Janda Bersegel
"Dasar anak haram!"
Suara pak Baskoro memecah keheningan malam di meja makan.
Mia hanya menunduk. Tak ada lagi air mata yang mengalir di pipinya. Cacian dan hinaan yang terucap dari ayahnya sudah membuatnya kebal.
"Pak, jangan begitu. Mia kan hanya lulusan SMP bagaimana dia bisa mencari uang selain dengan cara begitu. Ya Bapak juga tahu, kalau kerja begitu upahnya juga segitu." Bu Ningsih membela Mia dari amukan suaminya.
"Tidak apa Bu. Mia akan kerja lebih keras lagi. Maafkan Mia Pak," ucap Mia dengan lembut.
"Ya sudah, makanya nurut sama Bapak. Kerjanya di tempat Koh Yong saja. Duitnya besar. Cukup untuk makan dengan daging." Pak Baskoro ingin agar Mia menjadi wanita malam di tempat temannya.
Bukan tanpa alasan, wajah Mia yang cantik memang sangat menjual untuk pria hidung belang. Meskipun Mia adalah anak keturunan Jawa Timur dan Jawa Barat, namun nyatanya wajah Mia seperti keturunan Jepang. Sudah beberapa kali Koh Yong meminta Pak Baskoro untuk meminta Mia bekerja di tempatnya. Namun selalu gagal karena Mia menolak. Belum lagi bu Ningsih yang selalu mati-matian untuk membela anaknya.
"Astaga Pak. Istigfar, nyebut Pak. Ini Mia anak kita. Dia baru 17 tahun. Masa bapak tega menjual anak sendiri?" ucap bu Ningsih.
"Cih, seluruh dunia tahu kalau anak haram ini bukan anakku."
Lagi-lagi Mia hanya menunduk. Tak ada keberanian untuk membela diri. Ingin rasanya ia menangis, namun nyatanya air mata Mia seolah sudah habis.
"Pak," ucap bu Ningsih dengan suara agak tinggi.
"Sudah, Bu. Ayo lanjutkan makannya, Pak. Biar besok Mia cari tambahan ya!" Mia mengambilkan piring untuk ayahnya. Namun tangan ayahnya menghempaskan tangan Mia yang menyodorkan sebuah piring.
Praaaang
Piring itu hancur berkeping.
"Aku sudah tidak berselera makan. Tidak ada lauk dan suasananya membuat aku tidak lapar lagi." Pak Baskoro meninggalkan meja makan.
"Mia, maafkan Ibu ya. Ibu tidak bisa membela kamu." Bu Ningsih memeluk Mia yang masih diam mematung.
Dengan susah Mia menelan ludahnya. "Ibu tidak salah. Aku mengerti." Mia melepaskan pelukan ibunya kemudian memungut pecahan piring yang berserakan.
Tak ada acara makan malam. Mia kembali ke kamarnya setelah selesai membereskan ruang makan. Mia menutup pintu kamarnya. Menarik napas dalam-dalam. Menenangkan hatinya. Mencoba melupakan semua yang terjadi di meja makan.
Mia mengambil sebuah buku dari laci. Ada pulpen yang terselip di sana. Bukan buku diary pada umumnya, itu hanya buku tulis yang ia beli di warung bu Amin. Di sana Mia menulis semua perasaannya.
Mia tak pernah mempunyai teman untuk berbagi. Bahkan kepada ibunya saja, Mia tak pernah menceritakan kesedihannya. Hanya pada buku seharga tiga ribu rupiah saja Mia mampu menceritakan semua perasaannya.
"Mia, Ibu boleh masuk?" ucap bu Ningsih dari luar kamar.
Mia segera menutup buku itu dan menyimpan kembali pada laci. "Boleh Bu, masuk saja."
"Belum tidur, Mi?" tanya bu Ningsih basa basi.
Mia menggeleng. Memang kenyataannya tak ada kantuk sedikitpun yang menghampirinya.
"Jangan dianggap ya ucapan Bapak. Kamu anak Ibu dan Bapak. Hanya saja Tuhan memberikan rejeki rupa yang cantik kepadamu, sayang." Bu Ningsih nampak sangat bersalah pada anaknya.
Di lubuk hatinya yang paling dalam, bu Ningsih menyesal karena sudah membuat anaknya bernasib seperti ini. Tuntutan ekonomi, membuat bu Ningsih menjadi TKW dua puluh tahun yang lalu. Niatnya untuk bekerja di Luar Negeri selama lima tahun harus pupus karena ia diperkosa oleh majikannya sendiri.
Pulang ke Indonesia dengan membawa bibit Jerman, membuat suaminya sering menyiksa bu Ningsih jika saja melakukan kesalahan. Setelah Mia tumbuh semakin besar, bahkan sudah beranjak remaja pak Baskoro tidak pernah menyiksa bu Ningsih lagi. Namun kekejamannya pindah pada Mia.
Tidak seperti remaja umumnya yang menikmati masa puber dengan merasakan indahnya getar jatuh cinta, Mia hanya tahu bagaimana bisa mendapatkan uang setiap harinya.
"Bu, Mia sayang sama Ibu dan Bapak. Jangan pernah berpikir macam-macam ya Bu!" Mia selalu menjadi anak yang tegar di depan siapapun.
Bu Ningsih tahu, apa yang anaknya rasakan. Ikatan batin antara ibu dan anak itu tak dapat di elakkan. "Tidur! Istirahat! Ibu keluar dulu, ya!" Bu Ningsih sengaja memberikan waktu agar Mia bisa menangis sepuasnya. Karena menurut bu Ningsih jika Mia tak bisa menceritakan perasaannya pada siapapun, mungkin Mia akan lega dengan menangis. Tapi nyatanya salah, Mia lebih memilih untuk benar-benar tidur.
"Pak, jangan begitu sama Mia! Aku sudah bilang dari dulu, kalau Bapak tidak bisa menerima Mia lebih baik kita cerai saja." bu Ningsih kesal pada suaminya.
"Apa? Cerai? Enak saja. Sekarang dia sudah besar. Dia bisa menjadi ladang uang buatku. Kalau kita cerai mana mungkin dia memberi uang untukku?" jawab pak Baskoro dengan sangat enteng.
"Kamu kelewatan Pak." Bu Ningsih meninggalkan pak Baskoro yang masih merokok di teras depan.
"Aku harus berpikir bagaimana caranya agar anak itu bisa aku jual ke Koh Yong. Harganya pasti mahal. Tinggal di poles sedikit, dia pasti bakalan lebih cantik," gumam pak Baskoro.
Kukuruyuuuuuukk
Suara ayam membangunkan Mia. "Jam berapa ini?" Mia membuka sedikit demi sedikit matanya untuk melihat jam hello kitty yang menempel di dinding kamarnya. "Hah? Jam enam?" Mia segera turun dan membereskan ranjangnya.
Bagi Mia, jam enam adalah waktu yang sudah sangat siang. Karena sedang haid, Mia jadi kebablasan. Dengan segera Mia membersihakn dirinya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
"Bu, maaf ya. Mia kesiangan." Saat ke dapur, ternyata bu Ningsih sudah menyiapkan sarapan.
"Makanya bangun subuh. Biar rejekinya tidak dipatok ayam," ucap pak Baskoro yang tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya.
"Iya Pak. Nanti jam tujuh, Mia mau ke rumah bu RT. Katanya ada setrikaan. Terus sorenya mau ke tempat bu Dian," ucap Mia.
"Nah begitu dong. Anak muda itu harus produktif. Tidak boleh malas." Kalau sudah urusan kerja pak Baskoro selalu mendukungnya.
"Iya Pak," ucap Mia pelan.
Bu Ningsih tak berkomentar apapun. Malas rasanya jika masih pagi sudah harus berdebat dengan suaminya yang selalu merasa paling benar itu. Selalu berkata jadi orang harus produktif, nyatanya pak Baskoro hanya menghabiskan wantunya untuk merokok saja.
Sesekali pak Baskoro memang ke sana ke sini seperti orang yang sibuk. Padahal hanya sibuk mencari pekerjaan agar Mia bisa keliling kampung setiap hari untuk bekerja di rumah warga.
Sudah sejak SD kelas enam, Mia kerja sebagai buruh setrika. Hidupnya yang sederhana menuntutnya hidup mandiri. Bahkan bukan hanya mandiri saja, sejak SMP ia sudah berlatih untuk menjadi seorang tulang punggung keluarga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Rahma Waty
kasian
2024-06-11
0
IndraAsya
👣👣👣 jejak💪💪💪🥰🥰🥰
2023-02-23
1
Erlin
mampir
2022-09-30
0