Arvin berjalan menuju kantornya kembali. Ia menaiki mobilnya dan melesatkan mobilnya ke arah rumah orang tuanya. Hatinya sangat terpukul. Geram dengan sikap papanya yang selalu saja mencampuri kehidupannya. Arvin sampai di halaman rumah orang tuanya. Ia keluar dari mobil.
"Tuan muda, selamat datang," sambut salah satu pembantu di rumah itu.
"Papa ada bi?" tanya nya dengan menahan emosinya.
"Ada tuan muda, tuan besar ada di dalam."
Arvin tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya. matanya mencari-cari keberadaan papanya. Dilihatnya papanya sedang duduk santai sambil membaca koran ditemani secangkir kopi yang berada di meja depannya.
"Pa..!!" panggil Arvin dengan emosi.
Mahardika (papanya Arvin) acuh tak menanggapi panggilan anaknya itu.
Arvin berjalan mendekati papanya, dan berdiri di sampingnya.
"Papa kan yang merencanakan semua ini? Papa sengaja ke kantor Arvin siang tadi karena papa tahu kan kalau Alina akan ke kantor?" tanya Arvin dengan kesal.
Mahardika hanya diam tak menanggapi. Ia menyruput kopinya dan melanjutkan membaca koran.
"Bukankah Arvin sudah bilang, Arvin sendiri yang akan menyelesaikan ini semua pa? kenapa papa begitu tidak sabaran," ujarnya lagi.
Lagi-lagi Mahardika hanya diam seolah tak peduli.
"Jawab Arvin pa! kenapa papa diam saja dari tadi, hah?" bentak Arvin yang semakin memanas.
Mahardika menatap Arvin. Ia meletakkan korannya di atas meja.
"Kamu benar Arvin, papa yang merencanakan semua ini. papa sudah tahu kalau gadis itu akan ke kantormu. Kalau papa tidak bertindak, mau berapa lama lagi kamu menyembunyikannya darinya? Bukannya lambat laun dia juga akan tahu?" ujar papanya dengan tenang.
"Tapi bukan dengan cara seperti itu pa!! Dan ingat, Arvin sangat mencintai Alina. Soal pertunangan dan pernikahan yang papa atur demi bisnis papa, Arvin tidak peduli lagi. Arvin enggak akan pernah menyetujuinya!" tekan Arvin.
Kini, Arvin dikuasai amarahnya. Wanita yang ia cintai terluka karenanya. Itu semua karena ulah papanya yang begitu egois tidak memikirkan kebahagiaan anaknya dan malah mementingkan bisnisnya. Orang tua macam apa yang tega menjual anaknya sendiri demi bisnis. Sungguh ironis sekali. Inilah yang membuatnya tak betah tinggal serumah dengan papanya. Daripada ribut setiap hari, Arvin memilih keluar dan hidup sendiri di luar sana. Arvin kasihan melihat mamanya yang selalu menangis ketika melihat ia ribut dengan papanya.
"Kalau kamu menolak pernikahan itu, kamu akan melihat mayat gadis yang kamu cintai. Terserah, semua tergantung padamu Arvin," ujar papanya dengan santai dan berdiri menepuk bahu Arvin.
Mahardika berjalan ke kamarnya. Sial, lagi-lagi ancaman itu lagi. Arvin selama ini tak bisa berbuat banyak karena ancaman dari papanya. Ia tak mungkin membuat Alina dalam bahaya. Arvin mengacak rambutnya frustasi. Memukul-mukul kepalanya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa demi Alina.
Ia duduk di sofa menenangkan dirinya. Mamanya yang dari tadi mendengar pertengkaran papa dan anak bingung harus membela siapa. Mamanya mendekati Arvin dan mengusap lembut pundaknya. Arvin menoleh menatap mamanya sendu. Arvin memeluk Lita (mama Arvin) dengan erat.
"Mama yakin, kamu bisa melewati semua ini Arvin. Bukankah kamu sudah tahu bagaimana sikap papa kamu? Mama tidak bisa berbuat banyak. Asalkan kamu menurutinya maka kamu akan baik-baik saja sayang," ucap Lita sambil mengusap lembut punggung Arvin.
"Arvin sangat mencintai Alina Ma, Arvin nggak mau menikah dengan Erika, Arvin nggak pernah mencintainya. Ma... Tolong Arvin, Arvin harus bagaimana?" ujarnya yang hampir menangis.
"Maafkan mama sayang..." pinta mamanya yang tiba-tiba menangis. Seakan paham dengan perasaan tak percaya anaknya ini.
"Bukan salah mama... Arvin mohon jangan menangis seperti ini," pinta Arvin sambil menyeka air mata mamanya.
Arvin berdiri dan beranjak pergi namun Lita menahannya. Lita ikut berdiri dan menggenggam tangan Arvin.
"Mama selalu dukung kamu selagi itu hal yang positif sayang. Maafkan mama tidak bisa memberikan pengertian ke papamu," ujarnya.
Arvin tersenyum tipis. Mencium pipi mamanya.
"Mama tenang saja. Arvin akan berjuang dengan cara Arvin sendiri," yakinnya.
Arvin pamit untuk pulang ke rumah. Mamanya hanya pasrah menatap kepergian anaknya yang jarang sekali mengunjunginya karena sikap papanya yang keras kepala.
Arvin melajukan mobilnya ke rumah. Berharap Alina berada di rumah. Beberapa menit kemudian, ia telah sampai. Arvin segera turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Menaiki tangga dan berjalan menuju kamar Alina. Ia membuka pintu dan tak ada siapa-siapa. Ia membuka lemari pakaian, ternyata pakaian Alina masih tersimpan di sana. Setidaknya ia lega karena Alina tidak membawa barangnya. Mungkin ia kembali ke kost nya bersama teman-temannya.
Arvin keluar kamar dan menuruni tangga. Bertanya kepada bi Narsih apakah Alina sempat pulang. Tetapi bi Narsih mengatakan bahwa semenjak tadi siang Alina belum juga kembali. Arvin mengangguk dan kembali masuk ke mobil melajukan mobilnya ke kost nya Alina. Arvin mencoba menghubungi Alina namun tidak tersambung. Mungkin Alina sengaja mematikannya.
Arvin telah sampai di depan kost nya Alina. Ia mengetuk pintu dan tak lama seseorang datang membukakan pintunya. Arvin sangat berharap Alina di dalam. Setelah dilihatnya, ternyata hanya teman-temannya Alina. Arvin menanyakan keberadaan Alina pada mereka namun tak ada yang tahu dan bahkan tak ada yang dihubunginya.
"Maaf, apakah Alina berada di dalam? Aku harus menemuinya," pinta Arvin.
"Tidak ada, kami belum melihat Alina datang ke kost nya," ujar salah satu teman yang tadi membukakan pintu.
"Terima kasih, maaf mengganggu waktunya," ucap Arvin dan bergegas menuju mobilnya.
Arvin beberapa kali menghubungi Alina. Mengirim beberapa pesan. Arvin berpikir keras ke mana Alina pergi. Arvin hanya tahu tempat kost nya saja, selain itu ia belum pernah tahu jika Alina sedih Alina pergi ke mana.
_ _ _ _ _
Alina terbangun dari tidurnya. Merenggangkan otot tubuhnya dan duduk bersandar. Alina memandangi ponselnya. Ia mengambil ponselnya dan menghidupkannya. Karena tadi sempat ia matikan dengan sengaja. Alina hanya menatap ponsel itu karena banyaknya pesan yang dikirim Arvin dan panggilan yang tak terjawab. Ia ragu, ingin membuka pesan itu tetapi takut jika Arvin menghubunginya lagi. Alina masih sakit hati pada Arvin.
Tiba-tiba ponsel Alina berdering. Ia menatap lekat ponselnya. Akhirnya setelah beberapa saat, Alina menjawab telepon itu.
"Halo..." suara Alina
"Akhirnya aku bisa menghubungimu. Kamu ke mana sayang... Di rumah tidak ada, di kost mu juga tidak ada. Aku khawatir. Tolong jangan seperti ini, pulang dan dengarkan semua penjelasanku sayang," ujar Arvin menahan tangisnya.
Alina hanya diam. Air matanya kembali membasahi pipinya. Alina ingin kembali ke rumah Arvin dan memeluknya erat-erat untuk menghilangkan kesedihannya. Tetapi, ia terlanjur kecewa dengan Arvin dan untuk saat ini ia tak mau menemui Arvin.
"Aku baik-baik saja. Sementara jangan menghubungiku dan jangan mencariku dulu. Aku ingin sendiri," ujar Alina dan mengakhiri pembicaraan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Heny Ekawati
udahlah vin kmu juga gk bisa bantah ucapan papa lo
2020-12-31
0
LAILI 27-12-07
Aku hampir nangis gara2 cerita ini 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2020-09-19
0
Natalia Naeya
setidak nya masih virgin
2020-04-06
4