Mia diam. Mia bingung harus merespon apa. Ia hanya menunduk dan memainkan selimut bermotif doraemon itu dengan telunjuknya.
"Mia, apakah kau bisa memaafkanku?" tanya Haji Hamid pada Mia.
Namun masih sama. Mia tak bergeming. Kepalanya masih menunduk dan sibuk dengan selimut doraemonnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Sely Ina
🙈🙈🙈🙈🙈🙈othooooorr.....bikin kaget ...berati hajinya cuma buat menutupi aib doang ...
2023-01-05
0
TongTji Tea
emang kenapa sih kalo "pak haji" ? itu cuma "titel" yang disematkan oleh orang lain.Tidak serta merta mengubah seseorang menjadi paling baik or paling suci."pak haji" is only human ,kadang "kehajiannya " karena taat dan cinta nya serta imannya dia kepada Tuhannya,kadang juga dia menggunakan "titel"nya sebagai kamuflase dari suatu hal.So jangan terlalu silau dengan penampakan seseorang .
2021-08-30
0
mintil
astagaaa haji hamid suka main pedang2an ternyataaah
2021-08-21
0