Hari ini guru privat Mia sudah datang. Mia yang sudah menunggunya sejak pagi segera menyambutnya. Layaknya anak sekolah yang baik, Mia segera memburu dan mencium tangan gurunya.
Guru privatnya sengaja di datangkan dari kota. Lumayan jauh dari kampungnya. Sekitar 3 jam perjalanan yang harus ditempuhnya agar bisa mencapai rumah Haji Hamid. Tapi karena bayaran yang menjanjikan, guru privat itu tak mempermasalahkan jarak yang terbentang cukup jauh.
Bukannya segera belajar, Mia malah membuatkan dulu teh hangat untuk gurunya. "Silahkan, Bu guru." Mia memberikan segelas teh hangat.
"Terima kasih, Neng." Guru privat itu menerima teh hangat pemberian Mia.
Setelah cukup lama basa basi, akhirnya pembelajaran akan di mulai.
"Ayo dinyalakan laptopnya." Guru privat itu menunjuk laptop yang ada di hadapan Mia.
"Sebentar," ucap Mia berdiri meninggalkan guru privat itu. "Ini," lanjut Mia menyerahkan sebuah korek pada guru privatnya.
"Korek? Untuk apa?" tanya guru privatnya.
"Katanya harus dinyalakan bu guru," ucap Mia polos.
Guru privat itu menarik napas dalam-dalam. Antara ingin marah dan ingin tertawa membuat wajahnya merah. "Maksud saya begini," ucap guru privatnya sambil memberi contoh untuk menghidupkan laptopnya.
"Oh, ucap Mia. Saya pikir dinyalakan seperti gas atau rokok," ucap Mia tanpa rasa malu.
Beruntung Mia anak yang cerdas, hanya dengan sekali melihatnya Mia langsung bisa ketika guru privatnya memberi contoh kemudian ia mempraktekkannya.
Beberapa latihan yang diajarkan berhasil Mia ikuti dengan baik. Tepuk tangan guru privat membuat Mia tersenyum lebar. "Pintar sekali, Neng." Entah pujian yang keberapa kali yang Mia terima.
"Panggilnya Mia saja, bu guru." protes Mia.
"Baiklah, Mia. Belajar yang rajin ya!" ucap guru privatnya.
Belajar dengan serius dari mulai guru privat itu datang sampai selesai. Banyak hal baru yang Mia pelajari. Tak terasa waktu terlewati begitu cepat. Setelah jam 5 sore, guru orivat itu pamit untuk pulang. "Seminggu lagi, saya ke sini ya Mia." Guru privatnya membereskan buku yang dibawanya. Sebagian ada yang disimpan di Mia untuk dipelajari lagi.
Mia mengantar guru privatnya sampai teras depan. Setelah tak terlihat lagi sosok wanita itu, ia masuk dan membereskan laptop dan bukunya ke dalam kamar. Setelah itu, segera menyiapkan untuk makan malam.
"Mia, kenapa tidak makan?" tanya Haji Hamid.
"Mau ngerjain PR Pak Haji," ucap Mia.
"Mia makan dulu. Kau tidak boleh lupa makan. Belajar itu penting, tapi kesehatan juga penting. Ayo makan dulu!" perintah Haji Hamid.
Mia mengangguk kemudian duduk bersama dengan Dev dan Haji Hamid. Ada perasaan bangga pada Mia ketika semangat belajarnya sangat tinggi. "Mia, kalau kamu makannya bagus dan jaga kesehatan, besok aku belikan handphone ya!" ucap Dev.
"Dev? Benarkah?" tanya Mia dengan antusias.
Dev mengangguk. Haji Hamid menatap Dev penuh tanya.
Saat makan malam usai, mereka masuk kembali ke dalam kamarnya masing-masing.
"Dev, kenapa kau begitu perhatian pada Mia?" tanya Haji Hamid.
"Dia anak baik. Aku merasa kalau dia begitu polos dan sangat tulus." Dev membayangkan bagaimana Mia bisa menerimanya dengan segala kesalahan yang sudah terjadi antara dirinya dan Haji Hamid.
Haji Hamid tersenyum. Memang benar apa kata Dev. Anak itu selalu penuh dengan ketulusan. Haji Hamid bahagia saat mendengar Dev mulai menerimanya.
Malam sudah berganti siang. Mentari pagi mulai menghangatkan tubuh setiap insan. Mia dengan sigap membereskan semua ruangan. Keringan yang menetes di dahi Mia membuat Dev tak tega. Ia segera berangkat untuk membelikan ponsek baru untuk Mia.
Seperti yang Mia pinta, Dev membeli dua ponsel keluaran terbaru untuk Mia dan ibunya. Tak lupa Dev membeli cover doraemon untuk menghiasi ponsel Mia. "Dia pasti suka, meskipun sudah 17 tahun tapi dia masih terlihat seperti anak kecil." Dev tersenyum mengingat tingkah Mia.
Sesuai dugaan Dev, Mia bersorak bahagia saat ponsel itu sampai ke tangannya.
"Dev, kau baik sekali. Aku suka. Terima kasih banyak," ucap Mia.
Dev hanya tersenyum dan merasa sangat bahagia. Suara Mia yang berisik membuat Haji Hamid keluar dari kamarnya. "Ada apa ini?" tanya Haji Hamid.
"Dev memberi Mia ini, Pak Haji. Lihat! Ini bagus sekali. Doraemon, Pak Haji. Doraemon." Teriak Mia sambil menunjukkan ponsel barunya pada Haji Hamid.
"Waw, rupanya Dev tahu apa kesukaan kamu, ya Mi!" ucap Haji Hamid.
"Pak Haji cemburu?" tanya Mia dengan polos.
Suasana langsung hening.
"Ekhem, ekhem," Dehaman Haji Hamid langsung membuat mereka bertiga kaku.
"Mia, aku boleh tahu tentang hidupmu tidak?" tanya Dev mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Boleh," jawab Mia.
Dev mengajak Mia dan Haji Hamid untuk mengobrol di ruang tengah.
Tanpa malu, Mia menceritakan semua perjalanan hidupnya. Bahkan saat Dev menanyakan wajahnya seperti bule saja, Mia menjawabnya dengan polos.
"Mia bibit Jerman, Dev. Makanya cantik, cuma karena hidup susah saja jadi seperti ini. Nanti kalau sudah kaya, Mia pasti seperti artis," ucap Mia.
Dev dan Haji Hamid saling menatap. Kepolosan Mia membuat keduanya tertawa bersamaan. Mia memang sudah memiliki banyak uang dari Haji Hamid, namun definisi sukses bukan seperti itu. Sukses itu adalah ketika uang yang dihasilkan berkat usahanya sendiri, bukan dari suaminya.
"Mia, kau harus kuliah. Kau harus sukses. Aku suka semangatmu," ucap Dev.
"Terus nanti kuliahnya pakai laptop lagi, Dev?" tanya Mia.
"Terserah, kau bisa online bisa juga offline dengan pergi ke kampus.
Seperti biasa, Mia mengangguk padahal ia tidak paham dengan apa yang sedang dibicarakan Dev. Dalam kepalanya sekarang, ia bisa segera lulus paket C ini dengan nilai memuaskan.
Haji Hamid menatap Mia yang tampak bingung. Ponsel itu masih ada digenggamannya.
"Kenapa kau bingung seperti itu, Mia?" tanya Haji Hamid.
"Ini," Mia menunjukkan ponsel barunya.
"Kau tidak bisa menggunakannya?" tanya Dev.
"Haha, Dev kau tahu." Mia malu-malu menjawab Dev.
"Sini!" Dev meraih ponsel baru milik Mia.
Dengan kecerdasan yang Mia miliki akhirnya Mia mempelajarinya dengan sangat mudah. Jauh lebih mudah dari ketika Mia mempelajari beberapa tugasnya dalam laptop.
"Bisa?" tanya Dev.
"Bisa," jawab Mia yakin.
"Ada satu lagi kejutan untukmu," ucap Dev.
"Apa lagi?" tanya Mia.
"Ini satu lagi. Kau mau dua, kan?" tanya Dev.
"Dev ..." lirih Mia.
Air mata itu mengalir di pipi Mia.
Dev dan Haji Hamid mendekat dan mengusap kepala juga bahu Mia. Mencoba menenangkan Mia dan menjelaskan kalau Mia tidak sendiri. Ada mereka yang akan selalu siap membantu Mia.
Mia berterima kasih pada Dev dan Haji Hamid disela isak tangisnya.
Dev, Pak Haji, seandainya kalian tidak belok begitu, Mia pasti akan sangat bahagia. Kebaikan kalian benar-benar membuat Mia memiliki dunia baru. Apa yang harus Mia lakukan agar kalian kembali ke jalan yang lurus?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Rahma Waty
semoga yg belok dpt hidayah
2024-06-11
0
Irma Yani
dengan sentuhan tulus,dan iklhas hati keduanya akan berubah menjadi lurus 🤗🤗🤗
2021-07-09
0
Nina Rochaeny
dibikin jalan tol biar ga belok 😂
2021-07-09
0