Seperti dugaannya, mentari tersenyum cerah seakan mampu memudarkan luka Alina. Hatinya telah mantap untuk pergi meninggalkan kota yang selama 18 tahun telah menjadi saksi hidupnya.
Sedih? Pastinya. Tetapi untuk apa terus-terusan seperti itu. Toh, semuanya sudah berbanding terbalik 180 derajat. Alina sudah tak punya hak untuk berada di dekat Arvin. Dirinya tak mau menjadi perusak rumah tangga orang.
Langkah kaki Alina terhenti di ruang keluarga yang sudah ada mama dan Briant yang sudah siap untuk mengantarnya ke bandara. Namun sebelum itu, Alina menghubungi sahabatnya lewat video call. Berpamitan kepada mereka, sahabat yang sudah hampir enam bulan ini menemaninya.
Mereka saling melepas rindu karena mereka jarang bertemu semenjak Alina tinggal di rumah Arvin. Dan kepergiaannya kali ini pun, Alina tak membeberkan alasan yang sebenarnya. Alina berdalih jika papanya memintanya untuk melanjutkan studinya di negara tetangga.
Sekitar setengah jam mereka saling melepas rindu dengan haru. Karena waktu yang terbatas, tidak memungkinkan mereka untuk bertemu. Salam perpisahan pun terucap dari mereka.
"Apakah sudah selesai?" tanya Briant yang mengetahui Alina sudah mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Iya, ayo berangkat," balasnya tanpa menatap Briant. Briant hanya tersenyum tipis dan mengelus kepala Alina.
"Kalau gak ingin pergi nggak apa-apa kok dek. Jangan memaksakan diri," ujar Briant lagi.
"Siapa bilang? Aku ingin kok," ucap Alina sambil berdiri. Memasang wajah sok ceria di depan kakaknya yang bahkan hatinya rapuh. Mamanya hanya memandang sedih Alina.
Mereka berjalan menuju mobil. Setelah memastikan semua barang masuk ke bagasi, Briant melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahnya.
"Kak. Aku ingin menghubungimu untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku terlalu takut. Takut tidak bisa melangkahkan kakiku meninggalkan kota ini. Takut aku tidak bisa menghapus cinta dihatiku ini. Maaf kak, Maafkan aku," gumamnya dalam hati sambil memandangi jalanan kota.
Mamanya yang sedari tadi menyadari perubahan sikap Alina mengelus pundaknya dan seolah mencoba menenangkan pikiran putrinya ini. Alina menatap mamanya dan tersenyum tipis. Menyandarkan kepalanya didekapan mamanya.
Briant hanya memandangi mereka dari kaca spion. Ia duduk di sebelah sopir yang mengantar mereka.
"Dek, kakak sudah atur semuanya di sana. Nanti setelah sampai akan ada kak Jul yang akan membantumu," ujar Briant.
"Kak Jul? siapa dia?" tanya Alina mengernyitkan dahinya.
"Hahaha... Namanya Julian Daniswara. Aku suka panggil dia Jul. Dia sahabat kakak, dari Indonesia juga. Kemudian direkrut ke perusahaan papa," terang Briant.
"Oooh.." jawab Alina singkat paham dan mengangguk.
Setengah jam sudah mobil mereka melaju membelah kota. Mobil berhenti di tempat tujuan. Mereka keluar dan sopir membawakan barang bawaannya.
"Jaga dirimu baik-baik sayang. Sering-seringlah mengabari mama ya. Mama pasti sangat merindukanmu nantinya," ujar mamanya dan memeluk erat Alina.
"Iya ma.. mama juga jaga diri ya. Jaga kesehatan. Kak, tolong jaga mama," balas Alina.
"Iya iya bawel," seru Briant diiringi suara gelak tawanya. Alina memanyunkan bibirnya kesal.
Pikirannya masih belum bisa beranjak dari Arvin.
"Oke Alina, jangan memikirkannya lagi. Bukankah kamu membencinya semenjak dia mengucap janji suci dengan wanita lain. Sudahlah, tak mungkin juga dia mencariku kan," gumamnya lirih.
Alina berjalan meninggalkan mereka. Ya, berat rasanya melangkahkan kakinya. Pandangannya menyusuri setiap tempat di bandara. Bukankah ini hanya perjalanan seperti biasanya yang ia lakukan di waktu liburan. Oke, lupakan masalah di sini dan hanya perlu fokus untuk tujuannya, yaitu belajar.
_ _ _ _ _ _ _
Arvin sudah mulai kembali ke aktivitasnya. Seperti ke kantor untuk menjalankan bisnisnya. Keadaan rumah tangganya masih sama. Arvin mengabaikan Erika sepenuhnya. Erika hanya bisa pasrah. Berharap suatu saat nanti Arvin akan melihatnya dengan ketulusan hatinya. Tak apa jika saat ini yang ada dihatinya adalah Alina. Semua butuh proses. Dan Erika akan setia menunggu saat-saat itu.
Arvin mencoba menghubungi Alina. Namun tak berhasil. Dari tadi pagi waktu bangun tidur, entah sudah keberapa kalinya Arvin mencoba menghubunginya namun tetap saja nihil. Dirinya berdecak kesal.
"Kenapa aku tidak bisa menghubungimu sayang?" ucapnya dengan kesal.
Arvin sudah beberapa kali bertanya kepada sahabat Alina. Namun tak ada yang memberitahunya. Arvin sama sekali tak mengetahui jika Alina sudah pergi ke Jepang.
"Sial!!" Arvin berdecak lagi dan hampir membanting ponselnya.
Arvin duduk di sofa dan merebahkan tubuhnya. Menyandarkan tubuhnya dan memijit dahinya.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku sungguh gila karenamu Alina," gumamnya lirih.
Arvin mengacak rambutnya dengan frustasi. Tak peduli dengan penampilannya saat ini. Arvin mengambil ponselnya kembali dan menghubungi Briant.
"Hei, ada apa?" ucap seseorang di seberang telepon.
"Ada sesuatu yang ingin aku bahas. Bisakah kita bertemu di kafe biasanya?" tanya Arvin yang masih memijit dahinya.
"Ya gini kalau lagi ada masalah. Haha.. Kenapa? lagi berantem sama istri kamu ya?" tanya Briant sambil terkekeh. Tak biasanya Arvin mengajaknya bertemu di luar. Biasanya hanya di kantor Arvin atau nggak di kantor Briant. Bagaimanapun, Arvin adalah sahabatnya sejak dulu. Ia tak setega itu sampai mengabaikan ajakannya. Kalau dihitung-hitung, jarang sekali Arvin ada waktu luang.
"Cih, hanya istri di atas kertas saja memangnya masih berani ribut, dasar sialan!!" umpat Arvin dalam hati.
"Gausah banyak tanya!" serunya dan langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban dari Briant. Disisi lain Briant terkekeh dengan sikap Arvin.
Akhirnya jam makan siang pun telah tiba. Arvin bergegas meninggalkan kantor dan menuju kafe yang telah ia bicarakan tadi. Pikirannya bercampur aduk.
Selang beberapa waktu Arvin tiba dan disambut oleh Briant yang lebih dahulu sampai. Mereka memesan kopi yang menjadi favorit mereka.
Arvin mulai terbuka kepada Briant. Dirinya menceritakan kisah cintanya yang pilu itu. Briant terkejut saat Arvin menikah hanya demi kekayaan dan kepentingan bisnis saja. Arvin bercerita kepada Briant karena merasa tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak ingin meninggalkan Alina namun keadaan yang memaksa. Briant tertawa ringan. Ini memang kisah cinta yang rumit, hemm.
"Kenapa kau tak melupakannya saja. Bagaimanapun wanita yang bersamamu saat ini adalah istrimu. Ingat, dia sudah sah menjadi istrimu loh," ujar Briant santai.
Arvin hanya berdecak kesal. Bukannya memberi solusi masuk akal malah menyuruhnya berdamai dengan Erika dan menerima keadaan. Briant pun tak menyadari bahwa wanita yang dimaksud itu adalah Alina. Adiknya sendiri.
Briant semakin tertawa geli melihat kekesalan Arvin. Briant baru pertama kali ini melihat sikap Arvin yang setengah putus asa. Hingga tak mampu melakukan apapun.
Briant menepuk-nepuk pundak Arvin seraya mencoba menenangkannya. Briant kasihan kepada Arvin, Erika dan wanita yang belum bisa dilupakan Arvin.
"Aku akan selalu mendukungmu Vin. Selagi itu membuatmu bahagia. Aku juga tak bisa mencampuri urusanmu," ujar Briant karena merasa kasihan pada Arvin. Dan hanya dijawab anggukan saja oleh Arvin.
Briant tak mau ambil pusing. Dirinya tak mau terlibat dalam masalah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Yopi Darmawan
pernah ada di posisi ini 😪😪
2020-03-30
0
🐱🐈 Khairunnisa 🐈🐶
no koment,,,, mataku kabur penuh air mata
2020-03-25
4
Sarmiyati Fikhairelyn
coba klu Briant tahu mantan Arvin tuh adik kandungnya apakah Briant akan menyatukan cinta sahabat dan adiknya?
2020-03-16
9