"Pak Haji, Dev..." panggil Mia dengan setengah berteriak.
"Mia?" ucap Haji Hamid dan Dev bersamaan.
Keduanya memburu ke arah sumber suara. Benar saja, Mia sudah ada di sana. Ternyata Mia pulang ke rumah Haji Hamid naik ojeg.
Rasa tanggung jawabnya membuat Mia tidak enak berlama-lama di rumah orang tuanya. Mia segera menyimpan barang-barangnya ke kamarnya. Kemudian dapur adalah tujuan selanjutnya. Benar apa yang Mia bayangkan, kedua pria itu hanya sarapan roti.
"Mia, kenapa kau pulang sekarang? Jangan merasa tidak enak padaku, Mia. Aku memberikanmu izin agar kamu bisa bersama dengan orang tuamu dulu." Haji Hamid tak ingin Mia terbebani dengan statusnya sebagai seorang istri.
"Tidak hanya itu, Pak Haji. Minggu depan Mia mau ujian. Jadi harus rajin belajar. Kalau di sana bapak ganggu terus, Pak Haji. Jadi mending Mia pulang ke sini." Sedikit berbohong mungkin tidak apa-apa. Mia tidak ingin melihat Haji Hamid bersalah.
"Waw, sudah mau ujian. Kamu pintar Mia. Semua tugas sudah selesai dan bisa ujian secepat ini. Mau hadiah apa nih?" goda Dev.
"Aku sebenarnya mau matre nih, Dev." Mia menghentikan acara memasaknya dan menghampiri Dev. Ia duduk menatap Dev dan Haji Hamid secara bergantian.
"Ada yang matre bilang dulu?" ucap Dev.
"Dev, aku serius." Mia menatap tajam ke arah Dev.
Dev menatap Haji Hamid. Orang yang di tatap itu melihat ke arah Dev dan mengangguk. Dev mengerti dan mendengarkan kematrean macam apa yang diinginkan oleh wanita polis bernama Mia itu.
Mia menjelaskan keinginannya untuk kuliah. Bahkan sudah ada kampus yang dipilih oleh Mia. Meskipun kampusnya jauh dan murah, tapi kualitasnya bisa diacungi jempol. Mia akan mengambil kelas karyawan agar bisa pulang pergi untuk kuliah.
"Kenapa tidak di kampus A sekalian?" tanya Haji Hamid.
"Pak Haji, ini murah. Sayang uangnya kalau dibuang-buang," jawab Mia dengan polos.
"Tidak ada yang buang-buang uang. Semua untuk pendidikan dan memang harus mahal jika ingin uang bagus." Haji Hamid menjelaskan agar Mia tak salah pilih kampus.
"Kata siapa? Yang lebih mahal banyak.. Yang lebih bagus ada?" Mia malah mengejek Haji Hamid denga menirukan gaya iklan obat nyamuk di tv.
"Mia, aku serius. Kalau perlu kau kuliah ke luar negeri agar bisa mendapat ilmu yang bagus. Aku ingin kuliahmhu berkualitas. Jangan asal-asalan dapat gelar," ucap Haji Hamid.
"Aku setuju," ucap Dev.
"Pak Haji, Dev, dengarkan aku! Mau kuliah dimanapun, itu semua tergantung niat dan usahanya. Banyak yang kuliah di tempat bagus tapi hasilnya biasa. Tapi tidak sedikit juga yang kuliah di tempat biasa, bisa sukses dengan hasil bagus dan bisa memanfaatkan hasil kuliahnya." Mia tetap bersikeras untuk kuliah di tempat pilihannya.
Sebenarnya, bukan itu alasan utamanya. Mia adalah seorang yang pekerja keras dan bertanggung jawab atas apa yang sedang dikerjakannya. Namun, ia tak ingin melupakan kewajibannya sebagai seorang anak dan seorang istri.
"Ya sudah. Aku serahkan semuanya padamu, Mia." Haji Hamid pasrah dan mengikuti apa yang Mia inginkan.
Mia senang dan segera melanjutkan acara memasaknya lagi. Setelah selesai Mia menyajikannya kemudian mereka bertiga sarapan bersama.
Hari demi hari Mia lewati seperti itu. Melakukan tugasnya dan belajar untuk menghadapi ujian. Sampai tiba saatnya Mia akan melakukan ujian itu. Dengan sangat semangat Mia mengerjakan semua soal ujian, dan berkat hasil kerja kerasnya Mia lulus dengan predikat memuaskan.
"Yeaaaayyy.. Pak Haji, Dev. Mia lulus... Mia lulus..." Teriak Mia saat namanya terpampang di kolom paling atas.
"Wah, selamat ya Mia." Dev dan Hamid menyalami Mia dan memeluknya secara bergantian. "Kau sangat hebat, Mia." Haji Hamid dan Dev bangga pada usaha dan semnagat Mia.
"Terima kasih untuk semuanya ya, Dev dan Pak Haji." Mata Mia sudah berlinang. Tak berapa lama butiran bening itu membasahi kedua pipi Mia.
Dev dan Haji Hamid menghiburnya dan terus menyemangatinya agar Mia semakin giat belajar. Anak itu memang sangat peduli dengan pendidikan. Baginya, selama ada kesempatan jangan pernah disia-siakan.
Mia hanya tidak beruntung saja terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan membuatnya harus meninggalkan bangku sekolah. Kini, setelah bertemu dengan Haji Hamid, Mia merasa keberuntungan ada padanya. Mia bisa merasakan belajar. Bahkan menggunakan laptop, tidak seperti teman sebayanya yang masih belajar dengan mencatat dan menghapal.
Mengenal Dev dan Haji Hamid, mengenalkannya pada dunia baru. Dunia yang lebih modern. Meskipun Mia dan Haji Hamid tinggal di kampung, tapi Dev bisa membawa Mia hidup layaknya di kota. Fasilitas yang disediakan membuat Mia tidak terlalu ketinggalan.
Setelah ijazah itu keluar, sesuai dengan perjanjian, Mia memilih untuk kuliah di tempat pilihannya. Dengan doa dari ibunya, Mia diantar oleh Haji Hamid dan Dev untuk mendaftar kuliah. Sepanjang perjalanan Mai melihat ke arah gedung-gedung yang dilaluinya. Meskipun tidak terlalu tinggi seperti di ibu kota, tapi semua itu cukup memukau Mia. Beberapa kali bibirnya berdecak kagum. Dev dan Haji Hamid yang menyadari tingakah Mia hanya menahan tawanya.
Wajahnya yang cantik, tidak sesuai dengan sikapnya yang masih sangat kampungan. Namun bukannya malu, Dev dan Haji Hamid justru terhibur dengan semua kekonyolan Mia.
Bagaimana Mia begitu takut dan memegang erat tangan Dev dan Haji Hamid saat mereka menggunakan lift. Mulut Mia yang komat kamit seperti dukun yang sedang membaca mantra dengan mata yang tertutup membuat kedua pria yang bersama dengan Mia itu tak kuasa menahan tawanya.
"Ada apa? Bukannya berdoa," ucap Mia dengan sangat serius. Tangannya masih belum lepas dari Haji Hamid dan Dev.
Pegangan itu baru terlepas saat mereka sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Dev dan Haji Hamid melihat pergelangan tangan mereka yang memerah dan sedikit luka karena kuku Mia yang panjang.
Tanpa rasa bersalah Mia segera berlari menunu sebuah ruangan pendaftaran khusus bagi kelas karayawan. Mia sangat memperhatikan penuturan seorang petugas di bagian pendaftaran. Betapa bahagianya dia, saat mendengar ada jalur khusus prestasi. Biaya kuliah lebih murah bahkan bisa sampai gratis dan waktunya bisa lebih cepat. Asal Mia bisa menyelesaikan semua tugasnya dengan tepat dan cepat.
Mia sangat antusias mendengarkan semua penuturan petugas itu. Dalam waktu satu minggu ke depan akan ada test online. Selain mengukur kemampuan kognitif calon mahasiswa, test online juga bertujuan untuk mengukur kemampuan teknologinya. Memang di zaman sejarang, teknologi semakin berkembang. Kalau saja tidak bisa mengikuti arus, maka akan tertinggal sangat jauh.
Sudah selesai, Mia mengajak Haji Hamid dan Dev untuk pulang. "Mia, kau tunggu dulu di sini. Aku mau beli catok kuku," ucap Dev.
"Nanti saja, Dev. Sekalian pulang. Ayo pulang dulu!" ajak Mia.
"Tapi pegangannya jangan kenceng-kenceng ya! Ini. lihat, tanganku berdarah Mia." Dev menunjukkan tangannya. Memang tidak parah, namun cukup perih.
"Oh, ya ampun. Aku minta maaf ya Dev. Tenang saja, aku sudah bisa dan tidak takut lagi naik lift." Mia meyakinkan Dev.
"Benarkah?" tanya Dev.
Mia mengangguk. Meskipun ragu, tapi Mia dengan cepat membuktikannya. Benar saja, Mia memang cerdas. Meskipun kampungan, tapi dengan sekali melihat Mia akan mempelajari semuanya dengan sangat baik. Dan berhasil. Mia terlihat sangat santai, tak seperti Mia yang tadi.
############
Likenya aku tunggu ya kakak2 readers...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Rahma Waty
aku kasih like ya thor
2024-06-11
0
Kimie Meonk
sma kita Mia aq jga ga brni naik lif klo gda tmnnya ..
2021-08-17
0
Snow Kim Barbie
MIA² 😅😅😅
2021-06-30
0