Pagi sekali Mia sudah siap dengan sepedanya. Tiba-tiba suara pak Baskoro menghentikan langkahnya. "Mau kemana kamu?"
"Ke rumah bu Dian, Pak."
"Nyetrika? Sudah, mending diam saja di rumah. Nunggu Haji Hamid. Kau akan senang dan menyenangkan orang tuamu Mia," bujuk pak Baskoro.
Mia menelan ludahnya. Seketika bibirnya kelu. Ada rasa yang menyeruak tak tentu dalam hatinya. Ia memaksa bibirnya yang kaku itu untuk tersenyum, walaupun hatinya hancur berkeping-keping.
Mia melangkahkan kakinya menuntun sepeda, kemudian mulai mengayuhnya. Di jalan, ia berhenti sebentar. Menepi dan duduk di pemantang sawah. "Indah, sejuk. Aku ingin seperti sawah. Meskipun kotor, namun banyak yang diuntungkan dengan sawah. Hasilnya bisa untuk makan, belum lagi bisa bikin udara jadi sejuk."
Mia sedang memikirkan perkataan pak Baskoro. Jika menikah dengan Haji Hamid, ia akan senang dan akan menyenangkan orang tuanya. Tak peduli dengan dirinya, asalkan orang tuanya bahagia.
"Aku harus menikah dengan Haji Hamid," ucap Mia pelan dan menyemangati dirinya sendiri.
Ia berdiri dan berjalan menuju sepedanya, kembali mengayuh sepedanya menuju rumah bu Dian. Setelah cukup lama menenangkan pikirannya, ia merasa harus membatalkan pekerjaan untuk menjadi pelayan toko pada bu Dian.
"Bu," sapa Mia saat melihat bu Dian ada di warung.
"Hey, mau kemana kamu?" tanya bu Dian.
"Mau ketemu Ibu," ucap Mia.
"Mia, jadi ya kawin sama Haji Hamid?"
"Yang bener? Masa mau sih Mia?"
"Dia kan udah 47 tahun. Beda nya 30 tahun sama kamu."
"Ya kalau udah urusan duit, jangankan beda 30 tahun beda 100 tahun aja bukan masalah."
Mulut ibu-ibu gosip itu berkicauan meskipun Mia sedang ada di depan mereka. Sekali lagi, Mia sudah mati rasa. Ia hanya tersenyum dan meninggalkan mereka saat bu Dian menarik tangan Mia.
"Mau apa kamu Mi?" tanya bu Dian.
"Itu Bu.. Soal jaga toko, sepertinya Mia tidak jadi, Bu. Maaf ya Bu!" ucap Mia sopan.
Bu Dian diam sejenak, memperhatikan raut wajah Mia. Datar, tak terlihat sedang menyimpan beban berat.
"Jadi benar kata mereka?" tanya bu Dian memastikan.
Mia hanya tersenyum, kemudian mengangguk. "Mia permisi ya Bu!"
Sekarang giliran bu Dian yang diam, ia hanya mengangguk dan melihat Mia pergi dari rumahnya.
Mia kembali mengayuh sepedanya untuk pulang. Hari ini Mia tidak bekerja, karena pak Baskoro melarangnya. Mia hanya menurut saja.
"Tadi Haji Hamid ke sini, kapan kamu siap?" tanya pak Baskoro saat Mia baru sampai di depan rumah.
"Pak, Mia belum masuk. Biarkan Mia istirahat dulu." bu Ningsih rasanya sudah sangat geram dengan sikap suaminya. "Jangan mau nikah sama aki-aki Mia. Dia sudah tua. Kamu pantas jadi cucunya." Bu Ningsih menarik tangan Mia untuk masuk dan makan.
"Jadi kapan siapnya?" tanya pak Baskoro lagi.
Mia menghentikan tangannya yang hampir saja masuk ke dalam mulutnya. Mia menatap ayahnya.
"Eh, Mia dengar ya! Haji Hamid janji akan memperbaiki rumah kita yang sudah reyot ini. Belum lagi nanti ada uang bulanan untuk kami. Apa kamu tidak mau melihat ibu dan bapakmu senang di masa tua?" bujuk pak Baskoro.
Mia menatap ibunya, namun ibunya menggeleng. Menghela napas dalam kemudian menunduk. Mungkin akan lebih baik jika menikah saja. Jadi penyakit asam urat ibunya bisa diobati jika ada uang bulanan dari Haji Hamid untuk keluarganya.
"Mia sih terserah Bapak saja. Mia ikut maunya Bapak saja."
"MIA," teriak bu Ningsih yang tidak mengaharapkan jawaban itu keluar dari mulut anaknya.
"Tidak apa-apa Bu. Nanti ibu bisa berobat, biar bisa sehat lagi."
Bu Ningsih memang punya penyakit asam urat yang sudah parah. Bahkan kaki kanannya sudah sering kebas sehingga sering menyeret kakinya ketika berjalan. Itulah sebabnya bu Ningsih sudah tidak bisa bekerja. Makanya Mia yang menggantikan perannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
"Ibu lebih baik tidak sehat lagi, asal kamu jangan menikah dengan Haji Hamid, Mia." Tangisan bu Ningsih pecah saat tak kuasa menahan betapa sakit hatinya dengan nasib anaknya.
"Bu, jangan begitu. Mia sayang sama Ibu." Mia berlari meninggal meja makan dan memeluk ibunya yang berdiri di depan kamarnya.
Merek berdua sama-sama menangis dalam pelukan orang yang paling mereka sayangi, namun tidak untuk pak Baskoro. Pria itu lebih memilih untuk meninggalkan mereka berdua dan menemui Haji Hamid untuk memberi kabar berita yang sangat membahagiakan ini.
Hanya butuh waktu tiga hari untuk mempersiapkan pernikahan Mia dan Haji Hamid. Tak ada pesta mewah dalam pernikahan mereka. Bukan tidak sanggup untuk hajatan, dangdutan tujuh hari tujuh malam saja bisa. Hanya saja Mia yang memintanya untuk menikah dengan sederhana.
Dari pada uangnya dibuang-buang untuk hajatan, lebih baik untuk merenovasi rumah dan bisa untuk berobat ibunya. Haji Hamid tak ingin berdebat dengan Mia, ia hanya mengikuti maunya saja.
Setelah ijab kobul itu, tak ada rasa bahagia ataupun sedih karena sudah menikah dengan Haji Hamid. Yang Mia rasakan hanyalah kesedihan karena harus berpisah dengan Ibunya. Mia akan tinggal di rumah Haji Hamid yang berukuran tiga kali lebih besar dari rumahnya.
Mia membawa sedikit pakaian ganti. Sengaja, agar ada alasan ia bisa pulang ke rumahnya untuk bertemu dengan ibunya. Rumahnya memang tidak terlalu jauh, namun cukup melelahkan jika harus mengayuh sepedanya.
Bu Ningsih belum berhenti menangis, sepertinya sangat berat melepas Mia untuk tinggal bersama Haji Hamid. Pria tua yang tidak tahu diri. "Mi kalau kamu sedang ada waktu luang, main ke sini ya!" ucap bu Ningsih sambil berderai air mata.
"Iya bu, pasti." Mia meyakinkan ibunya dan mengusap air mata yang mulai berjatuhan di pipi bu Ningsih.
Sedangkan pak Baskoro hanya duduk santai sambil merokok. Melihat Mia dan Haji Hamid akan pergi, pak Baskoro segera mendekat dan berbisik. "Pak Haji, saya tunggu bulanannya ya!"
"Belum juga satu hari, sudah minta jatah bulanan." Suara Haji Hamid cukup keras sampai terdengar oleh Mia dan bu Ningsih. Mereka berdua hanya menggelengkan kepala.
"Ini, buat rokok saja dulu ya!" ucap Haji Hamid memberikan uang dua ratus ribu.
Senyum bahagia tersungging di bibir pak Baskoro. Lambaian tangan kedua orang tuanya, membuat Mia meneteskan air mata. Sekali lagi, bukan karena menyesal dengan Haji Hamid. Air mata itu bukti betapa sakitnya saat harus berpisah dengan orang tuanya. Padahal Mia masih bisa bertemu dengan orang tuanya. Apalagi jika ia tak bisa bertemu lagi untuk selamanya.
Tidak! Ibu harus sembuh. Haji Hamid akan memberi uang untuk pengobatan ibu kalau aku bersikap baik dan sopan padanya. Aku janji akan menuruti semua perintah Haji Hamid.
Mia mengikuti Haji Hamid yang masuk ke dalam mobil Avanza hitam keluaran tahun 2012. Bukan mobil keluaran terbaru, namun mewah untuk warga di sekitar kampungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Rahma Waty
kasian lagi
2024-06-11
0
Irma Yani
dasar tua" keladi 🙄🙄🙄
2021-07-09
0
Nina Rochaeny
itu si baskoro ga ada hak ngurusin mia,knp ga dia yg cari duit dasar parasit 😡😡
2021-07-09
0