Mia mengayuh sepedanya menuju rumah bu RT. Ia sudah janjian untuk menyetrika pakaian bu RT pagi ini. "Selamat pagi, bu!" ucap Mia ramah menyapa bu RT yang sedang duduk di teras depan.
"Pagi sekali, Mia. Sarapan dulu!" Bu RT memberikan piring berisi gorengan pada Mia.
"Terima kasih, Bu." Mia mengambil satu gorengan dan dua cabai. Mia adalah wanita pecinta pedas sejak masih duduk di bangku SD.
"Bisa sekarang Bu nyetrikanya?" tanya Mia setelah menghabiskan gorengannya.
"Kenapa buru-buru? Minum dulu. Santai saja. Setrikaannya juga tidak sebanyak minggu kemarin Mi." Bu RT memberikan Mia segelas air.
Diantara warga di sana, Bu RT lah yang paling peduli padanya. Mungkin karena dia tahu bagaimana perjuangan hidup Mia.
"Habis dari sini, Mia mau ke rumah bu Dian. Biar pulangnya tidak terlalu malam Bu."
"Mau apa ke rumah bu Dian?" tanya bu RT penasaran.
"Katanya ada pekerjaan buat Mia, Bu. Lumayan buat tambah-tambah."
Bu RT menghela napas, ia merasa iba pada Mia. Anak itu masih belasan tahun tapi sudah banting tulang untuk menafkahi keluarganya.
"Bu, sudah selesai." Mia membereskan alas setrikanya.
"Terima kasih Mi. Ini buat jajan." Bu RT menyerahkan uang pada Mia.
"Bu, kenapa seratus ribu? Kan cuma sedikit bajunya juga. Lima puluh ribu juga cukup, Bu." Mia mengembalikan uang itu kepada bu RT.
"Tidak, ini buat mu. Anggap saja bonus. Ibu lagi ada rejeki lebih."
"Wah, terima kasih Bu. Semoga rejeki Ibu semakin banyak ya!" Mia mencium uang itu dan pamit dengan sangat bahagia.
Bu RT hanya senyum menatap Mia yang semakin menjauh dan hilang dari pandangannya.
"Permisi... Bu Dian.. Bu Dian..." Teriak Mia dari balik pagar besi yang dikunci.
"Iya, sebentar Mi." Teriakan bu Dian tak kalah kerasnya dari suara Mia.
"Ayo sini. Ibu mau bicara sama kamu Mi." Bh Dian menarik tangan Mia untuk mengikutinya masuk ke dalam rumahnya.
"Mi, usiamu sekarang berapa tahun?" tanya bu Dian.
"17 tahun Bu," jawab Mia bingung.
"Bisa baca, nulis, ngitung?" tanya bu Dian.
"Bisa,"
Mia memang hanya lulusan SMP, tapi dia termasuk siswa berprestasi. Ia selalu mendapat juara. Bahkan untuk melanjutkan ke SMA saja, Mia mendapat beasiswa. Namun Mia menolaknya karena lebih memilih untuk mencari uang, agar ibunya tidak disiksa lagi oleh bapaknya.
"Mau kerja di toko? Adeknya Ibu mau buka grosir sembako. Mia jadi pelayannya ya!"
Bu Dian percaya kalau Mia adalah anak yang cerdas dan sangat jujur.
"Kerjanya tiap hari?" tanya Mia ragu.
"Iya. Tapi tenang aja Mi. Gajinya gede."
"Wah, kalau gitu Mia mau Bu, mau. Kapan Mia mulai kerja?" tanya Mia penasaran.
"Minggu depan. Kamu tahu kan tempat yang di pinggir jalan?" tanya bu Dian.
Mia mengangguk dan melanjutkan ucapannya. "Di sana tempatnya. Jadi sekarang lagi persiapan belanja dulu."
"Mia pamit ya Bu kalau gitu. Nanti Mia ke sini lagi," ucap Mia.
"Eh, ini bawa. Lumayan buat cemilan nanti malam." Bu Dian memberikan sebungkus martabak telor pada Mia.
"Wah, makasih banyak Bu. Mia jadi malu ini."
"Jangan malu. Bawa pulanga saja. Hati-hati di jalannya ya, Mi!"
Mia mengangguk dan mengayuh Sepedanya dengan sangat riang. Hari ini Mia membawa uang seratus ribu dan martabak telor. Mia yakin hari ini terhindar dari amukan pak Baskoro.
"Bu, Pak. Mia pulang." Teriakan Mia membuat rumah yang ramai menjadi sepi.
Mia sudah tak enak hati saat melihat beberapa sepatu berjejer di halaman rumahnya.
"Masuk, Nak." Pak Baskoro dengan sangat ramah menyambut Kedatangan Mia.
Mia menjadi curiga. Melihat ke setiap sudut rumahnya. Nampak beberapa orang sedang duduk di sana. "Mia, sehat?" tanya seorang pria tua.
"Se-sehat," ucap Mia gugup.
Pak Baskoro menjelaskan maksud kedatangan Haji Hamid ke rumahnya. Apalagi kalau bukan untuk melamarnya.
Mia hanya membulatkan bola matanya. Hatinya menolak dengan sangat keras, namun bibirnya kelu. Tak bisa berucap apapun, Mia hanya diam membisu. Hingga akhirnya tamu itu pamit meninggalkan rumah Mia.
"Pak, Mia tidak mau menikah dengan Haji Hamid. Mia mau kerja, nanti upahnya buat Bapak semua. Mia janji." Setelah berapa lama Mia tak menangis, kini air matanya mulai membanjiri pipinya. Dadanya sesak. Usianya baru tujuh belas tahun. Bahkan KTP saja dia tidak punya, tiba-tiba harus menikah dengan Haji Hamid yang terpaut usia tiga puluh tahun dengannya.
"Mau bernegosiasi?" tanya pak Baskoro dengan nada mengancam.
Mia diam, dia tidak menjawab.
"Ok, kalau kamu mau pilihan. Bapak punya dua pilihan. Menikah dengan Haji Hamid atau kerja di tempat Koh Yong?" ucap pak Baskoro dengan mengangkat dagu Mia dengan telunjuk kanannya.
Isak tangis Mia semakin keras. Tubuh Mia dirangkul oleh bu Ningsih. "Sudah cukup, Pak. Itu bukan pilihan. Biarkan Mia menentukan pilihannya sendiri."
Mia ditarik oleh ibunya untuk segera beristirahat di dalam kamarnya. "Maafkan bapak, ya Mi." Bu Ningsih memeluk Mia dengan berderai air mata. Merasa sangat bersalah dengan sikap suaminya.
"Tidak apa-apa Bu. Mia yakin Bapak tahu yang terbaik buat Mia. Mia mau menikah dengan Haji Hamid Bu."
"Tidak Mia. Kamu masih sangat kecil. Belum waktunya kamu menikah. Beban kamu sangat berat, Mi. Maafkan Ibu, ya!"
"Cukup Bu. Ibu tidak bersalah. Mia
yang harusnya minta maaf karena tidak bisa memberi yang terbaik buat Bapak dan Ibu."
Hati bu Ningsih semakin teriris dengan semua ucapan Mia. Tidak ada kebencian sedikitpun pada pak Baskoro meskipun cacian dan makian selalu Mia terima setiap hari.
Bu Ningsih keluar dari kamar Mia kemudian menemui pak Baskoro. Perdebatan hebat terjadi malam itu. Mia mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.
Tapi kali ini, Mia tak berniat untuk memisahkan mereka seperti biasanya. Mia lebih memilih untuk menulis perasaannya pada buku. Rasa pusing di kepalanya membuat Mia menyimpan kembali bukunya ke dalam laci kemudian tidur.
Mia sudah tidak peduli lagi dengan masa depan. Tak ada harapan apalagi sebuah cita-cita. Mia hanya memiliki satu keinginan. Ingin melihat kedua orang tuanya bahagia. Lebih tepatnya bapaknya.
Hidup bersama sejak bayi, tak pernah sedikitpun Mia merasakan apa itu kasih dan sayang dari seorang bapak. Pak Baskoro bahkan sering kali terang-terangan menyebut kalau Mia adalah anak haram. Awalnya Mia tidak mengerti, tapi semakin besar Mia paham maksud bapaknya.
Belum lagi nyinyiran dari tetangganya membuat Mia menjadi manusia yang sudah mati rasa. Sudah tidak sakit hati lagi saat mulut-mulut mereka menghina dirinya habis-habisan.
Mia hanya berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti semua keinginan orang tuanya. Paling tidak, hidup Mia masih bisa berguna untuk orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Sely Ina
klo aku jadi mmh Mia mending minta cere dari dulu ,dari pada hidup ma Baskoro yg sontoloyo gtu ...
2023-01-05
0
Sery
tak santet online bapak si Mia ini
2022-06-03
0
Mariana Frutty
✅
2022-05-11
0