Wawancara

Seorang wanita berkacamata dengan rambut hitamnya yang disanggul memberikanku tatapan yang mematikan. Aku menelan ludah, dan buru-buru menelaah suasana sekitar. Terdapat dua pria lainnya yang duduk disamping wanita itu, namun yang paling membuatku gugup adalah wanita berparuh baya itu.

"Clara Stockholm?" Suara wanita itu pun terdengar menakutkan, pikirku sambil mengarungi langkah diantara kami. Aku mengangguk dan mengambil salah satu kursi yang tersedia di dekatku. "Ya, Bu Lucy."

"Kamu masih berusia 18 tahun?" Tanyanya kepadaku sambil menaikkan sebelah alisnya. Dua pria lainnya hanya mengamatiku, seolah-olah aku ini mangsanya. "Ya," jawabku lagi dengan gugup.

Bunyi klik pena memenuhi isi pikiranku. Wanita yang bernama Lucy itu sibuk menuliskan sesuatu diatas kertasnya. Aku dapat melihat tumpukan kertas lain yang sedang dilihat oleh pria di samping kirinya. Bola matanya berpindah dengan cepat, lalu dengan sekali anggukan, ia membalikkan halaman kertas tersebut.

Itu naskah ceritaku, batinku. Kira-kira hasilnya bakal kayak gimana ya?

"Clara Stockholm, usia 18 tahun, tinggal di area pusat Ratterdam City, tidak mempunyai orangtua?" Tanya Lucy lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Benar, bu."

"Gadis berusia 18 tahun tapi pembacanya sudah ribuan?" Pria satunya lagi yang berada di sebelah kanan Lucy menyengir kepadaku. Badannya berotot, dan giginya yang berwarna kuning diperlihatkan kepadaku. "Edward, menurutmu bagaimana?"

"Hmm, lumayanlah," balas pria yang ternyata bernama Edward itu. Matanya masih memandang naskahku yang jumlahnya beratus-ratus halaman. "Ceritanya terlalu...biasa dan agak membosankan...?"

Hatiku langsung tertusuk oleh perkataannya. Aku menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku. "Tapi, kalau dilihat dari segi kosa kata dan kerapian, kuberi nilai A." Edward lalu menaruh tumpukan kertas itu di ujung meja dan melipat tangannya. Matanya lalu mendarat ke wajahku. "Silahkan, Clara. Jelaskan alasan kenapa kamu ingin menerbitkan naskahmu dengan kami."

Tanganku bergetar, namun kuusir perasaan gugupku. Aku sudah menyiapkan hal apa saja yang perlu kukatakan. Sebagai seorang penulis, menuliskan sesuatu di atas kertas adalah hal biasa bagiku. Aku membayangkan diriku yang akan menjalani wawancara dengan santai dan berbicara dengan luwes. Namun, yang terlintas di pikiranku sekarang justru wajah bahagia Jon saat aku memberitakannya kabar baik bahwa aku diterima untuk mengikuti wawancara.

"Aku...saat jumlah pembacaku mulai meningkat pada saat itu..." Aku memulai penjelasanku. "Ada yang bilang kalau naskahku bagus dan bisa langsung diterbitkan-"

"Siapa yang kira-kira berkata seperti itu?" Potong Lucy. Matanya masih tidak lepas dari wajahku. "Pertama-tama, kamu masih tergolong sangat muda. Kedua, cerita fantasimu itu bisa dibilang terlalu biasa saja." Ia meraih salah satu kertas halaman naskahku, lalu mulai membacakan isinya. "Kedua Fae ini akhirnya hidup bahagia selamanya, tanpa adanya suatu masalah sedikitpun." Ia tertawa kecil. "Bukankah itu terdengar membosankan?"

Wajahku langsung merona. "Ta-tapi! Baca dulu inti permasalahannya-"

"Tak ada yang perlu dibacakan," sengal Lucy lagi. "Wawancaramu sudah selesai. Kamu boleh mengambil kembali naskahmu." Ia melempar tumpukan naskah itu ke lantai, menghasilkan bunyi gebukan yang keras. Aku menggigit lidahku, kemudian mengambilnya dengan cepat. Rasanya air mataku mulai tertumpah. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku menghentakkan kaki dan membanting pintu keras-keras.

"Membosankan?!" Teriakku karena kesal. "Kalau saja wanita sial itu membaca baik-baik ceritaku-"

"Clara?" Aku tidak sadar sudah menangis di depan Jon. Laki-laki itu sedang membawa dua botol minuman jeruk di tangannya. Saat membaca ekspresi yang tergambar di wajahku, senyumannya langsung sirna. "Ada apa?"

Aku buru-buru menghapus kedua air mataku, kemudian memaksakan sebuah senyuman. "Bukan apa-apa."

"Kamu jelas-jelas nangis tadi," gumamnya sambil merangkulku. Sekarang, kami sudah berjalan keluar gedung dan menuju ke restoran terdekat. "Berarti wawancaranya gak sukses," lanjutnya lagi.

Aku benci mendengar fakta menyakitkan itu, apalagi langsung dari mulut Jon, jadi aku hanya terdiam. Jon segera memesan makanan untuk kami berdua. Ketika pelayannya sudah pergi, ia melanjutkan pembicaraannya. "Mau cerita?" Dia sudah menggenggam tanganku, lalu mengelusnya dengan jempolnya.

Aku memutar bola mataku. "Mungkin. Iya. Gak. Gak tahu," aku hendak melepas tanganku, tapi Jon dengan sigapnya menahannya. Aku menatapnya tak sabaran.

"Clara, jangan dipendam sendiri. Aku jadi khawatir kan-"

"Iya, iya khawatir! Aku sebel banget sama wanita itu!" Kali ini, aku tak bisa lagi menahan amarah dan air mataku. Jadi, kulepaskan saja. "Kamu tahu kan artinya kalo aku gagal?" Kataku di sela isak tangisku. "Itu artinya aku gak bisa cari uang sendiri. Aku harus balik ke desa terpencil itu dan tinggal berduaan sama Nenek sampe dia mati kelaparan!"

Tanpa kusadari, tatapan semua orang mengarah kepada teriakanku. Tubuhku kini bergetar, rasa malu kembali melandaku. Jon untung menyadarinya, dan segera menarik tubuhku. "Ayo kita pergi dari sini."

Akhirnya Jon menuntunku dengan pelan. Apartemen kami untungnya berdekatan dengan restoran tadi, jadi aku tak perlu menghadapi tatapan aneh orang-orang saat melihat seorang gadis yang sibuk menangis.

Jon menutup pintu kamar apartemennya, kemudian memelukku. Aku kembali mengeluarkan air mata dan balas memeluknya. Keheningan tercipta diantara kami. Bentuk tubuh Jon sudah sangat familiar. Otot perutnya yang dapat kurasakan, serta detak jantungnya yang terdengar di dalam dadanya. Jon mencium kepalaku dan tubuhku pun tak lagi bergetar.

"Kamu masih 18 tahun, Clara," katanya dengan pelan. Ia meraba-raba punggungku. "Perjalanan hidupmu masih panjang. Aku udah cukup dewasa. Aku bisa cari pekerjaan. Kita bakal hidup bersama."

Kalimat itu membuatku tersenyum. Tinggal berduaan dengan Jon di apartemen. Jantungku kembali berdetak dengan cepat. Aku juga merasakan tangan Jon yang tidak lagi meraba punggungku. Dia melepaskan sedikit dekapannya, kemudian mendekatkan wajahnya.

"Hidup bersama," kataku sesaat sebelum ia mencium bibirku. Rasanya segala perasaan khawatir yang kurasakan kian menguap, semakin lama menghilang.

Ya. Yang terpenting, aku memiliki Jon disampingku. Itu sudah cukup bagiku.

Terpopuler

Comments

_rus

_rus

Sudah aku like Thor 👍🏽👍🏽
tetap semangat pokoknya 💪🏽💪🏽

Salam hangat dari "Sebuah Kisah Cintaku" 😁🙏🏽

2020-11-20

1

Dian Anggraeni

Dian Anggraeni

Hai dobel like untukmu pagi ini Tor lanjuut 👏👏👍👍

2020-11-11

2

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

mampir.. mampir..

2020-11-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!