"Mia," panggil Haji Hamid saat melihat remaja tujuh belas tahun itu sedang memasak di dapur.
Pakaian Mia yang bergambar doraemon, memperjelas bahwa remaja itu lebih cocok jadi anaknya. Bukan istrinya. Namun kenyataannya mereka memiliki buku nikah. Mereka sah secara hukum dan agama. Mereka adalah pasangan suami istri meskipun terpaut usia tiga puluh tahun.
"Iya, Pak Haji."
"Hari ini masak yang banyak ya! Ada temanku yang mau ke sini," pinta Haji Hamid.
"Wah, berapa orang Pak Haji? 10, 20, 30?" tanya Mia.
"Memangnya mau demo?" ucap Haji Hamid.
"Loh, katanya suruh masak yang banyak Pak Haji."
"Iya, maksudnya jenisnya yang banyak. Buka. porsinya. Jadi aku ingin tamu ku benar-benar nyaman dan merasa kalau dia di sambut di rumah ini," ucap Haji Hamid dengan tersenyum. Ada raut wajah ceria yang tertangkap oleh Mia.
"Jadi berapa orang?" tanya Mia.
"Satu orang," jawabnya dengan tersenyum.
Mia mengerutkan dahinya. Tumben sekali Haji Hamid terlihat begitu ceria. Ada yang berbeda, tapi Mia tidak tahu apa yang terjadi. Apa mungkin karena tamunya spesial?
"Pak Haji, emang siapa sih tamunya?" tanya Mia penasaran.
"Nanti juga kamu ketemu. Tanyakan langsung sama dia ya!" ucap Haji Hamid masih dengan senyumnya dan berlalu meninggalkan Mia yang masih bengong di dapur.
"Pak Haji mau kemana?" teriak Mia saat melihat Haji Hamid mulai menjauh dan keluar dari rumahnya.
Namun nyatanya Haji Hamid tak menjawab pertanyaan Mia. Wajah cerianya masih menghiasi pria 47 tahun itu. Dan itu menjadi misteri bagi Mia.
Mia, remaja yang awalnya takut ketika menikah dengan Haji Hamid, kini merasa senang. Hidupnya bebas dari belenggu dan tekanan pak Baskoro. Meskipun menyisakan rindu yang begitu besar pada ibunya, namun ia lebih tenang karena Haji Hamid memberi kasih sayang untuknya.
Entah kasih sayang seperti apa yang diberikan Haji Hamid, yang pasti Mia senang dan nyaman tinggal bersama suaminya. Suami? Mia mengingat kembali semua perlakuan Haji Hamid padanya sejak awal menikah. Lebih terkesan menjadikannya anak dari pada istri. Tak pernah menyentuhnya dengan hasrat, setiap sentuhan Haji Hamid terasa hangat layaknya sentuhan sayang orang tua pada anaknya.
Ah tapi Mia tak ingin berpikir terlalu jauh. Mia takut, angan-angannya dijadikan anak angkat hanya sia-sia. Haji Hamid adalah pria yang dewasa bahkan bisa dibilang sudah tua. Meskipun belum pernah menikah hingga usia empat puluh tujuh tahun, namun bukan tidak mungkin jika Haji Hamid meminta haknya pada Mia. Dan sebagai seorang istri, siap tidak siap Mia harus siap.
Hanya selang satu jam, Haji Hamid sudah kembali membawa dua keresek buah-buahan.
"Tolong siapkan. Tata yang rapi ya! Dia sangat menyukai buah-buahan," ucap Haji Hamid.
Mia menerima dua kantong keresek yang berisi buah-buahan itu dan mulai menatanya.
"Emang tamu Pak Haji kalong (kelelawar) ya?" tanya Mia.
"Hussstt.. Kamu ini. Jangan asal ya!" jawab Pak Haji agak kesal.
"Loh, jangan marah dong Pak Haji. Kan kata Pak Haji kalau tamunya suka buah-buahan, yang Mia tahu kalong yang suka buah-buahan," ucap Mia dengan polosnya.
"Diam kamu! Sudah bereskan saja!" kemudian Haji Hamid pergi meninggalkan Mia.
Tak lama Haji Hamid kembali lagi ke dapur membawa selembar kertas.
"Isi ini, ya!"
Mia mengambil kertas itu dan membacanya. "Formulir pendaftaran?" tanya Mia.
"Iya, isi! Katanya kau mau sekolah. Itu untuk persyaratannya," ucap Haji Hamid.
"Ah, Pak Haji. Terima kasih banyak. Mia beruntung bisa kenal sama Pak Haji," ucap Mia sambil memeluk Haji Hamid.
Haji Hamid membalas pelukan Mia dan mengusap kepala Mia. Tak ada perasaan aneh, hanya perasaan nyaman saja. Tidak lebih.
Mia juga tidak merasa canggung. Setelah melepas pelukan Haji Hamid, Mia melompat-lompat karena sangat senang. Haji Hamid hanya tersenyum melihat kelakuan Mia yang terlihat masih sangat anak-anak baginya.
"Nanti kalau sudah, simpan di sana!" Haji Hamid menunjuk sebuah rak yang terletak di ruang keluarga.
Mia mengangguk dan segera pergi ke kamarnya untuk mengisi formulir itu. Saat tangannya menulis, seketika air matanya bercucuran. Merasa menjadi manusia paling beruntung. Ini cita-citanya. Mia ingin sekolah, namun harapan itu pupus saat pak Baskoro selalu menuntutnya untuk bisa mengahasilkan uang.
Kini, ketika semua orang mengejeknya, menghinanya, mengolok-ngolokan statusnya sebagai perempuan matre, dirinya justru bersyukur bisa ada dalam hidup Haji Hamid. Mia tak perlu jadi buruh setrika kesana kemari lagi. Tak perlu kerja serabutan dari pagi sampai sore, bahkan malam. Tugas Mia sekarang hanyalah membereskan rumah besar yang ditinggalinya berdua dengan Haji Hamid. Tidak lelah seperti yang dibayangkannya dulu, karena hanya beberapa tempat saja yang ia bersihkan.
Bukan karena Mia malas, tapi nyatanya hanya beberapa ruangan saja yang dilalui oleh keduanya. Rumah itu sangat sepi, tapi tidak lagi saat Mia di sana. Mia selalu memberi kehangatan dan keceriaan di rumah Haji Hamid.
Sesekali Mia mengelap ingusnya dengan bajunya. Tangisan itu belum berhenti sampai akhirnya Mia selesai mengisi data pribadinya. Setelah selesai, Mia keluar dari kamarnya untuk menyimpan kertas itu. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Haji Hamid yang sedang mengobrol. Terdengar samar, namun Mia yakin ada seseorang di sana. Tidak mungkin Haji Hamid bicara sendiri.
Apa tamu itu sudah datang? Aku ke sana jangan ya? Malu kalau memang tamunya Pak Haji sudah datang.
Mia maju perlahan hingga suara Haji Hamid terdengar semakin jelas. Tak ada sahutan. Suara Haji Hamid disambung lagi olehnya setelah jeda beberapa saat. Oh, nampaknya Haji Hamid sedang mengobrol lewat ponselnya.
"Sayang, hati-hati. Jaga diri, mata dan hatimu buatku ya! Awas kalau macam-macam!" Nada suara tegas terucap dari bibir pria itu.
"Sayang?" gumam Mia.
Mia segera berlari ke kamarnya saat mendengar Haji Hamid berpamitan dengan orang yang di telepon olehnya.
Dalam kamar, pikiran Mia travelling kemana-mana. Apa mungkin Haji Hamid sudah punya pacar? Atau justru sudah menikah? Lalu untuk apa Haji Hamid mau menikahi Mia? Tapi semua dugaan yang ada di kepala Mia bisa saja terjadi. Karena memang setelah menikah dan tinggal satu rumah, Haji Hamid tidak menunjukkan kalau ada hasrat pada Mia.
Mia masih menduga apa yang sebenarnya terjadi pada hidup Haji Hamid. Lama Mia berjalan bolak balik dari ujung tembok ke ujung tembok yang lain. Semakin lama, dugaan itu semakin membuat kepalanya sakit.
Mia menyimpan formulir itu di atas nakas dan duduk di tepi ranjang. Memijat pelan kepalanya, kemudian naik ke atas ranjangnya dan menarik selimut sempai batas bahunya. Tak sadar, Mia tertidur dengan baju yang sedikit basah karena ingusnya saat mengisi formulir tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 269 Episodes
Comments
Sely Ina
ko bilang sayang jga mata sgla ...Kya ke pacarnya ....bikin teka teki nih othorr
2023-01-05
0
Sely Ina
tpi umur 47 tuh blm tua bgt loh masih muda ko pa lgi byk uang masih gagah Thor....masa kamarnya bau balsem...😀😀
2023-01-05
0
Sely Ina
oh ... ternyata bujang kawak mkin impoten tu pa haji jadi niat nikahin Mia PGN Mia bhagia di masa tua mendapatkan warisan ,bisa sekolh jadi wanita hebat ,
2023-01-05
0