Aku bermimpi sedang duduk di atas awan. Sinar matahari bersinar sangat terik, menyilaukan sekaligus membutakan mataku. Aku menggoyangkan kedua kakiku dengan santai, lalu berbaring di atas awan yang terasa lembut dan nyaman.
Aku hendak memejamkan mata saat mendengarkan suara tawaan seseorang yang lembut. Aku membuka mata dan bisa melihat seorang gadis yang sedang terbang mengitari hamparan rumput di bawah sana. Gadis itu adalah seorang Fae. Sayapnya berwarna hijau kemilang bagaikan daun yang tumbuh pada pohon rindang. Rambutnya yang berwarna merah muda jambu diikat oleh sulur-sulur tanaman berbunga.
Gadis itu sedang bersama teman-temannya yang juga mempunyai sayap hijau. Mereka sibuk merawat tanaman. Salah satunya tampak sedang memercikkan air, ada juga yang sibuk meniupkan bubuk seperti pupuk tanaman.
Tak lama, suara sepatu kuda yang berkelotak terdengar dari ujung jalan. Aku menyipitkan mata dan bisa melihat sekelompok orang berbaju zirah dan mengenakan helmet ketat. Kuda mereka bergerak sangat cepat, karena dalam satu kedipan mata, mereka sudah mengeluarkan pedang mereka dari sabuk pinggang, dan menghunuskannya tepat ke arah gadis-gadis Fae itu.
Aku berteriak. Aku tak sempat melihat apakah orang-orang pembunuh tersebut mempunyai sayap atau tidak; karena penglihatanku mulai kabur. Darah menggenangi jalan setapak. Gadis-gadis malang itu sudah terkapar di lantai. Orang-orang yang telah membunuh mereka mulai mengelilingi mayat Fae yang berjumlah empat tersebut. Bagian tubuh mereka bercecaran. Mereka di mutilasi. Dan sayap mereka...sayap mereka di-
Aku membuka kedua kelopak mataku dan langsung terduduk. Aku meremas selimut yang sedang kugunakan. Tubuhku bergetar hebat. Helaian rambutku menempel pada wajah serta leherku karena keringat yang membasahinya. Lagi-lagi mimpi tentang Fae, pikirku sambil menggelengkan kepala.
"Mimpi buruk?" Tanya seseorang. Aku menoleh dan dapat melihat Zeyn yang sedang terduduk santai di sebuah sofa. Aku terkesiap dan mengedipkan mata berkali-kali saat melihat sayap di punggungnya. Jadi Fae memang nyata. Ini nyata. Aku menyentuh kedua pipiku. Ini nyata, ini nyata, kataku kepada diri sendiri.
Tidak ada sinar matahari yang menembus jendela, menandakan hari sudah malam.
Aku baru tersadar aku sedang berada di sebuah tempat asing. Setelah memijat kepalaku yang sakit, aku kembali mengingat semuanya dengan jelas. Kemarin, ketiga Fae ini sudah membawaku ke wilayah mereka. Aku sampai muntah-muntah karena tidak kuat terbang bersama mereka. Tubuhku pegal-pegal dan tanpa memperdulikan hal lain, aku langsung tertidur pulas.
"Mungkin ini hal normal untukmu." Zeyn memberikanku secangkir teh. Aku menerimanya dan langsung meneguknya. Perasaanku membaik dan tubuhku menjadi lega.
Aku sedang berada di sebuah kamar yang berukuran kecil dan memuat furnitur seadanya. Zeyn duduk di sampingku. Baru kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dagunya lancip, bulu matanya yang lentik menghiasi bola mata besarnya yang berwarna coklat. Ia tergolong pria sempurna, ditambah dengan gen warna kulit seorang Fae yaitu putih bersih dan tubuh jangkung.
Ia tersenyum kepadaku. "Kamu pasti lapar. Ayo ikut aku ke ruang makan."
***
Ternyata ini adalah pondok kecil. Terdengar suara sendok yang beradu dengan piring dari dapur. Saat aku memasuki ruang makan, aku bisa melihat Clora yang sedang memunggungiku. Ia mengenakan celemek yang terikat pada pinggangnya. Ia melantunkan sebuah melodi yang terdengar fals dan asal-asalan. Asap dari makanan yang sedang dimasak olehnya mengepul di langit-langit. Sementara itu di meja makan, Kei memainkan sepucuk daun dengan jarinya. Daun itu bergerak sendiri. Aku menatapnya heran dan akhirnya tersadar ia menggunakan sihirnya.
"Clara!" Kei dan Clora menyapaku secara bersamaan. Aku tersenyum kecil dan hendak menyalami mereka, namun mereka tidak membalas uluran tanganku. Mungkin Fae tidak pernah bersalaman tangan.
Clora mengangkat pancinya yang terisi dengan sup panas berwarna jingga, lalu meletakkannya di atas meja. "Nah, silahkan makan!"
Aku tidak pernah memakan sup dengan rasa yang seperti ini. Sup yang mengandung banyak rempah-rempahnya dan menambah kekayaan rasa. Sambil menyeduh sup yang panas ini, aku bertanya, "Dimana Jon?"
"Aku sudah memanggil salah satu Fae Healer terbaik untuknya," jawab Clora yang duduk di sampingku. "Dia pasti sembuh."
"Oke, tapi dimana dia?" Tanyaku lagi. "Apakah dia sudah siuman?"
"Belum," ucap Zeyn dengan nada datar. "Dia ditempatkan di pondok ini juga. Kamu bisa mengunjunginya di seberang ruanganmu, tapi sebelumnya kamu harus meminta izin dari Fae Healer itu."
"Kenapa?"
"Karena Fae Healer tidak suka diganggu pekerjaannya," kata Kei sambil memakan sup dengan lahapnya. "Meskipun Sana itu wanita baik dan penyabar." Kei mengangkat pundaknya. "Entahlah. Aku tidak terlalu dekat dengan Fae Healer. Mereka sangat serius jika menyangkut pekerjaannya."
Aku menatap ketiga Fae yang sedang makan dengan santainya bersamaku. "Omong-omong, soal kenapa kalian harus membawaku ke wilayah kalian..."
Zeyn meletakkan sendoknya. Aku melongo melihat isi mangkuknya yang sudah kosong tak bersisa. "Kami pikir kamu bisa membantu kami."
Membantu para Fae? Untuk apa? Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Zeyn melanjutkan ucapannya. "Apakah kamu bisa meramal dan melihat masa depan lewat mimpimu?"
Aku tersedak oleh sup panas dan kini terbatuk-batuk. Aku memukul dadaku sendiri, tidak memerdulikan tatapan aneh yang kini diarahkan padaku. "Apa maksudmu?"
"Aku melihatmu waktu itu," gumam Clora. "Lebih tepatnya, aku dan Zeyn melihatmu waktu itu." Matanya menatap langit-langit ruangan dengan kosong, pikirannya melayang. "Waktu itu kamu masih gadis kecil, dan setiap malam, kamu pasti mengalami kejadian yang sama."
Aku mematung. Kei juga bersikap demikian. "Apa maksudmu?" Tanyaku kebingungan. Kapan mereka melihatku? Aku teringat lagi dengan Fae yang pernah kulihat. Aku yakin sekali Fae itu adalah Chrys.
"Tidakkah kamu ingat?" Clora menaikkan sebelah alisnya. Gadis itu sekilas terlihat sangar. "Kamu akan selalu berteriak dengan keras, sampai-sampai Nenekmu harus membangunkanmu."
Aku sudah meremas lengan Clora. "Kamu mengenal Nenekku?!"
"Umm...mungkin." Clora menepis tanganku dengan kasar. Aku sempat mengira ia akan memarahiku, untungnya gadis itu tidak keberatan dengan sikapku yang tidak sopan ini. "Setelah itu kamu akan dikompres sampai suhu tubuhmu kembali normal. Itu hal yang selalu terjadi tiap malamnya."
Benarkah? Aku mencoba mengingatnya, namun memoriku tersendat. Pantas saja aku tidak mengingat apa-apa soal masa kecilku. Lebih tepatnya, memori setelah Nenek membacakanku cerita dongeng kesukaanku. Aku akan selalu lupa dengan isi mimpiku. Tapi, kita memang tak bisa mengingat mimpi setelah kita terbangun, kan?
Setelah itu, aku lupa apa yang akan terjadi kemudian. Ingatanku langsung lompat, yaitu disaat Nenek selalu menanyakan kondisiku. Apakah aku baik-baik saja, apakah kepalaku masih terasa pusing, dan sebagainya. Selama ini aku mengira aku mengidap suatu penyakit yang hilang saat aku menemukan kebahagiaan di kota Ratterdam. Itu yang selalu kukatakan pada diri sendiri setelah bertemu Jon dan Stef.
Apa yang mereka maksud tentang ramalan? Benarkah selama ini aku dapat melihat masa depan lewat mimpiku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Dian Anggraeni
Hadir kembali tor 👏👏👍👍👍
2021-01-17
0
Vie
keren kak
semangat ya, jangan lupa mampir balik🥰
2020-12-24
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
Asisten Dadakan datangg
mampir lagi yuk kak😉
2020-11-24
1