Aisyah sedang duduk di atas ranjangnya sembari terus memijat-mijat kakinya yang masih terasa sangat sakit, hingga terlihat sedikit membengkak.
"Sayang, ayah dengar dari Mang Bejo, kaki kamu sakit. Kamu baik-baik saja? Perlu Ayah antar ke Dokter?" tanya Putra yang baru saja masuk ke dalam kamar Aisyah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Wajahnya terlihat sangat panik dan khawatir melihat kondisi putri kesayangannya.
"Aisyah baik-baik saja, hanya sekedar terkilir. Besok juga akan sembuh," ucap Aisyah berusaha menenangkan Putra.
Aisyah menggelengkan kepalanya sembari menyunggingkan senyum manis kepada sang Ayah, seakan mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Namun, firasat Putra mengatakan bahwa Aisyah sedang tidak baik-baik saja dan ia merasakan bahwa telah terjadi sesuatu yang menimpa putri tercintanya.
"Jangan berbohong sayang, katakan kepada ayah yang sebenarnya, ayah akan mendengarkannya." Putra berusaha membujuk Aisyah untuk berkata jujur, sembari mengelus lembut kepala Aisyah yang berbalut jilbab merah muda kesayangannya.
Aisyah hanya bisa menunduk, ketika mendapatkan pertanyaan itu barusan, dari ayahnya. Ia hanya tidak ingin ayahnya melakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya menjadi semakin di musuhi nantinya.
Aisyah lagi-lagi hanya menggelengkan kepalanya, ia sepertinya benar-benar tidak ingin bercerita kepada ayahnya.
Putra hanya membalas dengan senyuman, ia juga tidak ingin memaksakan Aisyah untuk berterus terang kepada dirinya.
"Baiklah, jika kamu tidak ingin menceritakan apa-apa, ayah tidak akan memaksa. Sudah larut malam, tidurlah! Besok kamu harus sekolah," ucap Putra.
Putra kembali mengelus lembut kepala Aisyah yang berbalut jilbab, sebelum Akhirnya ia keluar dari kamar putrinya.
Di dalam Ruang kerja Putra
Putra tampak sangat gelisah dalam duduknya, ia sepertinya sangat mengkhawatirkan keadaan Aisyah.
Ia kemudian meraih telepon genggamnya yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Cukup lama Putra menatap sebuah nomor, sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut.
"Selidiki semua tentang putriku, cari tahu siapa saja teman dekatnya, dan cari tahu siapa yang membuat dirinya terluka!" titahnya, kepada orang suruhannya.
"Baiklah Tuan, akan segera saya selidiki," ucap seorang pria yang berada di seberang panggilan.
Putra segera mematikan panggilan tersebut. Kekhawatiran masih tergambar jelas di raut wajah pria berumur 35 tahun itu.
Hatinya sangat bimbang dan gelisah, ia hanya tidak percaya ada orang yang tega untuk melukai gadis kecilnya tersebut.
"Siapa yang berani menyakiti putri kecilku? Berani sekali dia!" Putra menggenggam erat tangannya, saat menahan emosi yang sudah berada diubun-ubun.
Satu jam kemudian
Tidak butuh waktu yang lama, orang yang di suruh untuk menyelidiki kasus Aisyah sudah berhasil menemukan semua data yang di minta oleh Putra.
Bahkan, berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari seluruh gedung sekolah itu.
Putra tersenyum bahagia saat melihat data teman-teman putrinya, karena mereka merupakan anak-anak dari teman dekatnya.
Seketika raut wajahnya berubah masam dan matanya memerah karena amarah yang sudah bergejolak di dalam dirinya, saat melihat sebuah rekaman CCTV yang dikirim oleh orang suruhannya tadi.
"Kurang ajar bocah ini, berani sekali dia membully anakku dan teman-temannya." Putra semakin menggenggam erat jemarinya dan menggertakkan giginya. Wajahnya tampak sangat emosi.
Putra kembali meraih telepon genggam miliknya, yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Pria itu kemudian mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang.
"Tunda semua rapat yang akan diadakan besok dan siapkan keberangkatanku menuju kantor Dirganvano." Itu merupakan isi pesan yang dikirimkan Putra untuk sekertarisnya.
Keesokan harinya
Aisyah sudah berangkat ke sekolah beberapa menit yang lalu.
Putra segera menyiapkan keberangkatannya menuju ke kantor Dirganvano dan membawa serta barang bukti berupa sebuah rekaman CCTV.
Kantor Dirganvano
Sebuah mobil mewah terparkir di depan kantor megah Dirganvano Guntara, seorang pengusaha sekaligus orang terkaya nomor dua di dunia.
Dirganvano dan Putra merupakan sahabat dari SMA, oleh karena itu Putra tidak segan-segan meminta bantuan kepada Vano, begitu pula sebaliknya.
Hari ini Vano sedang mengadakan sebuah rapat penting dengan perusahaan dari negara tetangga.
Asisten pribadi Dirganvano sudah meminta Putra untuk menunggu di ruangan Vano saja.
Namun, Putra tetap bersikeras ingin menemui Vano sekarang juga, tanpa mendengarkan kata-kata asisten Vano barusan.
Dengan segera, Putra langsung melenggang keruang rapat Vano dan mengabaikan Asisten pribadi Vano yang memohon agar Putra tetap menunggu karena ia takut di marahi oleh Vano.
Ruangan Dirganvano
Putra mengetuk pintu kaca tersebut dengan sangat keras hingga membuat semua orang yang berada di dalam ruangan rapat tersebut tersentak.
Vano yang sedang presentasi beserta semua orang yang ada di dalam ruangan itu seketika menoleh, saat seseorang membuka pintu saat rapat sedang berlangsung.
"Selamat pagi, Tuan Putra." Semua orang yang berada di dalam ruangan membungkuk memberi hormat pada Putra yang tengah berdiri di ambang pintu.
Putra melambaikan tangan sebagai isyarat agar semua orang segera pergi meninggalkan ruangan rapat tersebut.
Vano hanya bisa terdiam, saat semua klien pentingnya di usir oleh Putra, saat sedang berlangsungnya rapat.
"Ada apa Putra? Mengapa tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaanku, bukankah kita bisa bertemu di luar saja." Vano mengulurkan tangan ke arah Putra. Namun, Putra tidak menggubris pertanyaan Vano barusan.
Putra langsung memasukan sebuah Flashdisk ke dalam laptop Vano, yang masih terhubung di infocus, hingga terpampang jelas, bagaimana murid-murid sedang membully Aisyah
"Apa ini? Aku menyekolahkan anakku di sekolah milikmu dan berharap agar ia bisa aman. Namun, kenyataannya malah seperti ini. Lihatlah apa yang dilakukan oleh bocah-bocah tengil ini terhadap putri kecilku!" bentak Putra, hingga membungkam mulut Dirganvano.
Vano hanya bisa tertunduk malu, saat mendapati sang anak juga turut andil dalam pembullyan anak dari sahabat baiknya itu.
"Maafkan aku, aku yang tidak mendidik anak ku dengan benar dan lalai dalam mengawasi murid-murid di sekolahku," ucap Dirganvano yang merasa sangat bersalah.
Putra tidak menggubris permintaan maaf Vano dan hanya menatap tajam ke arah Vano yang berulang kali mengucap kata maaf itu.
Putra mendengus kesal, kemudian berlalu dan lebih memilih mengabaikan permintaan maaf dari Vano. Ia langsung berbalik dan hendak keluar dari ruangan itu.
"Apa kau akan membatalkan rencana kita sebelumnya?" tanya Vano, seketika menghentikan langkah Putra yang sudah berada di ambang pintu.
Putra masih tidak bersuara menanggapi pertanyaan sahabatnya itu, kemudian memutar badannya dan menatap tajam kearah Vano.
"Apa kau tidak lihat perlakuan menjijikan putramu itu kepada putriku? dan kau masih berfikir aku sudi menjadikannya sebagai menantu? Jangan harap," bentak Putra kepada Dirganvano hingga membuat pria itu terdiam sejenak.
"Bukankah kita sudah menyepakati hal ini bersama?Bagaimana bisa kau membatalkan perjanjian kita bertahun-tahun lalu?" ucap Vano sembari melangkahkan kaki mendekati Putra.
"Tolong fikirkan, bagaimana jika kita nikahkan saja mereka secepatnya? Mungkin dengan begitu mereka akan berbaikan dan Tommie juga bisa menjaga putrimu di sekolah," usul Vano sembari memegangi pundak sahabatnya itu.
"Apa kau bisa menjamin, bahwa putramu tidak akan menyakiti putri kesayanganku? Bagaimana jika ia malah menyakiti putriku?" tanya Putra sembari tersenyum sinis menatap wajah Vano.
"Aku bisa jamin, aku yang akan mengawasinya! Tolonglah jangan batalkan perjanjian kita," ucap Vano tegas, membuat Putra hanya menghela nafas kasar
"Baiklah, akan kutanyakan kepada Aisyah. Tapi aku tidak bisa menjamin dia akan setuju," ucap Putra, menyanggupi permintaan dari Vano barusan.
Vano menyunggingkan senyum lega atas keputusan Putra dan kemudian langsung memeluk erat tubuh Putra sembari menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
"Terima kasih, Putra," bisik Vano, Putra hanya mengangguk sembari membalas pelukan sahabatnya itu.
Malam Hari
Putra berjalan menuju ke kamar milik Aisyah untuk membicarakan perihal perjodohan yang telah di sepakatinya dengan keluarga Vano beberapa tahun silam.
Hatinya sangat tidak menentu saat ini, ia tidak mencemaskan keputusan Putrinya. Hanya saja, dia mencemaskan keadaan putrinya jika hidup bersama dengan Pria yang suka membully Putrinya itu.
Di kamar Aisyah
Putra mengetuk pintu kamar milik Putri kesayangannya dengan pelan, ia takut jika mengganggu waktu istrirahat putrinya.
"Assalammualaikum sayang, kamu sudah tidur?" Putra mengucapakan salam, untuk memastikan apakah putrinya sudah tidur atau belum.
"Waalaikumsalam Ayah, tunggu sebentar Aisyah akan buka pintunya," ucap Aisyah sembari berlari menuju pintu.
Aisyah memeluk erat tubuh sang Ayah yang masih berada di ambang pintu. Aisyah memang anak yang sangat manja jika sedang bersama dengan Ayahnya.
Terkadang, ia juga masih suka di dongengkan oleh Ayahnya sebelum tidur. Maklum saja, sedari kecil ia memang lebih manja kepada sang Ayah di banding dengan sang Ibu.
"Ayah kenapa melamun? Ayo masuk dulu," ajak Aisyah kepada Ayahnya.
Aisyah menarik tangan Putra dan mendudukannya di atas kasur doraemon miliknya, seperti biasa ia akan berbaring di pangkuan Ayahnya sembari mendengar dongeng.
Putra juga sudah terbiasa dengan sikap manja putrinya itu, dia bahkan mengelus rambut panjang Aisyah yang selalu terbalut oleh jilbabnya.
Aisyah memang tidak pernah melepaskan jilbabnya, Ibunya selalu mengajarkan ia agar selalu menutup aurat walaupun di dalam rumah.
Maklum saja, para pengawalnya dan beberapa bodyguard yang bukan mahram selalu mengelilingi setiap sudut rumahnya. Termasuk di depan pintu kamarnya.
"Sayang ada yang ingin Ayah bicarakan kepadamu," ucap Putra.
Aisyah bangkit dari pangkuan sang Ayah dan duduk di samping Ayahnya.
Dia sangat tahu betul , jika Ayahnya meminta izin untuk berbicara berarti ada hal penting yang akan dibicarakan.
Gadis cantik itu mengangguk dan menatap serius wajah ayahnya yang sedang ingin membicarakan sesuatu kepada dirinya.
Putra mulai menceritakan semuanya kepada Aisyah, mulai dari perjanjian, wasiat, bahkan hingga rencana pernikahan.
Aisyah hanya terdiam, gadis itu tampak sangat kaget mendengar perkataan Ayahnya barusan. Bagaimana tidak? Ia akan menikahi orang yang selama ini membenci dirinya.
Gadis itu kemudian menunduk dan tidak berani menatap mata ayahnya, ia terlihat sangat ragu akan jawaban yang harus ia berikan kepada ayahnya
Putra terus menatap lekat ke arah Aisyah yang sedari tadi hanya terdiam sembari menunduk tanpa memberinya jawaban.
"Aisyah, apakah kamu setuju? Katakan saja sejujurnya, Ayah akan menerima apapun keputusan dirimu sayang." Suara lembut Putra menyadarkan Aisyah yang sedari tadi larut dalam lamunannya.
Cukup lama gadis itu terdiam, mendapat pertanyaan yang sangat sulit baginya itu, hingga akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk menatap mata ayahnya.
"Tolong berikan Aisyah waktu untuk berfikir ayah. Aisyah tidak mau terburu-buru mengambil keputusan," jawab Aisyah dengan suara rendahnya.
Gadis itu memberanikan diri mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk dan menatap dalam wajah Ayahnya.
Putra kemudian mengangguk sembari menyunggingkan senyum di bibirnya kepada Aisyah.
Sesekali Putra mengelus kepala Aisyah, ada rasa tidak tega di dalam lubuk hatinya, jika harus melepaskan putri kesayangannya menikah di usia belia.
"Tolong pikirkan baik-baik sayang, ini akan menentukan masa depanmu, jika tidak mau katakan terus terang saja," kata Putra.
Aisyah hanya mengangguk pelan, mendengar pernyataan Ayahnya barusan.
"Sudah malam sayang, kamu tidurlah. Maaf ayah tidak bisa membacakan dongeng untukmu malam ini," sambung Putra.
"Baik ayah, tidak masalah." Aisyah melemparkan senyum manisnya kepada Putra.
Putra beranjak dari duduknya dan mengecup puncak kepala Aisyah, sebelum akhirnya meninggalkan kamar gadis kecilnya itu.
Sementara itu dirumah Tommie
Tommie baru saja pulang dari kerja paruh waktu. Ia bekerja di salah satu restaurant sebagai pramusaji.
"Tidak biasanya papa datang berkunjung, ada angin apa yang membawa papa kemari?" tanya Tommie yang baru saja tiba di rumahnya, ketika mendapati sang Ayah tengah duduk santai di tengah ruang tamunya.
"Ada hal penting yang ingin papa bicarakan kepada dirimu, Tommie." Dirganvano berdiri dan berjalan menghampiri Putranya.
Tommie hanya tersenyum sinis melihat Ayahnya yang tengah berbicara serius di hadapannya.
"Ya aku tahu, jika tidak ada hal penting bagaimana mungkin papa mau datang berkunjung untuk sekedar menemui diriku. Cepat katakanlah, aku sangat lelah sekarang." Tommie tersenyum setelah merasa puas menyidir papanya.
Tommie sedikit menekankan nada bicara terhadap papanya. Hingga membuat pria itu hanya bisa mengelus dada mendengar perkataan anaknya barusan.
Vano mulai bercerita tentang semuanya, mulai dari perjanjian, kesepakatan, bahkan hingga perjodohan yang telah ia lakukan beberapa tahun silam bersama dengan sahabatnya.
"Apakah papa sedang bercanda? Selama ini papa saja tidak pernah memperdulikan aku dan ibuku, tetapi mengapa sekarang malah sibuk menjodohkan aku?" Suara Tommie meninggi, saat membentak sang Ayah.
"Aku tidak sudi menikahi gadis itu, melihat dirinya saja aku sudah muak, apalagi jika harus bersama dirinya setiap saat. Bahkan, aku tidak pernah melihat wajahnya, bagaimana jika ia seorang gadis yang buruk rupa? Akh, membayangkannya saja aku sudah jijik," sambungnya.
Tommie tampak benar-benar murka dengan keputusan semena-mena yang di buat oleh Ayahnya tanpa persetujuan dari dirinya terlebih dahulu.
"Jaga nada bicaramu Tommie, aku tetap papa kandungmu. Apa ini hasil didikan yang telah aku dan ibumu ajarkan selama ini! " ucap Dirganvano. Pria itu balik membentak Tommie.
Membuat Tommie membungkam seribu bahasa dan menarik kembali kata-kata yang sudah berada diujung lidah.
"Apa untungnya bagi diriku jika menikahi gadis itu?" tanya Tommie.
Tommie kembali bersuara dan menatap tajam kearah papanya yang masih berdiri tepat di depannya sedari tadi.
Vano menatap mata Tommie dengan wajah datarnya, dia bahkan sudah menduga apa yang akan di katakan oleh Tommie kepada dirinya.
"40% kekayaan dari keluarga kita akan menjadi milikmu, serta perusahaan yang ada di paris untuk dirimu," ucap Vano dengan tegas kepada putranya.
Tommie hanya tertawa geli mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh papanya barusan.
Vano kemudian menatap tajam sembari memicingkan matanya kearah Tommie yang tertawa mengejek dirinya.
Dirganvano berulang kali menarik nafas dengan kasar akibat menahan emosi melihat tingakah Tommie yang sama sekali tidak menghormati dirinya lagi.
"Aku tidak butuh uang tuan Dirganvano. Lihatlah, aku bahkan bisa tetap bertahan tanpa sepeserpun uang darimu," ucap Tommie, pria itu benar-benar sudah sangat keterlaluan terhadap papanya.
Tommie kembali menyunggingkan senyum sinisnya kepada papanya, Vano hanya mengerutkan dahi mendengar ucapan Tommie barusan..
"Aku mau menikahinya, asal papa berjanji untuk tidak akan mengusik kehidupanku lagi, apapun yang terjadi. Jangan pernah mencampuri urusanku," ucap Tommie.
Vano terdiam sejenak, ia terlihat sangat kaget mendengar ucapan Tommie barusan.
"Mengapa papa hanya diam? Baiklah, aku anggap jawabannya adalah tidak," sambung Tommie, mendengar tidak ada jawaban dari papanya.
"Tidak, jangan batalkan! Baiklah, aku setuju dengan syaratmu," ucap Vano setelah sekian lama terdiam, Vano menjabat tangan Tommie tanda persetujuan.
Tommie tampak tersenyum puas melihat papanya yang dengan berat menyetujui permintaan dirinya.
Bagaimanapun Tommie adalah anak kandung dari Vano, meskipun dari istri keduanya.
Namun, ia tetap menyayangi Tommie sama seperti dia menyayangi Viano, anak dari istri pertamanya.
Sikap Vano yang selalu mengekang dirinya, membuat Tommie muak dan memutuskan untuk pindah dari rumah sang ayah. Ibunya yang tidak tega membiarkan ia sendiri, terpaksa ikut pindah bersama dirinya.
Semenjak saat itu, Vano sudah sangat jarang bertemu dengan Tommie, karena Tommie yang sangat jarang berada di rumah.
Karena hal itulah, Tommie beranggapan Vano sudah tidak memperdulikan dirinya dan ibunya lagi.
Semenjak kejadian itu pula Tommie menjadi benci terhadap Ayah kandungnya sendiri, karena kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka.
Padahal, Dirganvano sering menemui istri keduanya tanpa sepengetahuan dari Tommie.
Keesokan harinya
Aisyah sedang duduk bercanda ria bersama keempat sahabatnya, di taman yang berada di belakang sekolah.
Mereka membicarakan banyak hal dan sesekali mereka tertawa lepas saat salah satu di antara mereka melemparkan lelucon.
Saking asiknya bercanda, mereka sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikan mereka dari kejauhan.
"Kau lihat saja, apa kau masih bisa tertawa lepas saat hidup bersamaku," batin remaja yang bernama Tommie itu, dia tersenyum puas saat memikirkan sebuah ide licik di kepalanya.
Aisyah meninggalkan teman-temannya dan beranjak pergi menuju ke toilet. Yoona dan Nurul ingin menemaninya, tetapi di cegah oleh Aisyah karena tidak enak merepotkan kedua sahabatnya itu.
Seseorang mengikuti langkah kaki Aisyah, tanpa gadis itu sadari ada seseorang yang membuntutinya sedari tadi.
Aisyah masih berjalan santai menuju toilet dan kemudian masuk ke dalam salah satu bilik toilet, ia masih belum menyadari ada seseorang yang mengikutinya.
Tak .... Tak .... Tak ....
Suara langkah kaki pelan yang perlahan semakin terdengar jelas dari arah bilik toilet yang dimasuki oleh Aisyah
Gadis itu hanya diam dan tak menggubrisnya karena berfikir ada murid lain yang ingin menggunakan bilik di sebelahnya.
"Kok suara langkahnya berhenti di depan bilik ini?" batin Aisyah heran, pasalnya masih banyak bilik toilet yang kosong di sebelahnya.
Aisyah yang penasaran langsung membuka pintu toilet itu, ia berfikir barangkali ada yang ingin menggunakan toilet itu.
Krieett .....
"Kak Tommie, mengapa kau di sini?" tanya Aisyah yang terlihat sangat kaget.
Aisyah tersentak kaget ketika mendapati Tommie sudah berdiri sambil berkacak pinggang di depan bilik toiletnya sembari menyunggingkan senyum sinis.
"Apa yang Kakak lakukan disini? Ini toilet wanita, apa kakak salah masuk?" tanya Aisyah sembari menatap heran ke arah Tommie yang berdiri menghalangi jalannya.
"Kau dengarkan aku baik-baik! Jangan pernah menyetujui perjodohan ini atau kau akan menyesal seumur hidup," ancam Tommie.
Ancaman Tommie barusan membuat Aisyah menundukkan kepalannya seolah tidak berani menatap mata Tommie yang menyeringai jahat padanya.
Tommie tersenyum puas melihat ketakutan yang tergambar jelas di raut wajah Aisyah yang tengah tertunduk.
Bla .... Bla .... Bla ....
"Ah, sial! Bagaimana ini," batin Tommie saat mendengar suara beberapa orang siswi yang memasuki toilet.
Dengan segera ia menarik Aisyah untuk kembali masuk ke dalam bilik toilet itu.
"Lepaskan, jangan menyentuh Aisyah! Tidak boleh," bisik Aisyah.
Aisyah menarik kasar pergelangan tangannya yang di cengkram erat oleh Tommie, membuat pria itu mendengus kesal mendapat perlakuan seperti itu lagi.
"Kak, ayo keluar saja Aisyah tidak bisa bernafas," keluh Aisyah kepada Tommie yang berada tepat di depannya.
Bilik toilet itu sangat kecil dan cukup sempit karena hanya muat untuk satu orang.
Karena Tommie juga ikut masuk ke dalam bilik toilet itu, pantas saja kiranya Aisyah merasa sangat susah bernafas.
Ditambah lagi, karena ruangan yang sempit membuat Aisyah terpojok di tepi bilik akibat tubuh Tommie yang cukup besar, hingga hampir memenuhi ruangan itu.
Cukup lama mereka menunggu, akan tetapi para murid tidak kunjung keluar karena asik berghibah dan berdandan di dalam toilet.
Aisyah sudah tidak tahan lagi, nafasnya benar-benar sesak karena bilik sempit toilet itu.
Aisyah ingin membuka pintu toilet itu. Namun, lagi-lagi Tommie menarik paksa pergelangan tangannya, hingga membuat gadis itu meringis menahan sakit.
Aisyah menatap tajam kearah mata Tommie, ia sangat geram melihat tingkah kekanakan Tommie.
"Mengapa ada orang yang begitu menyebalkan seperti Kak Tommie di dunia ini?" Aisyah berbisik sembari melipat tangannya di dada.
"Jika bukan karena dirimu, aku tidak akan bersembunyi di dalam sini," bisik Tommie, ia terlihat menggertakkan giginya karena geram.
"Aisyah tidak menyuruh Kak Tommie untuk mengikuti Aisyah, lantas mengapa Kakak membuntuti Aisyah diam-diam?" balas Aisyah, berusaha membela dirinya.
Tapi jika dipikir-pikir, memang Tommielah yang bersalah, bukan Aisyah.
Namun, sikap egoisnya mengatakan, bahwa dialah yang benar dan Aisyah yang bersalah.
Mereka terus berdebat sembari berbisik, sesekali Aisyah juga memukul dada Tommie yang semakin memojokkan tubuh mungilnya ke dinding toilet sempit itu.
Brak ....
Tommie jatuh terlentang dan keluar dari toliet, ketika Aisyah tidak sengaja mendorongnya terlalu kuat.
"Kak, kau baik-baik saja? Maaf, Aisyah tidak sengaja mendorong Kakak. Apa ada yang terluka?" tanya Aisyah yang panik dan tampak sangat khawatir saat Tommie terus-menerus memegangi kepalanya.
Bersambung ....
Jangan lupa kasi dukungan untuk Author😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments