Ch.6 - Di Dalam Mimpi

Setelah aku kembali ke kamarku, aku tidak bisa langsung tertidur. Perkataan Zeyn terngiang-ngiang di kepalaku. Festival Musim Semi. Seorang manusia kecil yang sempat memasuki wilayah Fae.

Mungkin saja itu manusia lain. Kenapa malah menuduhku begitu saja? Aku menarik selimut hangat dan menyembunyikan kepalaku di dalamnya, namun aku malah memikirkan masa laluku. Aku mencoba mengingat mimpi-mimpiku. Samar-samar, namun aku tak dapat menggapainya. Aku benar-benar sudah lupa.

Akhirnya aku memutuskan untuk menjenguk Jon di kamarnya dan menjernihkan pikiranku.

Suara deritan pintu membuatku panik untuk sesaat. Aku menoleh ke sana kemari, dan untungnya tidak melihat siapapun. Akhirnya aku menutup pintu dengan perlahan dan tersenyum saat melihat Jon yang masih tertidur dengan pulas.

Lelaki itu masih memejamkan matanya. Aku menyentuh keningnya yang hangat, kemudian menggenggam tangannya. Aku merindukan mendengarkan suaranya tiap malam. Saat aku tiba-tiba terbangun dalam keadaan panik, ia selalu ada disana dan menenangkanku.

Mungkinkah semua yang diucapkan oleh para Fae itu benar? Bahwa aku bisa melihat masa depan lewat mimpi? Kalau begitu, apakah aku bisa pergi ke mana saja lewat mimpiku? Apakah aku bisa melakukan itu semua?

Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Maka aku berbaring di samping Jon, dan memeluknya. Aku memaksakan diriku untuk tertidur, dan pada akhirnya, aku bisa merasakan pernapasanku yang mulai melambat serta tubuhku yang merileks.

Aku berada di sebuah tempat, hamparan bunga berwarna warni. Angin sepoi membuat wajahku tertampar oleh rambut panjangku. Aku tidak mengenali tempat ini, namun aku tahu aku sedang bermimpi.

Aku mengambil langkah, melewati bunga-bunga kecil yang kuinjak dengan telapak kakiku yang telanjang. Dalam sekejap mata, tempat ini berubah. Pondok-pondok yang berjajaran tiba-tiba muncul. Banyak Fae yang sedang berlalu lalang. Aku mengambil kesempatanku dan menyentuh lengan seorang Fae.

"Ah!" Fae itu menoleh kepadaku. "Hati-hati kalau jalan!" Ia tidak terlalu memperhatikanku, dan lanjut berjalan begitu saja.

Aku menatap tanganku yang barusan menyentuh Fae itu. Aku tak dapat memercayainya. Bagaimana bisa aku menyentuh mereka, padahal aku sedang berada dalam mimpi?

Aku menggeleng-geleng. Mungkin aku harus mencobanya lagi. Maka aku kembali berjalan, namun mataku terfokus pada siluet seorang Fae yang di ujung jalan. Bentuk tubuhnya terlihat familiar. Itu Fae yang sama yang kulihat di foto berita waktu itu.

"Berhenti!" Teriakku, kemudian mengejarnya. Namun, ia tiba-tiba menghilang ditelan keramaian. Aku mendorong siapa saja yang menghalangiku, tidak memerdulikan peringatan dari Fae lainnya.

Kenapa aku bisa melihat Fae itu? Siapa dia sebenarnya? Aku pun tak sempat melihat warna sayapnya karena dia sudah keburu menghilang.

Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Telingaku berdengung. Aku menahan kepalaku yang rasanya seperti mau meledak. Tubuhku serasa tercabik-cabik. Tenggorokanku tak mampu mengeluarkan suara teriakanku karena aku sudah kembali ke dunia nyata.

"Clara!" Aku membuka mata, dan langsung bangkit dari ranjang, namun tanganku tertahan oleh seseorang. Aku menoleh dan mendapati Jon. "Are you okay?"

Jon meraup kedua pipiku dengan tangannya yang masih hangat. "Kau berkeringat," bisiknya. Ia lalu mengambil salah satu handuk kecil yang sudah disiapkan oleh Fae Healer, dan menyeka keringatku.

Kepalaku masih pusing, namun aku menyembunyikan rasa sakitku. Aku memaksakan sebuah senyuman dan berkata, "Akhirnya kamu terbangun."

"Tentu saja! Aku-" Ucapannya terhenti saat ia menyadari ia tidak sedang berada di kamarnya sendiri. "Dimana ini?!" Ia buru-buru bangkit dari ranjang, dan meringis kesakitan karena luka di perutnya belum sembuh total.

"Pelan-pelan, Jon." Aku membantunya berdiri. "Kau masih terluka."

"Clara, ini dimana?" Di saat bersamaan, Fae Healer itu memasuki ruangan. Ia tampak terkejut saat melihat Jon yang sudah siuman. "Kamu masih belum pulih! Jangan berdiri dulu!" Ia langsung menciptakan cahaya putih untuk menenangkan luka Jon, padahal itu hanya akan membuat Jon semakin panik.

Jon berteriak, kemudian menarik tubuhku ke belakang. "Apa-apaan?! Siapa kamu?!"

"Jon, tenang dulu," aku berusaha menjelaskan kepadanya, namun sepertinya temanku ini tidak mendengarkanku. "Aku tanya, kamu siapa?!"

"Fae Healer. Namaku Sana," kata wanita itu dengan lembut. Cahaya miliknya sudah memudar, dan ia mengangkat tangannya untuk menenangkan Jon. "Aku akan menyembuhkanmu."

Jon memegang tanganku semakin erat saat ia melihat sayap yang timbul pada belakang punggungnya. "What the hell-"

"Mereka Fae, Jon. Mereka nyata." Kataku tenang. "Tidak apa-apa, Jon. Lagipula, kamu sudah melihat Fae sebelumnya."

"Mereka?!" Jon masih mengawasi Fae Healer itu. "Berapa banyak lagi makhluk aneh disini?!"

"Jon!" Aku tak tahan lagi. Padahal dia tidak bersikap seperti ini saat bertemu dengan Fae berbahaya seperti Chrys. "Dengarkan aku! Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu!"

Barulah Jon menoleh kepadaku. "Aku cuma mau pulang. Dan aku tidak mau meminta penjelasan darimu." Kalimat itu menancap ke hatiku. Rasanya seperti Jon tak lagi memercayaiku. "Aku mau mendengarkan penjelasan dari wanita ini."

Aku menghela napas. "Oke, Jon. Lakukan sesukamu. Tapi, aku mau kamu beristirahat dulu. Kamu masih belum pulih." Aku menarik tangan Jon, menuntunnya ke atas ranjang. Ia hanya terdiam dan membiarkanku menyelimutinya. Fae Healer itu menggumam, "Aku akan kembali nanti." Setelah itu ia pergi keluar ruangan.

Keheningan melanda kami, dan suara detak jarum jam satu-satunya suara yang terdengar di malam hari. Jon memejamkan matanya, masih menggenggam erat tanganku. "Jangan tinggalkan aku."

Aku tersenyum. "Tentu saja tidak." Aku kembali berbaring di sampingnya. Rasanya sudah lama aku menghirup aroma tubuhnya yang sedekat ini. Aku menguburkan kepalaku di dalam pelukannya, merasakan dadanya yang bergerak setiap kali ia bernapas.

"Sudah berapa lama aku tertidur?" Bisik Jon di telingaku. Ia membelai rambutku seperti biasanya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak memelukmu."

Aku menjauh sedikit agar bisa menatap wajahnya. Wajah yang kurindukan, wajah yang selalu menemaniku dalam kesusahan. "Umm...dua hari? Entahlah." Aku menyentuh pipinya dengan lembut. Ia menjewer telingaku, membuatku memukul dadanya dengan keras. "Aw!"

Aku terkesiap dan mengingat bahwa lukanya belum pulih total. "Sorry! Sorry!" Untungnya, ia kembali tertawa. "Makanya jangan lupa." Ia memelukku semakin erat, dan menaruh sebelah kakinya untuk mengunci tubuhku. Pipiku memanas padahal sudah terbiasa dengan sikapnya ini. "Clara," ia memanggilku dengan lembut. "Clara."

"Apa?" Tanyaku, namun bola matanya tiba-tiba menatapku lekat-lekat. Ia memiringkan sedikit kepalanya, kemudian sudah mencuri ciuman dari bibirku.

Aku mengerang, merasakan setiap sentuhan tangannya pada tubuhku. Bibirnya lembut sekaligus hangat. Ia menciumku dengan perlahan. Rasanya seperti ia ingin memakan bibirku yang kecil ini.

Lama kelamaan, ciuman kami semakin intens, dan rasa rindu yang mendalam mulai meledak dari dalam diriku. Aku tidak lagi mengantuk, dan kembali sadar sepenuhnya saat tanganku lolos dan masuk ke dalam kaos bajunya yang tipis.

Keringat.

"Jon," bisikku, namun ia masih saja memainkan bibirku serta daerah tubuhku yang sensitif. "Jon," panggilku lagi. Matanya masih setengah terpejam, namun akhirnya ia melepaskan bibirnya. "Hmm?"

"Kau berkeringat." Aku mendorong tubuhnya, sehingga terhempas ke ranjang. Jon masih melingkarkan tangannya pada pinggangku. "Kurasa, kau harus beristirahat."

Ia malah memelukku semakin erat sampai sesak. "Aku mau kamu. Malam ini."

Aku juga, kataku dalam hati. Tidak ada yang kuinginkan lebih darimu. Namun aku tahu hal itu tidak akan terjadi malam ini. "Kau harus beristirahat. Aku tidak mau melihatmu seperti ini."

Jon masih tidak menurut. Jari-jarinya mulai mengarah ke kancing bajuku. Ia hendak menyerang bibirku lagi saat aku menepisnya. Jon buru-buru menahan pergelangan tanganku. "Aku sudah sembuh, Clara."

"Kau belum." Aku bangkit dari ranjang. "Aku akan menemanimu, namun aku mau kamu segera tertidur." Aku berdiam sejenak, memandangi lelaki di hadapanku ini. Seberapa dalam aku menginginkannya, aku tahu kita tidak boleh melakukan ini. Tubuh Jon masih lemah.

"Kalau begitu, pergilah." Aku menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu-"

"Kau tidak lagi mencintaiku, kan?" Jon tidak menatap langsung mataku. Ia memejamkan matanya, meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya. "Aku tahu perasaanmu, Clara. Kau hanya tergila-gila pada makhluk aneh yang kau sebut Fae itu."

"Aku tidak tergila-gila pada mereka!"

"Oh ya?" Jon tertawa kecil. "Jangan berbohong. Kau membisikkan nama mereka dalam mimpimu."

"Aku tidak pernah-"

"Kalau begitu katakanlah bahwa ini semua tidak benar!" Jon sudah berteriak. "Katakanlah bahwa yang tadi itu bukan Fae! Bahwa cahaya aneh yang kulihat itu cuma senter lampu! Katakanlah hal itu kepadaku!"

Aku terdiam. Jon sekarang menatapku dengan amarah. Tidak pernah sekalipun aku melihat dirinya yang seperti ini. "Beristirahatlah," bisikku sebelum aku membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.

"Pergi sana!" Jon melempar bantalnya ke arahku, namun aku menghiraukannya. Air mata mulai membasahi pipiku. Aku buru-buru menghapusnya dan berkata bahwa ini semua hanyalah mimpi.

Mungkin kehidupanku selama ini memanglah mimpi. Karena aku tak dapat membedakan mimpi dengan kenyataan.

Terpopuler

Comments

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

semangat upp

2020-12-05

0

Ruby_

Ruby_

dateng lagiii bawa like dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐ biar author makin semangatttt

2020-11-25

1

zhafa

zhafa

mantap kereeeen🤩🤩🤩🤩

2020-11-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!