Dave memasuki bangunan tinggi di depannya. Matanya menatap dengan mata mengamati sekitar. Dia ditugaskan Michael untuk mengurus mengenai bisnisnya dan kontrak kerja dengan perusahaan yang saat ini ada di depannya. Netranya menatap takjub bangunan tersebut.
Dave mulai melangkah ketika pintu masuk otomatis tersebut terbuka. Matanya menatap seorang gadis yang sudah menatapnya dan mengumbar senyum termanis. Dia segera melangkah mendekati gadis yang berdiri di belakang meja kerja dengan langkah santai.
“Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis bernama Reni yang sudah menyapanya dengan begitu ramah.
“Saya ingin bertemu dengan Tuan Arda. Apakah beliau ada?” balas Dave dengan wajah tidak kalah ramah.
“Apa anda sudah membuat janji?”
“Saya dari perusahaan Aditama. Tuan Michael yang menyuruhku langsung datang kemari,” jawab Dave dengan suara ramah dan wajah tegas.
Reni tersenyum dan menatap Dave ramah. “Silahkan ada menuju ke lantai delapan. Di sana akan ada sekretaris Tuan Arda yang menunggu,” jelas Rena dengan tangan yang menunjukan arah.
“Terima kasih,” ucap Dave dengan mengumbar senyum manis. Dia segera melangkah menuju lift yang dimaksud dan segera masuk. Menekan angka delapan dan kembali menunggu.
Dave diam sejenak dan sesekali menatap jam tangan dengan jarum berputar. Sejenak dan dia keluar setelah pintu terbuka. Langkahnya menuju ke arah seorang wanita yang duduk di meja setengah lingkaran yang tengah sibuk dengan laptopnya.
“Permisi,” sapa Dave membuat gadis tersebut menatap ke arahnya.
Gadis tersebut langsung tersenyum dan menatap Dave dengan pandangan ramah. “Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan wajah ramah dan bibir tersenyum lebar.
“Maaf, Tuan Arda ada di ruangan? Saya Dave Wijaya, utusan dari Tuan Michael dari perusahaa Aditama,” jelas Dave sembari menujukan kartu tanda kerja miliknya.
Gadis tersebut tersenyum dan mengangguk. “Anda sudah ditunggu di dalam. Silahkan masuk,” ujarnya menuntun masuk ke dalam ruangan Arda. Dave hanya mengikuti sampai dia masuk ke dalam ruangan lebar di hadapannya. Matanya menatap seorang pria tua dengan wajah tegas tengah sibuk dengan tumpukan berkas di hadapannya.
“Maaf, Tuan. Tuan Dave sudah datang,” ucap gadis tersebut sopan.
Arda mengalihkan pandangan menatap Dave dengan datar. Dia memberikan isyarat agar sekretarisnya keluar. Dave yang melihat hanya tersenyum dan kembali melangkah mendekati Arda yang masih sibuk mengamatinya.
“Selamat sore, Tuan,” sapa Dave ramah.
“Dave Wijaya. Orang kepercayaan Michael. Apa kabar?” ucap Arda dengan suara tegas dan mengulurkan tangan.
“Baik, Tuan,” jawab Dave segera menjabat tangan Arda.
“Silahkan duduk,” perintah Arda dan langsung dituruti oleh Dave. “Jadi, dokumen mana yang terlewat olehku?” tanya Arda tanpa basa-basi.
Dave yang mendengar segera mengeluarkan mapnya dan memberikan kepada Arda. Matanya kembali menatap pria tersebut dengan wajah datar dan memperhatikan Arda yang masih meneliti berkasnya. Setelah dirasa pas, dia segera menandatangani surat tersebut dan mengembalikan kepada Dave.
“Katakan kepada Michael, dia harus cepat mengerjakan proyek ini,” ucap Arda dengan wajah mulai normal.
“Baik, Tuan. Akan segera saya sampaikan,” jawab Dave menurut.
Arda masih meneliti wajah Dave dengan cermat, bahkan membuat Dave merasa tidak nyaman sama sekali. Dave menghela napas perlahan dan menatap Arda dengan wajah yang sudah dibiasakan.
“Kalau begitu, saya....”
“Dave. Kamu sudah memiliki kekasih?” tanya Arda membuat Dave benar-benar tekejut. Matanya membelalak kaget karena menurutnya itu adalah masalah pribadi.
“Aku hanya bertanya, Dave. Jangan menatapku dengan rasa permusuhan seperti itu,” canda Arda karena Dave menatapnya dengan mata membsesar.
Dave segera menormalkan kembali waut wajahnya dan menatap Arda. “Maaf,” ujar Dave merasa bersalah, “saya hanya terkejut saja, Tuan.”
“Jadi, apakah kamu punya kekasih?” ulang Arda dengan wajah penasaran.
Dave berdehem sejenak dan menggeleng. “Saya tidak memiliki kekasih, Tuan.”
“Mungkin kamu bisa bertemu dengan anakku. Aku rasa kalian akan cocok nantinya,” celetuk Arda membuat Dave tersedak salivanya.
Dave hanya menarik paksa bibirnya untuk tersenyum. Menatap canggung pria yang sudah kembali dalam tumpukan berkas. Setelahnya, Dave memilih untuk berpamitan dan keluar dari ruangan Arda. Dia enggan mendapat masalah untuk kedua kalinya.
“Aku rasa papanya sama saja dengan Alice,” gumam Dave sembari melangkah. Tersenyum konyol ketika mengingat ucapan Arda. Ada-ada saja, batin Dave menganggap acuh. Dia sedang tidak ingin mengatakan mengenai kekasih dan hubungan percintaan lainnya.
_____
Bara baru saja keluar dari kamar mandi dan mendengar suara gaduh yang berasal dari ruangan depan. Dengan segera dia keluar dan mencari sumber suara berasal. Matanya menatap Alice yang masih sibuk di dapurnya. Bara mengerutkan kening dalam dan segera melangkah mendekat.
“Apa lagi yang diperbuatnya kali ini,” gumam Bara memiliki firasat tidak enak.
Bara mendekati Alice yang tampak kebingungan dan beberapa kali menunjukan ekspresi hendak muntah. “Ngapain?” tanya Bara sembari menyandarkan tubuhnya di sebelah kulkas, menatap Alice yang masih sibuk.
Alice yang mendengar suara Bara langsung menatapnya dengan mata membelalak. “Bara, kamu sudah keluar?” Alice malah balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan Bara.
Bara menegakan tubuh dan menatap Alice datar. “Apa yang kamu lakukan, Alice?”
“Oh, aku hanya ingin membuat kopi untukmu saja,” jawab Alice sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Dan mengacaukan dapurku?” geram Bara dengan mata menatap dapur yang tampak berantakan.
Alice tersenyum canggung dan mengangguk. “Maaf,” ujar Alice merasa bersalah.
Bara yang mendengar menghela napas perlahan dan menarik Alice. Dia mendudukan Alice di kursi bar kecil di dapurnya dan menatap tajam. “Jangan ke mana-mana,” peringat Bara dengan suara mendesis, membuat Alice mengangguk patuh.
Bara yang melihat menghela napas keras dan melangkah ke dapur. Menatap pekerjaan Alice yang berantakan. Perlahan, Bara mulai merapikan bagian kopi yang bercecer dan meletakan di tempatnya. Setelah itu, dia meletakan peralatan lain yang membuatnya mendesah frustasi. Bagaimana bisa seorang perempuan bahkan tidak bisa membuat kopi, gerutu Bara dalam hati.
Alice yang melihat Bara mulai mengerjakan tugasnya hendak turun, tetapi tatapan tajam Bara membuatnya mengurungkan niat. Alice memilih diam di tempat dan melihat Bara yang mulai bergerak meracik minuman dengan pelan. Sesekali Alice melihat ringisan karena tangan pria tersebut yang masih merasa sakit.
Tidak lama kemudian Alice melihat Bara memberikan susu di dua cangkir dan melangkah ke arahnya.
“Minumlah,” ujar Bara memberikannya kepada Alice.
Alice yang melihat menatap Bara dengan tatapan mengamati pria tersebut. “Kamu bisa?” tanya Alice dengan wajah bingung.
Bara yang masih menyesap kopi langsung melirik ke arah Alice dan kembali menyesap kopinya. “Aku hanya terkilir dan bukan lumpuh.”
Alice yang mendengar mendengus pelan dan mencoba kopi buatan Bara. Awalnya dia meragukan racikan Bara, tetapi setelah merasakannya, Alice langsung meleleh dan menyesap dengan perasaan bahagia.
“Enak banget,” aku Alice dengan wajah menunjukan kebahagiaan dan terus menyesap.
Bara yang melihat hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Alice. Dia tidak berkomentar apa pun dan sibuk menikmati minumannya.
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Rita
lucu bnr kt mmnya bukan Alice yg ngurusin Bara tp sbliky😂😂😂
2023-04-03
0
R Vin
bkny papa alice nmny surya y bkn arda.
2020-05-22
0
Ryora Dante
bukanx anakx arda dah nikah thor
2020-05-03
0