Sepanjang perjalanan, aku terus menunduk, tidak berani menatap mata Fae yang berlalu lalang. Lebih tepatnya, Fae yang terbang kesana kemari. Aku bahkan tidak tahu dimana aku berada sekarang, yang jelas Fae Ventus ini terus-terusan menarikku. Mungkin bisa dibilang menuntunku dengan paksa.
"Clara, angkat kepalamu! Kamu harus lihat ini!" Teriak Kei ditengah keramaian. Aku malah semakin menundukkan kepalaku.
"Tidak apa-apa, Clara." Fae itu menyajarkan tubuhnya denganku. "Semua Fae sedang sibuk. Mereka tidak akan memperhatikanmu."
Kuharap perkataannya benar. Tapi kenapa aku masih takut dan ragu-ragu? Ah, mungkin aku masih trauma karena teringat dengan serangan Chrys. Meski begitu, tidak ada salahnya memperhatikan jalan. Maka aku menurutinya dan melihat ke sekeliling dengan jelas.
Banyak bangunan kecil dengan bentuk serta warna yang seragam di kanan-kiriku. Aku tak bisa menahan rasa takjubku saat melihat tempat indah ini. Dinding-dinding dicat oleh warna coklat kayu. Atapnya berbentuk silinder, dengan akar pohon yang mencuat sebagai penghias di sekeliling bangunan. Jendela-jendela kecil memampukanku untuk melihat ke dalam. Isi rumahnya tidak jauh berbeda dengan pondok yang kutinggali sebelumnya.
Beberapa pondok terbuka untuk umum, karena ada papan yang bertuliskan nama toko masing-masing. Yang membuatku paling tidak fokus adalah penampilan Fae disini. Sayap mereka yang sedang dikepakkan menghasilkan semacam angin sepoi yang menyejukkanku. Berbagai macam warna sayap dapat kutemukan disini, seperti merah, biru, hijau, pink, ungu, tentunya selain abu-abu milik Fae Ventus.
"Bagaimana?" Tanya Kei yang ternyata tersenyum puas melihat ekspresiku. Aku hanya mengangguk, masih membuka sedikit mulutku. "Aku...aku pikir tempat tinggal Fae seperti..."
"Seperti?"
"Kamu tahu lah, yang biasa dijelaskan di buku dongeng." Aku menoleh kepadanya. "Rumah pohon, dengan pembantu rumah tangga kurcaci. Lalu ada juga Pixie, makhluk bersayap kecil yang membantu penyerbukan bunga dan sebagainya."
Kei malah semakin tertarik mendengar ceritaku. "Wow, Pixie? Keren!"
"Umm...memangnya di dunia kalian, tidak ada Pixie atau Elf?"
"Hmm, Pixie jarang sekali ditemukan. Mereka termasuk golongan hewan Fae, dan hanya muncul pada musim semi, itupun tidak di semua tempat," katanya sambil memerhatikan jalan. "Sedangkan untuk kurcaci atau Elf, aku belum pernah mendengar tentangnya. Setahuku itu termasuk makhluk purba yang sudah lama punah."
Ah, ternyata begitu. Tidak semua yang diceritakan di buku dongeng benar adanya.
Kami melewati sekelompok laki-laki Fae bersayap merah. Salah satunya menyadari kehadiran kami dan segera menembus keramaian untuk menghampiri kami. Aku buru-buru menunduk dan menggigit bibir bawahku. Jangan lihat aku, jangan lihat aku, jangan lihat aku!
"Kei! Rupanya benar kamu!" Kata Fae itu. Aku dapat melihat rambut hitamnya yang pendek. Untungnya ia hanya fokus memandangi Fae di sebelahku. Kei meremas sedikit tanganku, mungkin untuk menenangkanku. "Rio! Apa kabar?"
"Apa kabar?" Ia mengulangi perkataan Kei, dan seenaknya merangkul leher Kei. "Aku kangen padamu." Fae itu lalu mencium pipi Kei. Aku terkejut, berusaha menyembunyikan senyum yang mulai mengembang di wajahku. Bisa kulihat dari tatapan lelaki itu bahwa ia sungguh merindukan Kei. Mungkin dia pasangannya.
"Rio!" Kei meninju lengan Fae itu keras-keras. "Kau sengaja ya?!"
"Uh." Fae itu memutar bola matanya. "Ayolah, Kei. Kenapa bereaksi seperti itu saat bertemu dengan teman lama?" Mata Fae itu akhirnya mendarat ke arahku. Aku tersadar bahwa aku sedang menatapnya, maka aku buru-buru menyembunyikan wajahku ke dalam tudung jubah.
"Siapa dia?" Tanyanya penasaran. Kei menarik tubuhku ke belakang. "Dia, umm...pelayan baru Zeyn."
"Pelayan baru Zeyn?" Rio menjelajahi seluruh tubuhku dengan mata hitamnya. Aku merasa gak nyaman dan semakin menundukkan kepala. "Kamu masih bekerja untuk Ketua Ventus itu?" Tanyanya dengan nada menjijikan. Ia menjilat bibirnya sendiri. "Kei, bisa-bisanya kamu masih bertahan bersamanya-"
"Dia adalah Fae yang baik, Rio," potong Kei dengan tegas. Sekilas ekspresi Rio seperti orang yang sakit hati, namun raut wajahnya kembali seperti semula. "Kei, kamu tak mengenal Ketua Ventus itu. Aku tahu impianmu sejak dulu adalah menjadi anggota Ketua Ventus, namun bukan ini yang harus kau jalani." Rio mengistirahatkan kedua tangannya di pundak Kei. "Kamu baru saja lulus dari Faedemy."
"Plis, Rio." Kei menepis tangan Fae itu. Aku terkejut karena lagi-lagi Kei menggunakan bahasa sehari-hari manusia. Aneh rasanya mendengar kata itu keluar dari mulut seorang Fae. Rio kebingungan. "Maksudmu?"
"Stop menjelek-jelekkan Zeyn! Aku tahu kau cuma iri padanya karena banyak wanita yang tergila-gila padanya!" Kei membentak, dan Rio hanya membalas dengan ekspresi tersakiti sekaligus kebingungan dengan gaya berbicara Kei yang baru dan aneh.
"Kei, tapi kamu tahu kan Fae itu pernah-"
"Aku tidak ingin mengetahuinya!" Kei melangkahkan kakinya, ingin segera meninggalkan temannya. "Kuharap kamu merefleksikan perkataanmu barusan." Kei lalu menarik tanganku.
Setelah Rio hilang ditelan oleh khalayak, barulah aku mengangkat bicara. "Kenapa dengan temanmu?" Dan langsung menyesal karena kondisi hati Kei pasti belum membaik. Untungnya Fae itu masih menjawab pertanyaanku. "Huh! Dia hanya iri dengan Zeyn!"
Aku terdiam. Kei melanjutkan perkataannya. "Rio tak suka jika melihatku mengikuti kelompok Zeyn! Sejak awal kami berteman di Faedemy, ia tahu aku penggemar berat Zeyn."
Aku mengatakan Wow dalam hati. "Jadi Rio cemburu?"
"Cemburu? Haha!" Kei malah tertawa. "Bukan seperti itu. Kami hanya berteman. Mungkin iya, tapi bukan yang seperti...kamu tahu lah."
"Oh." Aku tidak yakin sudah mengerti maksudnya.
"Ia teman baikku. Wajar saja kalau aku menaruh perhatian lebih pada seseorang selain dirinya." Kei sekarang sudah menuntunku ke tempat yang lebih sepi dengan Fae. Sekarang barulah aku dapat menaikkan kepalaku. "Ia sudah seperti kakak laki-laki untukku."
Aku teringat betapa ia menyukai dunia manusia. "Tadi katanya, impianmu itu menjadi anggotanya. Lantas, kenapa kamu juga tertarik dengan dunia manusia? Kupikir Fae tulen membenci kaumku."
Kei tidak berbicara. Ia akhirnya berhenti dan memfokuskan pandangan ke depan. Aku terpaksa mengikuti arah pandangannya, dan langsung terbelalak melihat apa yang disajikan di hadapanku.
Laut biru jernih yang terbentang luas, memantulkan cahaya matahari dan berkerlap-kerlip dari mataku. "Akhirnya kau bisa melihat Laut Hidup, Clara." Ia tersenyum. "Bagaimana? Indah kan?"
Laut itu memang indah. Namun, itu tidak mengalihkan perhatianku. "Jawab aku, Kei."
Kei menghela napas dan akhirnya menyerah. "Aku hanya akan memberitahukan hal ini kepadamu. Janji untuk merahasiakannya?" Aku terkejut mendengar bahwa ini rahasia, namun kuanggukan kepalaku.
"Itulah yang ingin kucoba buktikan kepada semua orang. Untuk menyembunyikan ketertarikanku terhadap dunia manusia." Kei menggarukkan kepalanya. "Impian palsu, akting palsu, semuanya kumainkan."
"Kenapa? Kenapa harus berpura-pura?"
"Aku iri pada kaummu," katanya pelan. Aku berkedip berkali-kali. "Iri? Kenapa bisa iri dengan makhluk lemah seperti aku?"
Kei menatapku dengan sedih. "Tidak apa-apa, Kei. Aku bisa merahasiakannya." Kei bernapas lega. "Aku tahu aku bisa memercayaimu," katanya sambil tersenyum. Pandangannya kemudian tertuju ke laut di hadapannya. "Aku cuma..." Ia menggeleng-geleng. "Sejak aku pertama bertemu dengan kaum manusia, sifat dan perilaku mereka berbeda dengan apa yang diajarkan di Faedemy, sekolah untuk kaum kami."
"Berbeda?"
"Ya. Kalian digambarkan sebagai makhluk penuh dengan ego dan hanya mementingkan diri sendiri. Saling merusak dan menjatuhkan. Intinya hal-hal yang negatif." Kei masih termenung. "Namun, aku juga melihat cinta di mata kalian. Kalian masih mempunyai rasa peduli. Kalian masih punya perasaan."
Aku menatap kuku jari tanganku yang kotor karena kemasukan debu sayap Fae dan tanah. Kei melanjutkan ucapannya. "Hidup kalian simpel. Sementara hidup Fae sulit. Kita harus mampu menguasai sihir kita. Kita harus selalu siap jika negara kita diancam bahaya dari luar, seperti perang dan sejenisnya. Hidup Fae penuh dengan pertumpahan darah." Kei memejamkan matanya, dan tertunduk. Aku ingin sekali menepuk pundaknya, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, namun aku tak melakukan itu.
"Bagaimana rasanya tidak mempunyai sayap dan sihir? Hidup hanya untuk menafkahi keluarga dan tinggal bersama orang-orang yang dicintai tanpa takut ditinggalkan?" Gumam Kei. Perasaanku jadi ikut terhanyut olehnya.
Selama aku hidup, permasalahan yang kumiliki mungkin hanya satu-dua hal, seperti kesusahan dalam mencari nafkah, kesusahan untuk sekedar mengisi perut dengan makanan. Kesusahan untuk membanggakan Nenek yang sekarang sudah menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Aku tak pernah memikirkan kehidupan Fae yang dijelaskan oleh Kei; banyaknya pertumpahan darah. Kisah dongeng tentu tak memuat sisi kehidupan yang seperti itu.
"Aku...maaf karena tak menyadari perasaanmu yang sesungguhnya," bisikku. Namun Kei dapat mendengarnya berkat pendengarannya yang tajam. Telinga Faenya berkedut-kedut. "Tak apa-apa," katanya seraya tersenyum. "Lagipula, apa sih yang kuharapkan?"
Saat kami akhirnya berjalan pulang, pertanyaan yang dikutip olehnya terus terngiang di pikiranku. Apakah boleh aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi? Seperti misalnya harapan bahwa Nenek masih hidup di luar sana. Harapan bahwa aku akan segera bertemu dengan Fae yang kuduga menjadi biang keladi di balik kehancuran Desa Norlata. Dan harapan bahwa kemampuanku dalam meramal hanya kebohongan belaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Nofi Kahza
5 like mendarat lagi kaka🤗🤗
2020-11-19
2
LINA
ka Ellen aku mampir lagi dengan bawa 15 like 👍 and rate 5
salam Dijodohkan dengan Cowok Manja 💛
2020-11-05
2
Dewi Ws
💓💓💓
2020-10-31
1